Analisis Cerpen

CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM (KAJIAN MIMESIS)
Oleh: Ridwan, S.Pd.

I. PENDAHULUAN
Cerpen Bawuk dalam kumpulan cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam. Dalam cerpen tersebut pengarang menggambarkan tokoh yang hidup dalam situasi politik dan latar belakang sejarah yang nyata. Mengenai hal ini, sebagian pendapat mengkategorikan Umar Kayam sebagai realis. Unsur realisme Umar Kayam adalah realisme budaya Jawa yang diperlihatkan pada tokoh yang memiliki kepribadian Jawa. Dalam cerpen Bawuk, tokoh utama yang dimunculkan mampu mewakili konsep budaya Jawa yaitu tokoh Bawuk.
Bawuk anak bungsu kelima bersaudara dari keluarga Suryo, sebuah keluarga yang cukup berada dan terpandang di Karangrandu. Tuan Suryo adalah seorang onder distrik (pembantu bupati) dan priyayi yang disegani dan dihormati di sana. Bawuk adalah seorang anak yang bersahaja tidak formil walaupun ayahnya adalah seorang onder distrik di Karangrandu (sebuah daerah di Jawa Timur).
Umar Kayam menggambarkan tokoh Bawuk yang memiliki sifat tersendiri tidak seperti saudara-saudaranya yang disiplin dan menjaga jarak dalam pergaulannya, tidak semua kalangan bisa diajak bergaul karena mereka keluarga priyayi. Berbeda dengan Bawuk tidak suka diatur dan tidak pilih-pilih dalam bergaul. Bawuk sering bermain di belakang kandang kuda, makan tebu dengan anak mandor tebu. Bahkan, kadang-kadang dia enak tiduran di balai-balai mBok Inem mendengarkan cerita Jawa lama.
Setelah semua dewasa, dua kakaknya yang laki-laki menjadi dosen di Universitas Padjajaran, dan di Universitas Indonesia. sedangkan dua kakak perempuannya dinikahi oleh Dirjen sebuah departemen, dan seorang Brigjen. Bawuk sendiri, menikah dengan seorang laki-laki pilihannya sendiri, lelaki yang tidak pernah diam, yang selalu punya gagasan berorganisasi, walaupun tidak lulus SMA. Tapi lelaki pilihannya itu merupakan tokoh pemuda pada satu partai yang saat itu sedang digandrungi yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
‘Bawuk’ merupakan cerpen sejarah yang mengisahkan kehidupan anak bungsu sebuah keluarga yang berasal dari keluarga feodal (ambtenaar di zaman Belanda) yang tiba-tiba mengalami masa kemerdekaan sampai akhirnya mengalami pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965. Anak bungsu itu bernama Bawuk. Umar Kayam hidup pada zaman itu. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa pengarang banyak tahu tentang peristiwa itu serta keadaan masyarakat yang sebenarnya. Maka kajian yang digunakan dalam menganalisis cerpen “Bawuk” ini adalah kajian mimesis.

II. LANDASAN TEORI
Karya sastra yang baik, menurut Budi Darma (1998:6) seperti logam mulia, memancarkan sinar ke segala arah. Dari sudut manapun kita melihat logam itu, logam itu akan memancarkan sinar bunga api yang cemerlang.
Lebuh lanjut, Budi Darma (1998:6) menjelaskan, karya sastra yang baik, seperti logam mulia, juga memiliki banyak sudut pandang atau bidang permata. Sebuah karya sastra yang baik kaya akan penerapan ideologi, meskipun ideologi yang dimaksud di sini tidak selalu ideologi politik. Isinya padat, dan banyak memiliki sudut pandang dan bidang permata.
Seni, seperti lukisan, puisi, musik, tarian, dan patung, menurut Socrates (dalam Abrams, 1971:8) semua adalah tiruan (imitasi). Imitasi adalah istilah rasional yang berarti dua hal dan hubungan tertentu di antara keduanya. Karya sastra yang baik, merupakan bagian dari seni, di samping memiliki banyak sudut pandang, tidak bisa tidak, sebenarnya adalah tiruan.
Seperti apa tiruan dalam seni, Socrates (dalam Abrams, 1971:8) memberikan contoh tiga jenis ranjang. Ranjang yang pertama, yang hanya ada dalam dunia ide, yaitu ranjang buatan Tuhan. Ranjang yang kedua adalah ranjang buatan tukang kayu. Sedangkan ranjang yang ketiga adalah ranjang buatan pelukis (ranjang lukisan). Ranjang ketiga inilah yang dimaksud dengan tiruan dalam dunia seni.
Kritik sastra mimetik (mimetic criticsm) yang memandang karya sastra sebagai tiruan, mencerminan, atau gambaran duia dan kehidupan manusia, menggunakan kriteria utama pada karya sastra, menurut Abrams (dalam Pradopo, 2003:6) “kebenaran” penggambaran atau yang hendaknya digambarkan. Meskipun demikian, Plato (dalam Luxemburg, 1992:16) mengatakan bahwa seni hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang kenyataan yang tetap jauh dari “kebenaran”. Dalam kenyataan yang kita amati, setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap benda mencerminkan suatu ide yang aseli (gambar induk), misalnya terdapat berbagai macam bentuk ranjang atau meja, tetapi ini semua berasal dari ide atau gambar induk mengenai sebuah ranjang atau meja. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai aselinya. Kenyataan yang kita amati dengan pancaindera selalu kalah dengan dunia ide.
Akan tetapi, Aristoteles (dalam Luxemburg, 1992:12) memiliki pandangan yang berbeda. Dia mengoper pengertian mimesis dari Plato. Menurutnya, penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain. Dalam setiap objek yang kita amati, dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tidak dapat dilepaskan dari objek itu. Baginya mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataaan, melaikan merupakan sebuah proses. Penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan mimesis, penyair meciptakan kembali kenyataan, adapun bahannya adalah barang-barang seperti adanya, atau “barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada” (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, dan cita-cita).
Dari uraian Plato dan Aristoteles di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik mimetik adalah penjelasan seni yang pada dasarnya merupakan tiruan dari aspek-aspek universal. Karya sastra sebagai cabang seni, pada prinsipnya berupa meniru aspek-aspek keindahan yang universal pula. Apabila emosi dapat dianggap sebagai hal yang dapat membangkitkan keindahan. Munurut Budi Darma (1998:17) kata-kata yang dapat membangkitkan emosi dapat dianggap sebagai kata-kata yang dapat membangkitkan keindahan. Jika demikian halnya, maka kata-kata yang dapat menimbulkan emosi yang dapat ditunjukkan oleh Edmund Burke yang dikutip oleh Budi Darma (1998:17) merupakan unsur universal yang dapat menimbulkan keindahan.
Secara umum kajian mimesis adalah kajian yang mendasarkan pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu.

