Analisis Cerpen

CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM (KAJIAN MIMESIS)
Oleh: Ridwan, S.Pd.

I. PENDAHULUAN
Cerpen Bawuk dalam kumpulan cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam. Dalam cerpen tersebut pengarang menggambarkan tokoh yang hidup dalam situasi politik dan latar belakang sejarah yang nyata. Mengenai hal ini, sebagian pendapat mengkategorikan Umar Kayam sebagai realis. Unsur realisme Umar Kayam adalah realisme budaya Jawa yang diperlihatkan pada tokoh yang memiliki kepribadian Jawa. Dalam cerpen Bawuk, tokoh utama yang dimunculkan mampu mewakili konsep budaya Jawa yaitu tokoh Bawuk.
Bawuk anak bungsu kelima bersaudara dari keluarga Suryo, sebuah keluarga yang cukup berada dan terpandang di Karangrandu. Tuan Suryo adalah seorang onder distrik (pembantu bupati) dan priyayi yang disegani dan dihormati di sana. Bawuk adalah seorang anak yang bersahaja tidak formil walaupun ayahnya adalah seorang onder distrik di Karangrandu (sebuah daerah di Jawa Timur).
Umar Kayam menggambarkan tokoh Bawuk yang memiliki sifat tersendiri tidak seperti saudara-saudaranya yang disiplin dan menjaga jarak dalam pergaulannya, tidak semua kalangan bisa diajak bergaul karena mereka keluarga priyayi. Berbeda dengan Bawuk tidak suka diatur dan tidak pilih-pilih dalam bergaul. Bawuk sering bermain di belakang kandang kuda, makan tebu dengan anak mandor tebu. Bahkan, kadang-kadang dia enak tiduran di balai-balai mBok Inem mendengarkan cerita Jawa lama.
Setelah semua dewasa, dua kakaknya yang laki-laki menjadi dosen di Universitas Padjajaran, dan di Universitas Indonesia. sedangkan dua kakak perempuannya dinikahi oleh Dirjen sebuah departemen, dan seorang Brigjen. Bawuk sendiri, menikah dengan seorang laki-laki pilihannya sendiri, lelaki yang tidak pernah diam, yang selalu punya gagasan berorganisasi, walaupun tidak lulus SMA. Tapi lelaki pilihannya itu merupakan tokoh pemuda pada satu partai yang saat itu sedang digandrungi yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
‘Bawuk’ merupakan cerpen sejarah yang mengisahkan kehidupan anak bungsu sebuah keluarga yang berasal dari keluarga feodal (ambtenaar di zaman Belanda) yang tiba-tiba mengalami masa kemerdekaan sampai akhirnya mengalami pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965. Anak bungsu itu bernama Bawuk. Umar Kayam hidup pada zaman itu. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa pengarang banyak tahu tentang peristiwa itu serta keadaan masyarakat yang sebenarnya. Maka kajian yang digunakan dalam menganalisis cerpen “Bawuk” ini adalah kajian mimesis.