III. ANALISIS CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM
Dalam kajian ini, penulis mencoba menganalisis cerpen Bawuk karya Umar Kayam dengan kajian mimesis. Kajian ini memandang seni sebagai tiruan dan aspek-aspek realitas.
A. Penggunaan Istilah dan Ungkapan
Cerpen Bawuk dalam kumpulan cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam, banyak menggunakan bahasa Jawa terutama dalam percakapan, antara lain: ledek (ronggeng), ciu gambar manuk, arep melu ora entuk, dalem ndoro (saya tuan), inggih (ya), ngger (sayang), den ayu (raden ayu), dan sebagainya. Pengarang menggunakan bahasa daerah ini untuk menciptakan suasana “kejawaan”. Sebagaimana dalam cuplikan berikut
“Dia mestilah seorang yang tidak kaku dan ragu-ragu membuat gerakan-gerakan tandak, apalagi malu-malu dalam menghadapi liak-liuk si ledek atau ronggeng yang penuh dengan isyarat serta senyum yang sensual itu.” (Kayam, 2005:105)

“… tiba-tiba saja melihat suaminya telah berputar-putar dengan asyiknya menayub dengan si Prenjak. “Ciu gambar manuk, arep melu ora entuk. Ha-e, ha-e, hhaaaaa-e?” (Kayam, 2005:107)

“Dan dari kejauhan Sarpan menjawab ketakutan, “Inggiiih.” (Kayam, 2005:109)

“Kembali derap selopnya terdengar. Dan suara bising anak-anaknya tiba-tiba saja jadi enyap. “Neeem! Ineeem!” “Dalem nDoro!” (Kayam, 2005:109-110)

“Wuuuuk, nggeeeer!” teriak Nyonya Suryo. (Kayam, 2005:114)

Di samping ungkapan dan istilah dari bahasa Jawa pengarang banyak menggunakan bahasa Belanda seperti Juffrouw (ibu/nyonya), huiswerk (pekerjaan rumah), onder (staf), europeesch (Eropa), dan sebagainya. Sebagaimana cuplikan berikut
“… Bawuk akan bercerita tentang apa yang terjadi di kelasnya tentang Juffrouw Dijksma yang gemuk, ….” (Kayam, 2005:101)

“Huiswerk mereka selalu mereka kerjakan dengan teliti dan tekun, serta selesai pada waktunya.” (Kayam, 2005:102)

’… main-main dengan anak-anak desa di belakang kandang kuda adalah bukan kebiasaan yang baik buat seorang anak onder yang diusahakan mengecap pendidikan europeesch yang baik.” (Kayam, 2005:102)

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa penggunaan istilah dan ungkapan yang terdapat dalam cerpen Bawuk, pengarang sengaja meggunakannya sebagai bentuk realisme atau realita masyarakat pada saat itu. Hal ini benar-benar kelihatan bahwa sastra sebagai cerminan masyarakatnya.

B. Latar Belakang Sosial Budaya
Dalam cerpen Bawuk masalah nama pun merupakan masalah yang menarik untuk dibahas, terutama karena cara pemberian nama berbeda-beda di berbagai daerah. Di Jawa nama mempunyai makna, dan menunjukkan hierarki sosial serta tidak diberikan sembarangan. Dahulu bahkan pemberian atau penggantian nama selalu dilakukan dengan upacara tradisional yang khusus (misalnya selamatan dengan bubur merah-putih). Dalam cerpen ini nama ”Bawuk” erat kaitannya dengan jati dirinya. Pada masyarakat Jawa bawuk berarti kemaluan perempuan.
Pada cerita tersebut, tokoh yang bernama Bawuk benar-benar seorang perempuan meskipun dalam banyak hal berbeda dengan saudara-saudara perempuannya yang lain. Di sisi lain panggilan Wuk! merupakan panggilan kesayangan (dalam konteks cerpen Bawuk) dan sama sekali tidak bermaksud merendahkan, tetapi juga diharapkan menjadi anak yang pemurah dan mempunyai empati yang tinggi. Sedangkan sifat lain Bawuk yang pemurah juga tampak dari kedekatannya dengan pembantu rumah tangga maupun kusir dokar.
”Ayo mBok, ayo, Pan, Ik bert een kleine officier … Lho, jangan kelene opisir. Klei … ne Of … fi … cieieierrrr. Ayo, mBok, ayo, Pan. Waaaah, bodo ya, kalian.”
“Kalau pembantu-pembantu itu sudah kecapekan dan tertawa terkekeh akan keulitan mereka melipat-lipat lidah mereka menuruti kemauan Bawuk, maka mereka akan harus mendapat hukuman ganti berganti menggendong Bawuk mengelilingi rumah.” (Kayam, 2005:101-102)

Nama Bawuk juga berarti lebih dekat dengan sifat-sifat kewanitaan, selain pemurah juga perasa. Dalam cerpen ini Bawuk juga diibaratkan induk kepodang yang senantiasa meloncat, berkicau tetapi tidak pernah gagal menyelesaikan tugas hidupnya mengumpulkan makanan buat anak-anaknya di sarang. (Kayam, 2005:102)
Nama Suryo, tentu bukan nama masyarakat dari lapisan bawah. Hal ini menunjukkan kelas sosial keluarga Suryo, di samping itu juga diperkuat dengan selipan-selipan bahasa Belanda yang sering digunakan dalam lingkungan keluarga itu. Suryo dalam bahasa Indonesia ”Surya” berarti cahaya yang termanifestasi pada beberapa sifatnya, seperti disiplin, patuh, serius, efisien dan efektif dalam banyak hal. Sifat-sifat ini diwariskan pula pada keempat saudara Bawuk. Tentu saja namat ini sangat berbeda dengan Sarpan seorang kusir dokar, dan mBok Inem seorang pembantu rumah tangga. Sarpan berasal dari kata sarpa (ular), jadi kedudukannya tidak terlalu jauh dengan binatang. Masyarakat Jawa sering menggunakan istilah dari binatang untuk merendahkan seseorang dan sebagai petunjuk kelas sosialnya, seperti klethong (yang berarti kotoran lembu). Nama Inem juga menujukkan sifat pemilik nama yang mingkem, maksudnya mulutnya tertutup, sehingga sikapnya juga cenderung tertutup.
Kelas sosial menurut persepsi Bawuk tidak ada bedanya lingkungan pembantu maupun ndoro. Sehingga dengan mudahnya Bawuk masuk ke lingkungan para pembantunya. Hal ini juga bentuk protes pada ayahnya yang feodal dan melarang anak-anaknya tiduran di balai-balai dengan seorang bediende, main-main dengan anak-anak desa di belakang kandang kuda.
Mengecap pendidikan Europeesch merupakan cita-cita para orang tua dari kalangan priyayi. Untuk tujuan tersebut, segala usaha akan dilakukan oleh para orang tua, termasuk ayah Bawuk.
“Begitu inginkah suaminya menyenagkan wedana dan kanjaeng agar promosi menjadi wedana lekas menjadi kenyataan? Dan dengan begitu kesempatan untuk mencarikan beurs buat anak-anaknya ke Negeri Belanda menjadi lebih besar lagi? (Kayam, 2005:108)

Kehidupan sehari-hari sangat mencerminkan kebiasaan masyarakat pada suatu daerah tertentu, misalnya:
1. Sikap pembantu yang tidak berhak bertanya dan hanya mengiyakan seperti tampak pada cuplikan berikut.
”Paan! Ayo lekas kudanya diganti tapalnya. Masa kuda onderan larinya pincang kayak anak kampung kudisan. Roda dokar juga diminyaki! Suaranya keriut-keriut kayak gerobak desa.” Dan dari kejauhan Sarpan menjawab ketakutan, ”Inggiiih.” (Kayam, 2005:109)
”Neeem! Ineeem!”
”Ayo, si Manis disirami! Biasanya kokoknya nyaring, kali ini kok kayak tersumbat kodok tenggorokannya. Masa ayam onderan suaranya kayak bangau sawah.” Inggiiih.” (Kayam, 2005:110)