II. LANDASAN TEORI
Karya sastra yang baik, menurut Budi Darma (1998:6) seperti logam mulia, memancarkan sinar ke segala arah. Dari sudut manapun kita melihat logam itu, logam itu akan memancarkan sinar bunga api yang cemerlang.
Lebuh lanjut, Budi Darma (1998:6) menjelaskan, karya sastra yang baik, seperti logam mulia, juga memiliki banyak sudut pandang atau bidang permata. Sebuah karya sastra yang baik kaya akan penerapan ideologi, meskipun ideologi yang dimaksud di sini tidak selalu ideologi politik. Isinya padat, dan banyak memiliki sudut pandang dan bidang permata.
Seni, seperti lukisan, puisi, musik, tarian, dan patung, menurut Socrates (dalam Abrams, 1971:8) semua adalah tiruan (imitasi). Imitasi adalah istilah rasional yang berarti dua hal dan hubungan tertentu di antara keduanya. Karya sastra yang baik, merupakan bagian dari seni, di samping memiliki banyak sudut pandang, tidak bisa tidak, sebenarnya adalah tiruan.
Seperti apa tiruan dalam seni, Socrates (dalam Abrams, 1971:8) memberikan contoh tiga jenis ranjang. Ranjang yang pertama, yang hanya ada dalam dunia ide, yaitu ranjang buatan Tuhan. Ranjang yang kedua adalah ranjang buatan tukang kayu. Sedangkan ranjang yang ketiga adalah ranjang buatan pelukis (ranjang lukisan). Ranjang ketiga inilah yang dimaksud dengan tiruan dalam dunia seni.
Kritik sastra mimetik (mimetic criticsm) yang memandang karya sastra sebagai tiruan, mencerminan, atau gambaran duia dan kehidupan manusia, menggunakan kriteria utama pada karya sastra, menurut Abrams (dalam Pradopo, 2003:6) “kebenaran” penggambaran atau yang hendaknya digambarkan. Meskipun demikian, Plato (dalam Luxemburg, 1992:16) mengatakan bahwa seni hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang kenyataan yang tetap jauh dari “kebenaran”. Dalam kenyataan yang kita amati, setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap benda mencerminkan suatu ide yang aseli (gambar induk), misalnya terdapat berbagai macam bentuk ranjang atau meja, tetapi ini semua berasal dari ide atau gambar induk mengenai sebuah ranjang atau meja. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai aselinya. Kenyataan yang kita amati dengan pancaindera selalu kalah dengan dunia ide.
Akan tetapi, Aristoteles (dalam Luxemburg, 1992:12) memiliki pandangan yang berbeda. Dia mengoper pengertian mimesis dari Plato. Menurutnya, penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain. Dalam setiap objek yang kita amati, dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tidak dapat dilepaskan dari objek itu. Baginya mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataaan, melaikan merupakan sebuah proses. Penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan mimesis, penyair meciptakan kembali kenyataan, adapun bahannya adalah barang-barang seperti adanya, atau “barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada” (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, dan cita-cita).
Dari uraian Plato dan Aristoteles di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik mimetik adalah penjelasan seni yang pada dasarnya merupakan tiruan dari aspek-aspek universal. Karya sastra sebagai cabang seni, pada prinsipnya berupa meniru aspek-aspek keindahan yang universal pula. Apabila emosi dapat dianggap sebagai hal yang dapat membangkitkan keindahan. Munurut Budi Darma (1998:17) kata-kata yang dapat membangkitkan emosi dapat dianggap sebagai kata-kata yang dapat membangkitkan keindahan. Jika demikian halnya, maka kata-kata yang dapat menimbulkan emosi yang dapat ditunjukkan oleh Edmund Burke yang dikutip oleh Budi Darma (1998:17) merupakan unsur universal yang dapat menimbulkan keindahan.
Secara umum kajian mimesis adalah kajian yang mendasarkan pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu.

III. ANALISIS CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM
Dalam kajian ini, penulis mencoba menganalisis cerpen Bawuk karya Umar Kayam dengan kajian mimesis. Kajian ini memandang seni sebagai tiruan dan aspek-aspek realitas.
A. Penggunaan Istilah dan Ungkapan
Cerpen Bawuk dalam kumpulan cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam, banyak menggunakan bahasa Jawa terutama dalam percakapan, antara lain: ledek (ronggeng), ciu gambar manuk, arep melu ora entuk, dalem ndoro (saya tuan), inggih (ya), ngger (sayang), den ayu (raden ayu), dan sebagainya. Pengarang menggunakan bahasa daerah ini untuk menciptakan suasana “kejawaan”. Sebagaimana dalam cuplikan berikut
“Dia mestilah seorang yang tidak kaku dan ragu-ragu membuat gerakan-gerakan tandak, apalagi malu-malu dalam menghadapi liak-liuk si ledek atau ronggeng yang penuh dengan isyarat serta senyum yang sensual itu.” (Kayam, 2005:105)

“… tiba-tiba saja melihat suaminya telah berputar-putar dengan asyiknya menayub dengan si Prenjak. “Ciu gambar manuk, arep melu ora entuk. Ha-e, ha-e, hhaaaaa-e?” (Kayam, 2005:107)

“Dan dari kejauhan Sarpan menjawab ketakutan, “Inggiiih.” (Kayam, 2005:109)

“Kembali derap selopnya terdengar. Dan suara bising anak-anaknya tiba-tiba saja jadi enyap. “Neeem! Ineeem!” “Dalem nDoro!” (Kayam, 2005:109-110)

“Wuuuuk, nggeeeer!” teriak Nyonya Suryo. (Kayam, 2005:114)

Di samping ungkapan dan istilah dari bahasa Jawa pengarang banyak menggunakan bahasa Belanda seperti Juffrouw (ibu/nyonya), huiswerk (pekerjaan rumah), onder (staf), europeesch (Eropa), dan sebagainya. Sebagaimana cuplikan berikut
“… Bawuk akan bercerita tentang apa yang terjadi di kelasnya tentang Juffrouw Dijksma yang gemuk, ….” (Kayam, 2005:101)

“Huiswerk mereka selalu mereka kerjakan dengan teliti dan tekun, serta selesai pada waktunya.” (Kayam, 2005:102)

’… main-main dengan anak-anak desa di belakang kandang kuda adalah bukan kebiasaan yang baik buat seorang anak onder yang diusahakan mengecap pendidikan europeesch yang baik.” (Kayam, 2005:102)

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa penggunaan istilah dan ungkapan yang terdapat dalam cerpen Bawuk, pengarang sengaja meggunakannya sebagai bentuk realisme atau realita masyarakat pada saat itu. Hal ini benar-benar kelihatan bahwa sastra sebagai cerminan masyarakatnya.

B. Latar Belakang Sosial Budaya
Dalam cerpen Bawuk masalah nama pun merupakan masalah yang menarik untuk dibahas, terutama karena cara pemberian nama berbeda-beda di berbagai daerah. Di Jawa nama mempunyai makna, dan menunjukkan hierarki sosial serta tidak diberikan sembarangan. Dahulu bahkan pemberian atau penggantian nama selalu dilakukan dengan upacara tradisional yang khusus (misalnya selamatan dengan bubur merah-putih). Dalam cerpen ini nama ”Bawuk” erat kaitannya dengan jati dirinya. Pada masyarakat Jawa bawuk berarti kemaluan perempuan.
Pada cerita tersebut, tokoh yang bernama Bawuk benar-benar seorang perempuan meskipun dalam banyak hal berbeda dengan saudara-saudara perempuannya yang lain. Di sisi lain panggilan Wuk! merupakan panggilan kesayangan (dalam konteks cerpen Bawuk) dan sama sekali tidak bermaksud merendahkan, tetapi juga diharapkan menjadi anak yang pemurah dan mempunyai empati yang tinggi. Sedangkan sifat lain Bawuk yang pemurah juga tampak dari kedekatannya dengan pembantu rumah tangga maupun kusir dokar.
”Ayo mBok, ayo, Pan, Ik bert een kleine officier … Lho, jangan kelene opisir. Klei … ne Of … fi … cieieierrrr. Ayo, mBok, ayo, Pan. Waaaah, bodo ya, kalian.”
“Kalau pembantu-pembantu itu sudah kecapekan dan tertawa terkekeh akan keulitan mereka melipat-lipat lidah mereka menuruti kemauan Bawuk, maka mereka akan harus mendapat hukuman ganti berganti menggendong Bawuk mengelilingi rumah.” (Kayam, 2005:101-102)