2. Hubungan keluarga yang erat, yang diungkapkan dengan panggilan-panggilan sayang seperti ngger oleh orang tua pada anak-anaknya. Sikap saling memperhatikan kesulitan dan permasalahan anggota keluarga juga digambarkan demikian indahnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kehadiran semua anggota keluarga ketika Bawuk menghadapi suatu kesulitan, meskipun sudah banyak yang berada di luar kota dan sudah menjadi orang-orang berpangkat, bahkan ada yang sudah berbeda ideologi dan demi tugas saling berlawanan tetapi di sana tetap ada perekatnya, yaitu saudara mereka Bawuk.
”Wuuuuk. nggeeeer! teriak Nyonya Suryo
Dan didekapnya anaknya serta cucunya. Diciumnya pipi anak dan cucunya. Air mata berlinang, meleleh di pipi mereka. Pada Nyonya Suryo, pada Bawuk, dan saudara-saudara perempuannya. Anak-anaknya masih berpegangan tangan, berdiri di belakang ibunya.” (Kayam, 2005:114)

C. Latar Belakang Sejarah
Penyebutan akronim atau singkatan Gerwani, BTI, Gestapu, Gestok, Lekra, PKI, serta penyebutan nama Aidit, membawa pembaca memahami salah satu tema dan latar, yaitu pemberontakan G30S PKI. Mereka yang telah mencapai usia dewasa pada tahun 1965, atau pembaca muda yang telah membaca dokumen atau menonton film tentang pemberontakan itu, tidak akan mendapat kesulitan untuk menangkap konotasi yang tersirat di balik beberapa kalimat seperti:
”Merek berkewajiban menggarap para pimpinan Gerwani di kecamatan T itu, yang sebagian terbesar adalah istri-istri pimpinan masyarakat desa kecamatan T. (Kayam, 2005:118)

”Selama itu, Bawuk selalu merasa pertama-tama kawin dengan seorang Hassan daripada dengan seorang komunis.” (Kayam, 2005:119)

Namun jelas bahwa bagi anak yang kini berumur 18-20 terjadi peristiwa mengerikan yang terjadi 45 tahun yang lalu itu tidak akan tergambar secara jelas seperti dalam ingatan para orang tua yang menghayati kejadian tersebut. Bahkan besarnya pengaruh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang di bawah naungan PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno sehingga mengeluarkan pernyataan pada tanggal 8 Mei 1964 bahwa apa yang disebut ”Manifesto Kebudayaan” disingkat menjadi Manikebu. Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra yang sangat hebat sehingga terjadi perang pena yang berkepanjangan (Mulyanto, 1995:304)

IV. SIMPULAN
Dalam suatu karya sastra terungkap bukan hanya oleh penggunaan jalinan kata dan ungkapannya, tetapi baru benar-benar berarti manakala ada kaitan antara keterampilan pengarang menjalin kata-kata dengan pesan yang ingin diungkapkannya. Jadi untuk memahami karya sastra, kita tidak cukup hanya mengerti alur ceritanya. Namun juga harus mampu menangkap jaringan konotasi yang terdapat di bawah struktur pemukaannya.
Pada cerpen Bawuk banyak informasi tentang istilah dan ungkapan baik yang berasal dari bahasa Jawa, Baelanda, atau bahasa asing lainnya. Dalam cerpen tersebut juga mendeskripsikan latar belakang sosial budaya masyarakat Jawa golongan priyayi yang masih feodal. Namun demikian, ada seorang tokoh utama sekaligus sebagai tokoh antagonis yang menjadi simbol pemberontakan. Kebiasaan sehari-hari juga digambarkan sangat realistis termasuk penyebutan merk benda-benda sehari-hari.
Latar belakang sejarah yang menjadi latar dari cerpen ini ditunjukkan dengan adanya penyebutan istilah-istilah yang berkaitan dengan peristiwa G30S PKI dan seorang tokohnya Aidit.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, H.,M.. 1971. The Mirror and the Lamp. Oxford: Oxford University Press.

Darma, Budi. 1998. “The Nature of Literary Research”, Makalah Bahan Penelitian Metodologi Penelitian Bahasa dan Sastra. Surabaya:Unesa.

Kayam, Umar. 2005. Kumpulan Cerpen Sri Sumarah. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Luxemburg, Van, Jan, Bal, Mieke, and Weststeijn, G, Wllaem. 1992. Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dich Hartoko. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Moelyanto, dan Taufik smail. 1995: Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI, dkk. Jakarta: Mizan.

Pradopo, Djoko, Rachmad,. 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

SINOPSIS CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM
Di Karangrandu bermukim sebuah keluarga yang cukup berada dan terpandang di sana. Mereka adalah keluarga Suryo dengan kelima anaknya. Tuan Suryo adalah seorang onder dan priyayi yang disegani dan dihormati di Karangrandu. Dari kelima anaknya keluarga Suryo itu Bawuk adalah yang bungsu.
Cerita ini diawali ketika Ny. Suryo menerima sebuah surat yang berasal dari Bawuk, surat yang aneh karena hanya terdiri dari tiga buah kalimat padahal menurut ingatan Ny. Suryo, tidak pernah anak bungsunya tersebut menulis hanya tiga kalimat yang isinya : Akan datang Sabtu malam ini. Wowok dan Ninuk saya bawa. Sudilah ibu selanjutnya menjaga mereka. Bawuk. Bagi Ny. Suryo, surat Bawuk ini terasa asing sekali, kering, dan hanya apa adanya, tidak mencerminkan Bawuk yang sudah dia kenal dengan baik selama 35 tahun.
Bawuk adalah seorang wanita yang penuh canda pembuat suasana menjadi meriah cerita- ceritanya selalu mengundang tawa menghilangkan kebosanan. Di masa kanak-kanaknya, Bawuk adalah seorang anak yang bersahaja tidak formil walaupun ayahnya adalah seorang onder distrik (pembantu bupati) di Karangrandu (sebuah daerah di Jawa Timur). Ketika itu, dia adalah satu-satunya anak yang paling disayang oleh semua pembantu rumah tangga di rumah onder distrik itu. Ketekunannya dalam hal pelajaran sekolah memang kalah dibanding kakak-kakaknya, dia hanya perempuan yang bersahaja. Setelah semua dewasa, dua kakaknya yang laki menjadi dosen di Universitas Padjajaran, dan di Universitas Indonesia. sedangkan dua kakak perempuannya dinikahi oleh Dirjen sebuah departemen, dan seorang Brigjen. Bawuk sendiri, menikah dengan seorang laki-laki pilihannya sendiri, lelaki yang tidak pernah diam, yang selalu punya gagasan berorganisasi, walaupun tidak lulus SMA. Tapi lelaki pilihannya itu merupakan tokoh pemuda pada satu partai yang saat itu sedang digandrungi yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
Surat yang berisi tiga kalimat itu, diterima Ny. Suryo pada saat G-30-S baru saja meletus. Rupanya Bawuk saat itu sudah mulai harus pindah dari satu rumah ke rumah lain untuk menghindari kejaran ABRI dan saat itu dia sudah terpisah dari Hassan suaminya yang merupakan pemuda pionir partai terlarang itu. Sang ibu yang pandai membaca situasi, begitu menerima surat Bawuk, Ny. Suryo segera memanggil seluruh anaknya, untuk mendengar cerita dari Bawuk di saat nanti dia datang pada hari Sabtu sebagaimana diutarakan di suratnya. Mulailah cerita dengan flashback yang sangat detail tentang masa kanak-kanak Bawuk, kehidupan di onder distrik itu. Umar Kayam memang sangat kuat bila menceritakan hal-hal yang detail membawa larut hati kita seakan ikut serta di dalam kejadian yang diceritakannya itu.
Pada saat Bawuk datang Sabtu yang ditentukan, kakak-kakaknya sudah berkumpul di rumah Ny. Suryo. Mereka mendengar dengan penuh perhatian penjelasan Bawuk. Namun, ketika mendengar bahwa Bawuk hendak pergi lagi mencari Hassan, maka kakak-kakaknya seperti tidak putus menasihati agar tinggal saja di rumah ibunya sambil menunggu Hassan yang tidak diketahui keberadaannya. Apa keputusannya? Di sinilah Ny. Suryo digambarkan oleh Umar Kayam sebagai seorang ibu yang betul-betul mengerti perasaan anak bungsunya. Hanya ibulah yang bisa menyelami perasaan galau anaknya dan hanya ibulah yang mempunyai ikatan batin sedemikian erat dengan anak kandungnya. Sang ibu mengizinkan Bawuk pergi mencari suami. Wowok dan Ninuk anaknya diizinkan tinggal dirumahnya dipanggilnya guru ngaji. Sampai suatu ketika Ny. Suryo membaca di koran bahwa seluruh pentolan PKI di Jawa Timur sudah tertangkap dan terbunuh termasuk Hassan. Cerpen ini ditutup oleh Umar Kayam dengan tanda tanya besar, bagaimana nasib Bawuk dalam pencarian suamnya, apakah dia sempat bertemu dengan suaminya, tidak ada yang tahu, karena sampai saat itu Bawuk belum pulang ke rumah orang tuanya.