Nama Bawuk juga berarti lebih dekat dengan sifat-sifat kewanitaan, selain pemurah juga perasa. Dalam cerpen ini Bawuk juga diibaratkan induk kepodang yang senantiasa meloncat, berkicau tetapi tidak pernah gagal menyelesaikan tugas hidupnya mengumpulkan makanan buat anak-anaknya di sarang. (Kayam, 2005:102)
Nama Suryo, tentu bukan nama masyarakat dari lapisan bawah. Hal ini menunjukkan kelas sosial keluarga Suryo, di samping itu juga diperkuat dengan selipan-selipan bahasa Belanda yang sering digunakan dalam lingkungan keluarga itu. Suryo dalam bahasa Indonesia ”Surya” berarti cahaya yang termanifestasi pada beberapa sifatnya, seperti disiplin, patuh, serius, efisien dan efektif dalam banyak hal. Sifat-sifat ini diwariskan pula pada keempat saudara Bawuk. Tentu saja namat ini sangat berbeda dengan Sarpan seorang kusir dokar, dan mBok Inem seorang pembantu rumah tangga. Sarpan berasal dari kata sarpa (ular), jadi kedudukannya tidak terlalu jauh dengan binatang. Masyarakat Jawa sering menggunakan istilah dari binatang untuk merendahkan seseorang dan sebagai petunjuk kelas sosialnya, seperti klethong (yang berarti kotoran lembu). Nama Inem juga menujukkan sifat pemilik nama yang mingkem, maksudnya mulutnya tertutup, sehingga sikapnya juga cenderung tertutup.
Kelas sosial menurut persepsi Bawuk tidak ada bedanya lingkungan pembantu maupun ndoro. Sehingga dengan mudahnya Bawuk masuk ke lingkungan para pembantunya. Hal ini juga bentuk protes pada ayahnya yang feodal dan melarang anak-anaknya tiduran di balai-balai dengan seorang bediende, main-main dengan anak-anak desa di belakang kandang kuda.
Mengecap pendidikan Europeesch merupakan cita-cita para orang tua dari kalangan priyayi. Untuk tujuan tersebut, segala usaha akan dilakukan oleh para orang tua, termasuk ayah Bawuk.
“Begitu inginkah suaminya menyenagkan wedana dan kanjaeng agar promosi menjadi wedana lekas menjadi kenyataan? Dan dengan begitu kesempatan untuk mencarikan beurs buat anak-anaknya ke Negeri Belanda menjadi lebih besar lagi? (Kayam, 2005:108)

Kehidupan sehari-hari sangat mencerminkan kebiasaan masyarakat pada suatu daerah tertentu, misalnya:
1. Sikap pembantu yang tidak berhak bertanya dan hanya mengiyakan seperti tampak pada cuplikan berikut.
”Paan! Ayo lekas kudanya diganti tapalnya. Masa kuda onderan larinya pincang kayak anak kampung kudisan. Roda dokar juga diminyaki! Suaranya keriut-keriut kayak gerobak desa.” Dan dari kejauhan Sarpan menjawab ketakutan, ”Inggiiih.” (Kayam, 2005:109)
”Neeem! Ineeem!”
”Ayo, si Manis disirami! Biasanya kokoknya nyaring, kali ini kok kayak tersumbat kodok tenggorokannya. Masa ayam onderan suaranya kayak bangau sawah.” Inggiiih.” (Kayam, 2005:110)

2. Hubungan keluarga yang erat, yang diungkapkan dengan panggilan-panggilan sayang seperti ngger oleh orang tua pada anak-anaknya. Sikap saling memperhatikan kesulitan dan permasalahan anggota keluarga juga digambarkan demikian indahnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kehadiran semua anggota keluarga ketika Bawuk menghadapi suatu kesulitan, meskipun sudah banyak yang berada di luar kota dan sudah menjadi orang-orang berpangkat, bahkan ada yang sudah berbeda ideologi dan demi tugas saling berlawanan tetapi di sana tetap ada perekatnya, yaitu saudara mereka Bawuk.
”Wuuuuk. nggeeeer! teriak Nyonya Suryo
Dan didekapnya anaknya serta cucunya. Diciumnya pipi anak dan cucunya. Air mata berlinang, meleleh di pipi mereka. Pada Nyonya Suryo, pada Bawuk, dan saudara-saudara perempuannya. Anak-anaknya masih berpegangan tangan, berdiri di belakang ibunya.” (Kayam, 2005:114)

C. Latar Belakang Sejarah
Penyebutan akronim atau singkatan Gerwani, BTI, Gestapu, Gestok, Lekra, PKI, serta penyebutan nama Aidit, membawa pembaca memahami salah satu tema dan latar, yaitu pemberontakan G30S PKI. Mereka yang telah mencapai usia dewasa pada tahun 1965, atau pembaca muda yang telah membaca dokumen atau menonton film tentang pemberontakan itu, tidak akan mendapat kesulitan untuk menangkap konotasi yang tersirat di balik beberapa kalimat seperti:
”Merek berkewajiban menggarap para pimpinan Gerwani di kecamatan T itu, yang sebagian terbesar adalah istri-istri pimpinan masyarakat desa kecamatan T. (Kayam, 2005:118)