Meningkatkan Kreativitas Siswa Menciptakan Karya Sastra

Meningkatkan Kreativitas Siswa Menciptakan Karya Sastra
Oleh Sutarsih

Mengajarkan apresiasi sastra tidak hanya dengan menyediakan dan menugasi siswa membaca karya sastra, tetapi dapat juga mengasah kemampuan siswa untuk menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemilihan metode/teknik menuangkan ide sangatlah penting untuk memacu kreativitas siswa dalam mengarang. Dengan demikian, peran guru sangat penting untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam mengarang. Dengan demikian, peran guru sangat penting untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam menciptakan karya sastra.

1. Apresiasi Sastra

Karya sastra dianggap sebagai hasil proses kreatif pengarang. Menurut Abrams, penelitian karya sastra dengan menggunakan pendekatan eksprsif memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan. Jika dibayangkan bahwa segala gagasan, cita rasa, emosi, ide, dan angan-angan merupakan ’dunia dalam’ pengarang, karya sastra merupakan ’dunia luar’ pengarang. Karya sastra dianggap sebagai sarana untuk memehami keadaan jiwa pengarang atau sebaliknya (Sugihastuti, 2002:2).
Apresiasi sastra merupakan interpretasi yang benar terhadap karya sastra. Karenanya, Hirsch menyatakan apabila pernyataan-pernyataan tentang makna sebuah karya sastra merupakan pernyataan-pernyataan yang objektif, apabila interpretasi karya sastra harus menjadi ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu dan bukan sekadar arena bagi gagasan, khayalan, pilihan pribadi, yang tonggaknya bukanlah pengetahuan, tetapi apa yang disebut dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tingggi sehingga diperlukan standar penilaian yang memperkenankan, sedikit-sedikitnya secara prinsip, satu dan hanya satu interpretasi sebuah karya untuk dinilai betul atau benar (Sugihastuti, 2002: 11).
Pernyataan Hirsch bahwa hanya maksud si pengarang yang memberikan ’standar pembeda yang benar’ menawarkan alasan mengapa disodorkan bahwa interpretasi sastra perlu sekali menjadi ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu menjadikan perlunya pengajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, pengajaran sastra merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kreativitas siswa menciptakan karya sastra.

2. Menulis dan Mengarang

Menulis bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kadang orang bisa berbicara, tetapi tidak bisa menulis kembali apa yang dibicarakan. Sebaliknya, ada orang yang pandai menulis, tetapi tidak bisa membicarakan tulisannya. Namun, ada juga orang yang pandai berbicara dan menulis. Khusus tentang kemampuan menulis ini, hambatan yang dialami adalah penuangan ide berupa penulisan kata pertama untuk mengawali tulisan. Kadang kala dalam menulis selalu muncul pertanyaan: apa yang akan ditulis, bagaimana menuliskannya, dan pantaskah disebut sebuah tulisan Meskipun sebenarnya ide itu bisa didapatkan dari mana saja, misalnya dari pengalaman diri sendiri; dari cerita orang lain; peristiwa alam; ataupun dari khayalan kita, menulis tetap dianggap tidak mudah. Kesulitan dalam menuangkan ide ternyata juga sering dialami oleh siswa sekolah dasar. Padahal, berdasarkan aspek keterampilan berbahasa Indonesia, keterampilan menulis merupakan salah satu kompetensi berbahasa yang harus dimiliki oleh setiap siswa selain keterampilan membaca, mendengarkan, dan berbicara. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa adalah mengungkapkan gagasan dalam bentuk tulisan, membuat alur cerita yang runtut, dan menggunakan bahasa yang mudah dibaca (Rusilah, 2006:3).
Berkaitan dengan pengajaran sastra berupa menciptakan karya sastra, masih ada kendala pada saat melaksanakan pengajaran mengarang. Proses belajar mengajar yang selama ini masih banyak dijumpai menggunakan pendekatan tradisional merupakan salah satu faktor penghambat kreativitas menulis. Guru sebagai penentu proses pembelajaran sedangkan siswa secara pasif hanya menerima rumus atau kaidah. Pada umumnya pendekatan tradisional tidak membangkitkan kreativitas siswa sehingga siswa mengalami kesulitan pada saat mengarang.
Permasalahan tentang kreativitas menulis ini sebenarnya bisa dilatih dan dijadikan sebuah keterampilan dengan cara membiasakan diri berlatih menulis. Untuk itu, perlu ditemukan metode menulis yang tepat dan praktik menulis berdasarkan metode tersebut.
Penelitian pengajaran sastra, terutama tentang kemampuan menulis sebuah karya sastra, sudah banyak dilakukan. Henry Yustanto dkk. telah melakukan penelitian dengan judul “Kondisi Pengajaran Sastra Indonesia di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Surakarta: Studi Kasus (2004)”. Dalam penelitian itu mereka menganalisis realitas proses belajar mengajar sastra Indonesia di SLTP dan tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pengajaran sastra di sekolah.
Penelitian lain tentang menulis dilakukan oleh Rita Inderawati dalam desertasinya tahun 2005 berjudul “Model Respons Nonverbal dan Verbal dalam Pembelajaran Sastra untuk Mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa SD: Studi Kuasi-Eksperimen di SD Negeri ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/2004”. Tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah untuk mengembangkan keterampilan menulis siswa dengan menerapkan respon pembaca dan simbol-simbol visual sehingga mampu mencerdaskan moral siswa. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keberterimaan, perbandingan, dampak, kelebihan, kelemahan, dan model pembelajaran sastra untuk mengembangkan keterampilan menulis.
Selain penelitian di atas, masih ada penelitian lain tentang penelitian keterampilan menulis, khususnya prosa sederhana yang dilakukan oleh Rusilah berjudul “Penerapan Strategi Area Isi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Prosa Sederhana bagi Siswa Kelas V SDN Sendangmulyo 03, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007″. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menuangkan ide saat menulis sebuah prosa sederhana (cerpen), meningkatkan motivasi siswa dalam melakukan aktivitas menulis prosa sederhana (cerpen), meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa dalam menulis prosa sederhana (cerpen), dan meningkatkan keterampilan guru dalam memotivasi siswa untuk menulis prosa sederhana (cerpen).
Penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Ari Wijayanti, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang dalam skripsinya yang berjudul “Kemampuan Menulis Karangan Narasi Siswa Kelas III SD Negeri Blitar Kecamatan Sukorejo Tahun Ajaran 2006/2007”. Dalam skripsi tersebut siswa diharapkan tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan membuat karangan. Namun, juga diperlukan kecermatan untuk membuat argumen dan memiliki kemampuan untuk menuangkan ide atau gagasan dengan cara membuat karangan yang menarik untuk dibaca.
Sutarman melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Mengajar Kooperatif Tipe Student Team Achievement Division (STAD) bagi Peningkatan Kemampuan Menulis: Penelitian Tindakan Kelas Pada Pembelajaran Menulis Siswa Kelas III SMPN 2 Jatinunggal Sumedang Tahun Pelajaran 2004/2005”. Penelitian ini menggunakan model yang memungkinkan siswa untuk belajar menulis melalui praktik menulis berkelompok dengan memanfaatkan potensi interaksi dan kerja sama antarsiswa. Ketika proses belajar berlangsung, siswa dapat berdiskusi dan saling mengoreksi tulisan. Dari sini diharapkan siswa dapat menemukan dan menyadari kekurangannya sendiri, kemudian memperbaikinya agar tidak mengulangi lagi kesalahan penulisan karangan.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sonya Inna S. dengan judul “Pengembangan Program Pembelajaran Kontekstual dalam Pelajaran Menulis: Studi Pengembangan pada Kelas V Sekolah Dasar Lembaga Pendidikan Katholik di Bandung”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model pembelajaran kontekstual yang dapat diterapkan pada pelajaran menulis di Sekolah Dasar. Program Pembelajaran Kontekstual dalam Pelajaran Menulis diperoleh melalui penelitian menggunakan metode research and development. Tahap penelitian meliputi studi pendahuluan, pengembangan, uji coba model secara terbatas dan uji coba model secara lebih luas.

3. Pengajaran Sastra di Sekolah

Variasi berbahasa menjadi pusat pembelajaran bahasa. Ini berarti model pembelajaran bahasa harus mencakup sebanyak mungkin kegiatan pelangsungan berbahasa Indonesia. Termasuk di dalam kegiatan pelangsungan berbahasa Indonesia ini adalah keterampilan menulis. Melalui keterampilan menulis, siswa dilatih untuk berbahasa aktif dalam bentuk tertulis.
Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia harus menciptakan usaha dan kemauan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan wajar. Pembelajaran bahasa Indonesia harus mendorong siswa untuk mau dan berusaha untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik, benar, dan wajar untuk pelbagai tujuan dan dalam pelbagai situasi. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia terpusat pada siswa. Ini berarti aktivitas terbesar dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah siswa terdorong, mau, giat, dan berusaha mendengarkan uraian dan percakapan dalam bahasa Indonesia, membaca naskah tulis bahasa Indonesia, berbicara dalam bahasa Indonesia untuk pelbagai keperluan, dan menulis dalam bahasa Indonesia untuk pelbagai tujuan dan maksud (Parera, 1996:13).

3.1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
3.1.1 Hakikat KTSP

Pemerintah telah mempercepat pencanangan “Millenium development goals” yang semula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2015. Millenium development goals adalah era pasar bebas, era globalisasi, dan era persaingan mutu dan kualitas. Mutu dan kualitas menjadi standar parameter yang sangat penting agar sumber daya manusia Indonesia dapat bersaing dengan luar negeri. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan suatu keharusan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Era mutu dan kualitas menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan, dan strategi sesuai kebutuhan. Demikian juga halnya dalam pendidikan.
Kurikulum adalah komponen sistem pendidikan yang dipakai sebagai acuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki “kemampuan berpikir”. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan sebagai penggerak mesin utama pendidikan yaitu pembelajaran. KTSP menjadi seperangkat pengembangan kurikulum yang diharapkan memenuhi kebutuhan pendidikan. Sebagai wujud reformasi pendidikan, KTSP memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya masing-masing. Pada sistem KTSP sekolah memiliki kekuasaan dan tanggungjawab penuh dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi, dan tujuan.
Dalam KTSP, pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, komite sekolah, dewan pendidikan, tenaga kependidikan, wali murid, tokoh masyarakat, dan lembaga lain yang bisa dilibatkan dalam menetapkan kebijakan berdasarkan ketentuan-ketentuan pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, kurikulum dirumuskan oleh komite sekolah menjadi program-program operasional untuk mencapai tujuan sekolah. KTSP didedikasikan sebagai tonggak pembaharu yang dapat mendongkrak kualitas pendidikan dan mampu menciptakan generasi unggul yang oleh pemerintah dan semua pihak diharapkan membentuk keselarasan antara pendidikan dan pembangunan, serta memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Dalam hal ini keterampilan menulis menjadi kata kunci agar tiap-tiap siswa mampu memaksimalkan potensi dirinya.

3.1.2 Konsep Dasar Pengajaran Sastra Indonesia dalam KTSP

Pembahasan tentang konsep dasar pengajaran sastra Indonesia berdasarkan pada kurikulum yang berlaku pada saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berdasarkan kurikulum tersebut, pengajaran sastra Indonesia di sekolah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pengajaran bahasa Indonesia.
Konsep dasar pengajaran sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) secara substansi menunjukkan posisi pengajaran sastra lebih dideskripsikan secara jelas dan operasional. Kejelasan posisi ini diungkapkan dalam tujuan umum pembelajaran, yaitu peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri (BNSP 2006:317). Standar kompetensi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) meliputi empat aspek keterampilan di dalam belajar bahasa yakni: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang berkaitan dengan ragam sastra. Dengan demikian, posisi materi pengajaran sastra dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia semakin baik dan deskripsinya semakin jelas.
Tujuan pengajaran umum itu dijabarkan lagi dalam beberapa tujuan khusus. Tujuan khusus yang terkait dengan pengetahuan sastra, yaitu siswa dapat menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selain itu, dari pembelajaran sastra siswa diharapkan dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Pada akhir pendidikan di SD/MI, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya sembilan buku sastra dan nonsastra (BNSP, 2006:318).
Adapun standar kompetensi dalam kemampuan bersastra disebutkan dalam Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) antara lain sebagai berikut.
1. Mendengarkan: peserta didik mampu mendengarkan karya sastra yang dikisahkan atau dibacakan dan memahami pikiran, perasaan, dan imajinasi yang terkandung di dalam karya sastra berbentuk dongeng, puisi, cerita, drama, pantun, dan cerita rakyat.
2. Berbicara: peserta didik mampu menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan atas pemahaman mereka dalam membaca karya sastra anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi.
3. Membaca: peserta didik mampu menggunakan berbagai teknik membaca untuk memahami wacana karya sastra anak berbentuk puisi, dongeng, pantun, percakapan, cerita, dan drama.
4. Menulis: peserta didik mampu menulis karangan sederhana untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk cerita, puisi, dan pantun (BNSP, 2006:16).