”Selama itu, Bawuk selalu merasa pertama-tama kawin dengan seorang Hassan daripada dengan seorang komunis.” (Kayam, 2005:119)

Namun jelas bahwa bagi anak yang kini berumur 18-20 terjadi peristiwa mengerikan yang terjadi 45 tahun yang lalu itu tidak akan tergambar secara jelas seperti dalam ingatan para orang tua yang menghayati kejadian tersebut. Bahkan besarnya pengaruh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang di bawah naungan PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno sehingga mengeluarkan pernyataan pada tanggal 8 Mei 1964 bahwa apa yang disebut ”Manifesto Kebudayaan” disingkat menjadi Manikebu. Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra yang sangat hebat sehingga terjadi perang pena yang berkepanjangan (Mulyanto, 1995:304)

IV. SIMPULAN
Dalam suatu karya sastra terungkap bukan hanya oleh penggunaan jalinan kata dan ungkapannya, tetapi baru benar-benar berarti manakala ada kaitan antara keterampilan pengarang menjalin kata-kata dengan pesan yang ingin diungkapkannya. Jadi untuk memahami karya sastra, kita tidak cukup hanya mengerti alur ceritanya. Namun juga harus mampu menangkap jaringan konotasi yang terdapat di bawah struktur pemukaannya.
Pada cerpen Bawuk banyak informasi tentang istilah dan ungkapan baik yang berasal dari bahasa Jawa, Baelanda, atau bahasa asing lainnya. Dalam cerpen tersebut juga mendeskripsikan latar belakang sosial budaya masyarakat Jawa golongan priyayi yang masih feodal. Namun demikian, ada seorang tokoh utama sekaligus sebagai tokoh antagonis yang menjadi simbol pemberontakan. Kebiasaan sehari-hari juga digambarkan sangat realistis termasuk penyebutan merk benda-benda sehari-hari.
Latar belakang sejarah yang menjadi latar dari cerpen ini ditunjukkan dengan adanya penyebutan istilah-istilah yang berkaitan dengan peristiwa G30S PKI dan seorang tokohnya Aidit.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, H.,M.. 1971. The Mirror and the Lamp. Oxford: Oxford University Press.

Darma, Budi. 1998. “The Nature of Literary Research”, Makalah Bahan Penelitian Metodologi Penelitian Bahasa dan Sastra. Surabaya:Unesa.

Kayam, Umar. 2005. Kumpulan Cerpen Sri Sumarah. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Luxemburg, Van, Jan, Bal, Mieke, and Weststeijn, G, Wllaem. 1992. Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dich Hartoko. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Moelyanto, dan Taufik smail. 1995: Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI, dkk. Jakarta: Mizan.

Pradopo, Djoko, Rachmad,. 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

SINOPSIS CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM
Di Karangrandu bermukim sebuah keluarga yang cukup berada dan terpandang di sana. Mereka adalah keluarga Suryo dengan kelima anaknya. Tuan Suryo adalah seorang onder dan priyayi yang disegani dan dihormati di Karangrandu. Dari kelima anaknya keluarga Suryo itu Bawuk adalah yang bungsu.
Cerita ini diawali ketika Ny. Suryo menerima sebuah surat yang berasal dari Bawuk, surat yang aneh karena hanya terdiri dari tiga buah kalimat padahal menurut ingatan Ny. Suryo, tidak pernah anak bungsunya tersebut menulis hanya tiga kalimat yang isinya : Akan datang Sabtu malam ini. Wowok dan Ninuk saya bawa. Sudilah ibu selanjutnya menjaga mereka. Bawuk. Bagi Ny. Suryo, surat Bawuk ini terasa asing sekali, kering, dan hanya apa adanya, tidak mencerminkan Bawuk yang sudah dia kenal dengan baik selama 35 tahun.
Bawuk adalah seorang wanita yang penuh canda pembuat suasana menjadi meriah cerita- ceritanya selalu mengundang tawa menghilangkan kebosanan. Di masa kanak-kanaknya, Bawuk adalah seorang anak yang bersahaja tidak formil walaupun ayahnya adalah seorang onder distrik (pembantu bupati) di Karangrandu (sebuah daerah di Jawa Timur). Ketika itu, dia adalah satu-satunya anak yang paling disayang oleh semua pembantu rumah tangga di rumah onder distrik itu. Ketekunannya dalam hal pelajaran sekolah memang kalah dibanding kakak-kakaknya, dia hanya perempuan yang bersahaja. Setelah semua dewasa, dua kakaknya yang laki menjadi dosen di Universitas Padjajaran, dan di Universitas Indonesia. sedangkan dua kakak perempuannya dinikahi oleh Dirjen sebuah departemen, dan seorang Brigjen. Bawuk sendiri, menikah dengan seorang laki-laki pilihannya sendiri, lelaki yang tidak pernah diam, yang selalu punya gagasan berorganisasi, walaupun tidak lulus SMA. Tapi lelaki pilihannya itu merupakan tokoh pemuda pada satu partai yang saat itu sedang digandrungi yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
Surat yang berisi tiga kalimat itu, diterima Ny. Suryo pada saat G-30-S baru saja meletus. Rupanya Bawuk saat itu sudah mulai harus pindah dari satu rumah ke rumah lain untuk menghindari kejaran ABRI dan saat itu dia sudah terpisah dari Hassan suaminya yang merupakan pemuda pionir partai terlarang itu. Sang ibu yang pandai membaca situasi, begitu menerima surat Bawuk, Ny. Suryo segera memanggil seluruh anaknya, untuk mendengar cerita dari Bawuk di saat nanti dia datang pada hari Sabtu sebagaimana diutarakan di suratnya. Mulailah cerita dengan flashback yang sangat detail tentang masa kanak-kanak Bawuk, kehidupan di onder distrik itu. Umar Kayam memang sangat kuat bila menceritakan hal-hal yang detail membawa larut hati kita seakan ikut serta di dalam kejadian yang diceritakannya itu.
Pada saat Bawuk datang Sabtu yang ditentukan, kakak-kakaknya sudah berkumpul di rumah Ny. Suryo. Mereka mendengar dengan penuh perhatian penjelasan Bawuk. Namun, ketika mendengar bahwa Bawuk hendak pergi lagi mencari Hassan, maka kakak-kakaknya seperti tidak putus menasihati agar tinggal saja di rumah ibunya sambil menunggu Hassan yang tidak diketahui keberadaannya. Apa keputusannya? Di sinilah Ny. Suryo digambarkan oleh Umar Kayam sebagai seorang ibu yang betul-betul mengerti perasaan anak bungsunya. Hanya ibulah yang bisa menyelami perasaan galau anaknya dan hanya ibulah yang mempunyai ikatan batin sedemikian erat dengan anak kandungnya. Sang ibu mengizinkan Bawuk pergi mencari suami. Wowok dan Ninuk anaknya diizinkan tinggal dirumahnya dipanggilnya guru ngaji. Sampai suatu ketika Ny. Suryo membaca di koran bahwa seluruh pentolan PKI di Jawa Timur sudah tertangkap dan terbunuh termasuk Hassan. Cerpen ini ditutup oleh Umar Kayam dengan tanda tanya besar, bagaimana nasib Bawuk dalam pencarian suamnya, apakah dia sempat bertemu dengan suaminya, tidak ada yang tahu, karena sampai saat itu Bawuk belum pulang ke rumah orang tuanya.

Tes Kemampuam Membaca

TES KEMAMPUAN MEMBACA
Oleh: Ridwan, S.Pd

I. PENDAHULUAN
Tes biasanya diartikan sebagai alat yang dipergunakan untuk mendapatkan data terhadap seseorang yang dinilai . Tes, dengan demikian, juga merupakan salah satu macam alat pengukuran yang dipergunakan di kelas, yaitu untuk memperoleh informasi tentang seseorang (Tuckman, 1975: 12), yang juga dipergunakan untuk maksud pendidikan.
Tes kemampuan berbahasa yang bersifat aktif reseptif pada hakikatnya merupakan kemampuan atau proses decoding, kemampuan untuk memahami bahasa yang dituturkan oleh pihak lain. Pemahaman terhadap bahasa yang dituturkan oleh pihak lain tersebut dapat melalui sarana bunyi atau sarana tulisan. Yang pertama merupakan kegiatan menyimak, sedangkan yang kedua adalah kegiatan membaca.
Tulisan ini hanya akan memaparkan “Tes Kemampuan Membaca”. Tes kemampuan membaca dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa memahami isi atau informasi yang terdapat dalam bacaan. Sebagaimana tujuan membaca yang telah dikemukakan Anderson dalam Tarigan (1987:9-10) bahwa ada tujuh tujuan membaca yaitu: (1) membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for facts), (2) membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas), (3) membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence or organization), (4) membaca untuk menyimpulkan, membaca inferensi (reading for inference), (5) membaca untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading for classify), (6) membaca menilai, membaca mengevaluasi (reading for evaluate), dan (7) membaca untuk membandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast).
Dengan demikian, maka bacaan atau wacana yang diujikan hendaklah yang mengandung informasi yang menuntut untuk dipahami. Oleh karena itu, seorang guru sebagai evaluator dalam menguji kemampuan membaca harus benar-benar mampu memilih bacaan yang layak untuk diujikan.