3.2 Menulis Kreatif
3.2.1 Menulis

Kata ‘menulis’ mempunyai dua arti. Pertama, menulis berarti mengubah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia menjadi tanda-tanda yang dapat dilihat. Kedua, kata ‘menulis’ mempunyai arti suatu kegiatan mengungkapkan gagasan secara tertulis. Orang yang melakukan kegiatan ini disebut penulis dan hasil kegiatannya berupa tulisan (Asrul Wijayanto dalam Rusilah, 2006:6).
Sebelum menulis atau mengarang harus terlebih dahulu menyiapkan kerangka karangan. Kerangka karangan memungkinkan penulis membedakan gagasan utama dan gagasan-gagasan tambahan sehingga dapat membantu penulis menyusun karangan secara teratur. Wujud dan gagasan dapat dilihat secara jelas hingga susunan dan hubungan timbal balik antargagasan itu tepat.

3.2.2 Menulis Kreatif

Menulis kreatif bisa disimpulkan sebagai suatu kegiatan mewujudkan apa yang ada di otak dengan sebagai suatu langkah awal yang ditulis oleh tangan kita (Laksana, 2007:3). Hal ini didukung oleh pengertian menulis kreatif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3 yang menyatakan kegiatan melahirkan pikiran atau perasaan dengan tulisan yang memiliki daya cipta (2003:599).
Dalam rangka menulis kreatif, yang dibutuhkan adalah adanya kemauan walau tanpa ide (Laksana, 2007:5). Dengan adanya kemauan untuk menulis, terciptalah tulisan. Keinginan menulis harus diwujudkan menjadi sebuah tindakan menulis dan itu memerlukan sedikit kemauan untuk menyingkirkan penundaan dan tidak ambil peduli terhadap mood. Langkah selanjutnya adalah memunculkan ide. Ide dapat muncul dengan cara memancing datangnya ide, menangkap, dan mengembangkannya. Langkah selanjutnya adalah menulis berdasarkan ide yang telah dikembangkan tersebut. Pada saat menulis cobalah untuk menulis secara sederhana dan apa adanya. Menulis sebagaimana berbicara supaya dipahami. Menulis harus dilakukan secara cepat dengan membatasi waktu. Menulislah yang buruk, lalu editlah. Menulis tidak boleh dilakukan secara bersamaan dengan mengedit. Hal ini untuk menghindari penyumbatan mengalirnya kata dan terhambatnya pengembangan ide. Jangan pedulikan apakah susunan kalimatnya baik atau buruk. Yang paling penting adalah menumpahkan semua yang ingin disampaikan. Pada saat mengedit inilah otak akan bekerja untuk menyusun tulisan yang dibuat sehingga mengalir dan mudah dibaca. Ubah susunan kalimat kalau perlu. Buang bagian dari kalimat atau kalimat itu sendiri jika dirasa tidak tepat. Pikirkan pilihan kata yang dianggap kuat.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk menulis kreatif adalah dengan menggunakan kata kunci. Kata kunci tersebut digunakan untuk mengawali sebuah paragraf. Pengembangan paragraf dilakukan sebagai pengembangan kata kunci dengan cara menguraikan secara detail mengenai karakteristik kata kunci tersebut, bisa ditinjau dari kegunaan, bentuk, warna, ukuran, letak, rasa, sifat, aroma, maupun cara penggunaannya. Misalkan pada sebuah paragraf digunakan tiga kata kunci yang sepertinya tidak ada hubungannya, ternyata setelah mengalami tahap pengeditan akan terbentuklah sebuah jalinan yang memiliki keterkaitan dan bisa dipahami maksud yang tersurat dan tersirat pada tulisan itu secara baik oleh pembaca.

3.3.3 Metode Menulis Kreatif

Menulis kreatif sebagai wujud kegiatan mengarang memang perlu dilatihkan pada siswa. Oleh karena itu, peran aktif guru sangat diperlukan untuk membantu siswa menuangkan ide. Siswa perlu banyak latihan mengarang untuk meningkatkan kreativitasnya dalam menulis. Latihan ini merupakan umpan yang diberikan kepada siswa agar ditemukan metode yang paling tepat dan menggugah imajinasi siswa dalam menumpahkan idenya dalam bentuk karangan.
Metode yang dipilih harus disesuaikan dengan karakteristik siswa, meliputi: umur, tingkatan kelas, latar belakang sosial ekonomi, lingkungan, dan pengalaman. Guru bisa juga mengambil bahan pemancing ide dari kebiasaan siswa yang pada umumnya senang dengan hal-hal yang masih bersifat khayal, komik, dongeng, binatang, dan hobi. Semua bahan pemancing ide itu bisa berupa visual atau adio atau audio visual yang dapat merangsang kreativitas siswa dengan kemasan yang menarik.

Daftar Pustaka

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.
Laksana, A.S. 2007. Creative Writing: Tip dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel. Jakarta: 2007.
Parera, Jos Daniel. 1996. Kurikulum 1994 Bahasa Indonesia: Pedoman Kegiatan Belajar Bahasa Indonesia Landas Oikir Landas Teori untuk Guru Bahasa Indonesia SLTP dan SMU. Jakarta: Grasindo.
Rusilah. 2006. “Penelitian Tindakan Kelas: Penerapan Strategi Area Isi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Prosa Sederhana bagi Siswa Kelas V SDN Sendangmulyo 03, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007”.
Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun KBBI Edisi Ketiga. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Pengertian Sastra

PENGERTIAN, FUNGSI, DAN RAGAM SASTRA

Maret 9, 2009 — Wahidin

A. Pengertian Sastra
Kesusastraan : susastra + ke – an
su + sastra
su berarti indah atau baik
sastra berarti lukisan atau karangan

Susastra berarti karangan atau lukisan yang baik dan indah.
Kesusastraan berarti segala tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.

B. Fungsi Sastra
Dalam kehidupan masayarakat sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu :
1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.
2. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya.
3. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya.
4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.
5. Fungsi religius, yaitu sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.

C. Ragam Sastra
1. Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :

a) Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.
b) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan habasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu :

(1) Jumlah baris tiap-tiap baitnya,
(2) Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya,
(3) Irama, dan
(4) Persamaan bunyi kata.
c) Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
d) Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.

2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :

a) Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.
b) Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
c) Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.
d) Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan pelukisan yang berlebih-lebihan.

3. Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a) Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan Lama Indonesia dibagi menjadi :

(1) Kesusastraan zaman purba,
(2) Kesusastraan zaman Hindu Budha,
(3) Kesusastraan zaman Islam, dan
(4) Kesusastraan zaman Arab – Melayu.

b) Kesusastraan Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ialah :
(1) Hikayat Abdullah
(2) Syair Singapura Dimakan Api
(3) Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah
(4) Syair Abdul Muluk, dll.

c) Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru Indonesia. Kesusastraan Baru mencangkup kesusastraan pada Zaman :
(1) Balai Pustaka / Angkatan ‘20
(2) Pujangga Baru / Angkatan ‘30
(3) Jepang
(4) Angkatan ‘45
(5) Angkatan ‘66
(6) Mutakhir / Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang

D. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
Karya sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya. Dua unsur yang dimaksud ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti : tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latae dan pelataran, dan pusat pengisahan. Sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari luarnya menyangkut aspek sosiologi, psikologi, dan lain-lain.

1. Unsur Intrinsik
a) Tema dan Amanat
Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra. Tema mayor ialah tema yang sangat menonjol dan menjadi persoalan. Tema minor ialah tema yang tidak menonjol.
Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan ialah makana yang termuat dalam karya sastra tersebut.

b) Tokoh dan Penokohan
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya ada beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama. Tokoh utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan dalam karya sastra. Dua jenis tokoh adalah tokoh datar (flash character) dan tokoh bulat (round character).
Tokoh datar ialah tokoh yang hanya menunjukkan satu segi, misalny6a baik saja atau buruk saja. Sejak awal sampai akhir cerita tokoh yang jahat akan tetap jahat. Tokoh bulat adalah tokoh yang menunjukkan berbagai segi baik buruknya, kelebihan dan kelemahannya. Jadi ada perkembangan yang terjadi pada tokoh ini. Dari segi kejiwaan dikenal ada tokoh introvert dan ekstrovert. Tokoh introvert ialah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh ketidaksadarannya. Tokoh ekstrovert ialah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra dikenal pula tokoh protagonis dan antagonis. Protagonis ialah tokoh yang disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Antagonis ialah tokoh yang tidak disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya.
Penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh. Ada beberapa cara menampilkan tokoh. Cara analitik, ialah cara penampilan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung. Cara dramatik, ialah cara menampilkan tokoh tidak secara langsung tetapi melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelaku atau tokoh dalam suatu cerita.
Dialog ialah cakapan antara seorang tokoh dengan banyak tokoh.
Dualog ialah cakapan antara dua tokoh saja.
Monolog ialah cakapan batin terhadap kejadian lampau dan yang sedang terjadi.
Solilokui ialah bentuk cakapan batin terhadap peristiwa yang akan terjadi.

c) Alur dan Pengaluran
Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu bulat dan utuh. Alur terdiri atas beberapa bagian :
(1) Awal, yaitu pengarang mulai memperkenalkan tokoh-tokohnya.
(2) Tikaian, yaitu terjadi konflik di antara tokoh-tokoh pelaku.
(3) Gawatan atau rumitan, yaitu konflik tokoh-tokoh semakin seru.
(4) Puncak, yaitu saat puncak konflik di antara tokoh-tokohnya.
(5) Leraian, yaitu saat peristiwa konflik semakin reda dan perkembangan alur mulai terungkap.
(6) Akhir, yaitu seluruh peristiwa atau konflik telah terselesaikan.

Pengaluran, yaitu teknik atau cara-cara menampilkan alur. Menurut kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur erat dan alur longggar. Alur erat ialah alur yang tidak memungkinkan adanya pencabangan cerita. Alur longgar adalah alur yang memungkinkan adanya pencabangan cerita. Menurut kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal ialah alur yang hanya satu dalam karya sastra. Alur ganda ialah alur yang lebih dari satu dalam karya sastra. Dari segi urutan waktu, pengaluran dibedakan kedalam alur lurus dan tidak lurus. Alur lurus ialah alur yang melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah alur yang melukiskan tidak urut dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus bisa menggunakan gerak balik (backtracking), sorot balik (flashback), atau campauran keduanya.

d) Latar dan Pelataran
Latar disebut juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar atau setting dibedakan menjadi latar material dan sosial. Latar material ialah lukisan latar belakang alam atau lingkungan di mana tokoh tersebut berada. Latar sosial, ialah lukisan tatakrama tingkah laku, adat dan pandangan hidup. Sedangkan pelataran ialah teknik atau cara-cara menampilkan latar.

e) Pusat Pengisahan
Pusat pengisahan ialah dari mana suatu cerita dikisahkan oleh pencerita. Pencerita di sini adalah privbadi yang diciptakan pengarang untuk menyampaikan cerita. Paling tidak ada dua pusat pengisahan yaitu pencerita sebagai orang pertama dan pencerita sebagai orang ketiga. Sebagai orang pertama, pencerita duduk dan terlibat dalam cerita tersebut, biasanya sebagai aku dalam tokoh cerita. Sebagai orang ketiga, pencerita tidak terlibat dalam cerita tersebut tetapi ia duduk sebagai seorang pengamat atau dalang yang serba tahu.

2. Unsur Ekstrinsik
Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan, pembaca sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik, diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain.

Ditulis dalam Makalah Jurusan Bahasa, makalah bahasa indonesia

Apresiasi Karya Sastra

Apresiasi karya sastra dengan menentukan unsur intrinsik dan ekstrinsik

Unsur Intrinsik Karya Sastra

A. Tema Puisi dan Tema Cerpen/ Novel

Tema, ialah pokok permasalahan yang mendasari penggubahan sebuah puisi atau dasar penulisan prosa, cerpen, novel, dan drama. Misalnya: masalah perjuangan, kepahlawanan, kekecewaan, kemunafikan, penderitaan, percintaan, keagamaan, kekecewaan, atau kehidupan manusia.

Contoh:

Kemudian Pak Balam menutup matanya kembali, dan memandang mencari muka Wak Katok, dan ketika pandangan mereka bertaut, Pak Balam berkata kepada Wak Katok, “Akuilah dosa-dosamu Wak Katok, dan sujudlah ke hadirat Tuhan, mintalah ampun kepada Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun, akuilah dosa-dosamu, juga kalian, supaya kalian dapat selamat keluar dari rimba ini, terjauh dari rimba ini, terjauh di bahaya yang dibawa harimau … biarlah aku yang jadi korban …”

(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)

Masalah dalam novel tersebut adalah pertobatan karena berisi imbauan untuk mengakui kesalahan (dosa) agar Tuhan mengampuni dosa yang telah dilakukan.

B. Konflik

Konflik, ialah ketegangan atau pertentangan (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri seorang tokoh, dua orang tokoh, atau kelompok). Penyebab konflik antara lain: dengan diri sendiri (konflik batin),antartokoh, budaya, alam/ lingkungan, sosial).

contoh:

Sulung : Hem. Di sana kami punya wali negara, bangsa awak. Di sana segala lapangan kerja terbuka lebar-lebar bagi bangsa awak. Di sana, bagian terbesar tentara polisi, alat negara bangsa awak. Di atas segalanya, kami di sana hidup damai. Rukun berdampingan antara si putih dan bangsa awak. . . .

Bapak : Dan di atas segalanya pula, di sana si putih menjadi yang diperlukan. Dan sebuah bendera asing jadi lambang kedaulatan, lambang kuasa; penjajahan. Dapatkah itu kauartikan kemerdekaan?

(Bapak, B. Sularto)

Konflik yang terdapat dalam kutipan drama tersebut adalah si bapak menerima kenyataan bahwa anaknya telah salah langkah karena menjadi pengkhianat bangsa dan negara. Terbukti anaknya sangat memuji penjajah (kulit putih)

Tahapan konflik dapat pula dibagi menjadi awal konflik, konflik mulai bergerak (konflikasi), puncak konflik atau klimaks, dan penyelesaian atau antiklimaks (akhir konflik).