II. TES KEMAMPUAN MEMBACA
Secara umum wacana yang layak diambil sebagai bahan tes kemampuan membaca tidak berbeda halnya dengan tes kompetensi kebahasaan yang lain, dan secara khusus juga tidak berbeda dengan kemampuan menyimak. Dalam tes kemampuan membaca kita harus mempertimbangkan bahan dan tingkatan tes kemampuan membaca.

A. Bahan Tes Kemampuan Membaca
Pemilihan wacana hendaknya dipertimbangkan dari segi tingkat kesulitan, panjang pendek, isi, dan jenis atau bentuk wacana.
1. Tingkat kesulitan wacana
Tingkat kesulitan wacana terutama ditentukan oleh kekompleksan kosa kata dan struktur. Semakin sulit dan kompleks kedua aspek tersebut akan semakin sulit wacana yang bersangkutan. Demikian pula sebaliknya. Secara umum orang mengatakan bahwa wacana yang baik untuk bahan tes kemampuan membaca adalah wacana yang tingkat kesulitannya sedang, atau yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.

2. Isi wacana
Isi wacana yang baik adalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa, minat, kebutuhan atau menarik perhatian siswa. Isi wacana dapat mengembangkan sikap dan nilai-nilai pada diri siswa, misalnya dengan menyediakan bacaan yang berkaitan dengan sejarah perjuangan bangsa, pendidikan moral pancasila, kehidupan beragama, berbagai karya seni, berbagai ilmu pengetahuan popular, dan sebagainya. Di pihak lain kita juga perlu selektif, menghindari bacaan-bacaan yang bersifat kontra atau masih bersifat controversial. Misalnya, bacaan yang bersifat menentang (kontra) pemerintah, kehidupan beragama dan bermasyarakat secara pancasilais, nilai-nilai yang kita yakini betul kebenarannya, atau secara umum bacaan yang tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.

3. Panjang pendek wacana
Wacana yang diteskan sebaiknya tidak terlalu panjang. Beberapa wacana yang pendek lebih baik daripada sebuah wacana yang panjang, sepuluh butir tes dari tiga atau empat wacana lebih baik daripada hanya dari sebuah wacana panjang. Dengan wacana yang pendek, kita dapat membuat soal tentang berbagai hal, jadinya lebih komprehensif. Di samping itu, secara psikologis siswa pun lebih senang pada wacana yang pendek, karena tidak membutuhkan waktu banyak untuk membacanya dan wacana pendek tampaknya lebih mudah.

4. Bentuk-bentuk wacana
Wacana yang dipergunakan sebagai bahan tes kemampuan membaca, bisa berupa wacana yang berbentuk prosa (narasi), dialog (drama), ataupun puisi.
a. Wacana bentuk prosa
Wacana bentuk prosa yang diambil bisa berupa karya fiksi atau nonfiksi, dapat dikutip dari buku-buku karya sastra, buku literatur, buku pelajaran, majalah, jurnal, surat kabar, dan sebagainya. Jika kita bermaksud mengukur kemampuan siswa memahami bacaan secara kritis, sebaiknya kita memilih bacaan-bacaan yang memungkinkan untuk maksud tersebut.
b. Wacana bentuk dialog
Wacana bentuk dialog, bisa berupa kutipan dari suatu naskah drama, baik juga dipergunakan sebagai bahan bacaan tes kemampuan membaca. Bahkan wacana bentuk dialog inilah sebenarnya paling dekat dengan bahasa lisan seperti yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Wacana bentuk puisi
Puisi sebagai salah satu bentuk karya seni yang mengandung pesan atau informasi juga baik sebagai bahan tes kemampuan membaca. Dibanding dengan prosa, pada umumnya orang memandang bahwa puisi lebih sulit dipahami, dan sebagai bahan tes pemahaman bacaan tidak lebih banyak digunakan. Penuturan dalam puisi tidak bersifat langsung, lebih banyak mempergunakan bentuk metafora.