C. Watak Tokoh

Perwatakan tokoh, adalah karakter atau sifat batin yang mempengaruhi segenap

pikiran dan tingkah laku tokoh dalam cerita.

Pengarang menggambarkan watak tokoh antara lain melalui:

1)      penjelasan langsung dari pengarang (tertulis) bahwa tokohnya berwatak baik, marah, sadis, dengki, licik, kikir, sombong, bijaksana, rapi, dan sebagainya

2)      dialog antartokoh

3)      tanggapan atau reaksi dari tokoh lain terhadap tokoh utama

4)      pikiran-pikiran dalam hati tokoh

5)      lingkungan di sekitar tokoh atau penampilan tokoh (rapi, bersih, teratur, dan

6)      sebagainya)

7)      bentuk fisik tokoh

8)      tingkah laku, tindakan tokoh, atau reaksi tokoh terhadap suatu masalah.

contoh:

“Aku merasa ringan, kini aku sudah menceritakan kepada kalian di depan Wak Katok beban dosa yang selama ini menghimpit hatiku dan kepalaku. Aku sudah mengakui dosa-dosaku, dan tolonglah doakan supaya Tuhan suka kiranya mengampuni dosa-dosa Wak Katok …”. Pak Balam mendekatkan kedua belah telapak tangan seperti orang berdoa, dan mulutnya komat-kamit. Pak Haji bertakbir, perlahan-lahan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!”

(Harimau-Harimau,Muchtar Lubis)

Watak Pak Balam dalam kutipan tersebut adalah jujur, yaitu dia mengakui dosa yang telah diperbuatnya di depan teman-temannya. Pengarang melukiskan watak tokoh melalui dialog atau percakapan antartokoh.

D. Latar Cerita

Latar cerita, ialah keterangan mengenai waktu, ruang/ tempat, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.

contoh:

Mereka melihat harimau melepaskan Pak Balam dan terus berlari, menghilang ke dalam hutan yang gelap. Dengan cepat mereka berlari ke tempat Pak Balam terbaring. Dalam cahaya samar-samar dari pohon kayu yang menyala, mereka melihat betapa kaki kiri Pak Balam hancur betisnya karena gigitan harimau, daging dan otot betisnya koyak hingga kelihatan tulangnya yang putih dan darah mengalir amat banyak.

Pak Balam koyak-moyak, dan seluruh badannya penuh dengan luka-luka kecil dan gores-gores merah kena duri, batu, dan kayu ketika dilarikan harimau. Mukanya berdarah. Darah keluar dari hidungnya, dari mulutnya. Pak Balam kelihatannya pingsan, tak sadar diri, dia hanya terbaring di sana mengerangngerang.

(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)

Latar tempat, yang terdapat dalam kutipan tersebut adalah hutan rimba karena dalam hutan rimbalah terdapat harimau dan secara tersurat digambarkan pengarang.

E. Sudut Pandang

Sudut pandang, ialah cara si pengarang mengisahkan/ menceritakan suatu cerita. Sudut pandang terbagi menjadi: orang I, orang III, atau campuran (orang I dan orang III).

Sudut pandang orang I terbagi menjadi: orang I sebagai tokoh utama, contoh: autobiografi, cerita rekaan, tetapi seakan pengarang sendiri yang diceritakan. Orang I pengamat, yaitu pengarang sebagai pengamat, tetapi ada dalam cerita. Kata ganti yang dapat digunakan saya atau aku atau yang sejenisnya, biasa pula disebut sudut pandang akuan.

Sudut pandang orang III terbagi menjadi: orang III serba tahu, yaitu melaporkan semua tindak tanduk yang sangat pribadi dari pelaku, dan orang III terarah, yaitu terpusat pada satu karakter. Kata ganti yang dapat digunakan adalah dia, ia, mereka, nama orang, atau kata ganti orang ketiga lainnya, biasa disebut sudut pandang diaan.

contoh:

Pak Balam menutup matanya kembali, dan dia terbaring demikian, letih telah berbicara begitu banyak. Mereka duduk mengelilinginya dengan pikiran masing-masing. Cerita Pak Balam menimbulkan kesan yang dahsyat sekali dalam hati mereka. Mereka ingin dapat selamat sampai ke kampung, meninggalkan hutan dengan harimau maut

jauh-jauh di belakang. Akan tetapi, mengakui dosa-dosa di depan kawan semua.

(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)

Sudut pandang dalam kutipan tersebut adalah orang III serba tahu karena melaporkan semua tindak tanduk tokoh, yaitu Pak Balam dan mereka.

F. Amanat Cerita

Amanat, ialah pesan yang disampaikan oleh pengarang melalui isi cerita yang dikarangnya. Amanat yang disampaikan dapat secara langsung (tertulis), melalui dialog antartokoh dalam cerita atau tidak langsung (tersirat).

contoh:

Kemudian Pak Balam menutup matanya kembali, dan memandang mencari muka Wak Katok, dan ketika pandangan mereka bertaut, Pak Balam berkata kepada Wak Katok, “Akuilah dosa-dosamu, Wak Katok, dan sujudlah ke hadirat Tuhan, mintalah ampun kepada Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun, akuilah dosa-dosamu, juga kalian, supaya kalian dapat selamat keluar dari rimba ini, terjauh dari rimba ini, terjauh dari bahaya yang dibawa harimau … biarlah aku yang jadi korban …”

(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)

Amanat yang terkandung dalam kutipan tersebut adalah “Bertaubat dan minta ampunan atas dosa yang telah diperbuat , pasti Tuhan akan mengampuninya, dan hidupmu akan selamat.”

E. Nilai –Nilai dalam Novel

Dalam sebuah karya sastra terkandung nilai-nilai yang disisipkan oleh pengarang. Nilai-nilai itu antara lain: nilai moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti baik dan buruk, nilai sosial, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan norma-norma dalam kehidupan masyarakat (misalnya saling memberi, menolong, dan tenggang rasa), nilai budaya, yaitu konsep mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia (misalnya: adat istiadat, kesenian, kepercayaan, upacara adat), dan nilai estetika, yaitu nilai yang berkaitan dengan seni, keindahan dalam karya sastra (tentang bahasa, alur, tema)

contoh:

Dari sebuah kantung di dalam keranjang besarnya, Wak Katok mengeluarkan daun ramu-ramuan. Mereka membersihkan luka-luka Pak Balam dengan air panas dan Wak Katok menutup luka besar di betis dengan ramuan daun-daun yang kemudian mereka membungkus dengan sobekan kain sarung Pak Balam. Wak Katok merebus ramuan obat-obatan sambil membaca mantera-mantera, dan setelah air mendidih, air obat dituangkan ke dalam mangkok dari batok kelapa. Setelah air agak dingin, Wak Katok meminumkannya kepada Pak Balam sedikit demi sedikit.

(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)

Nilai sosial yang terdapat dalam kutipan novel tersebut adalah memberi pertolongan kepada orang yang sedang sakit. Karena dalam kutipan diungkapkan, Wak Katok dan teman-temannya memberi pertolongan kepada Pak Balam yang terluka (membersihkan, mengobati, dan membalutnya), meminumkan obat yang mereka buat sendiri.