B. Tingkatan Tes Kemampuan Membaca
Penekanan tes kemampuan membaca adalah kemampuan untuk memahami informasi yang terkandung dalam wacana. Kegiatan ini memahami informasi itu sendiri sebagai suatu aktivitas kognitif dapat dilakukan atau dibuat secara berjenjang, sebagaimana ranah kognitif yang dikembangkan Benjamin S. Bloom adalah: 1. Tingkat ingatan (C1); 2. Tingkat pemahaman (C2); 3. Tingkat penerapan (C3); 4. Tingkat analisis (C4); 5. Tingkat sintesis (C5); dan 6. Tingkat evaluasi (C6). Berikut akan dibicarakan dan dicontohkan tingkatan-tingkatan tes kognitif yang dimaksud dalam tes kemampuan membaca.

1. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Ingatan
Tes kemampuan membaca pada tingkat ingatan (C1) sekedar menghendaki siswa untuk menyebutkan kembali fakta, definisi, atau konsep yang terdapat di dalam wacana yang diujikan. Oleh karena fakta, definisi, atau konsep yang terdapat di dalam wacana itu dapat ditemukan dan dibaca berkali-kali. Pada hakikatnya tes tingkat ingatan tersebut hanya sekedar mengenali, menemukan, dan memindahkan fakta yang ada pada wacana ke lembar jawaban yang dituntut.
Contoh:
Pemindahan unsur-unsur kebahasaan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dapat menimbulkan pengaruh positif, negatif, dan netral. Pemindahan secara positif terjadi jika unsur bahasa yang diterima mempunyai kesamaan dengan bahasa penerima dan menghasilkan penampilan yang benar serta membantu kelancaran komunikasi. Pemindahan yang bersifat menguntungkan inilah yang disebut pemungutan. Pemindahan yang bersifat negatif terjadi jika unsur-unsur kebahasaan yang diterima tidak mempunyai kesamaan dengan bahasa penerima dan menghasilkan tindak berbahasa yang tidak benar karena terjadi dislokasi struktural, dan menyebabkan terjadinya gangguan komunikasi yang disampaikan. Pemindahan yang bersifat negatif inilah yang disebut interferensi. Pemindahan yang bersifat netral terjadi jika pemindahan unsur-unsur kebahasaan itu tidak memengaruhi kelancaran atau hambatan komunikasi dalam bahasa penerima.

Contoh butir-butir tes ingatan
1) Sebutkan tiga macam dampak pemindahan unsur-unsur kebahasaan antarbahasa!
2) Pemindahan secara positif terjadi jika ….
3) Pemindahan bersifat menguntungkan disebut ….
4) Pemindahan yang bersifat negatif disebut ….
5) Pemindahan yang bagaimanakah yang disebut netral?

Contoh butir tes ingatan bentuk pilihan ganda
1) Pemindahan unsur-unsur kebahasaan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain yang menyebabkan terjadinya dislokasi struktur disebut ….
a. pemungutan
b. interferensi*
c. netral
d. hambatan

2. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Pemahaman
Tes kemampuan membaca pada tingkat pemahaman (C2) menuntut siswa untuk dapat memahami wacana yang dibacanya. Pemahaman yang dilakukan pun dimaksudkan untuk memahami isi bacaan, mencari hubungan antarhal, dan sebagainya.
Butir tes kemampuan membaca untuk tingkat pemahaman ini belum tergolong sulit, masih dalam aktivitas kognitif tingkat sederhana walau sudah lebih tinggi dari sekedar kemampuan ingatan. Penyusunan tes hendaknya tidak dilakukan sekedar mengutip kalimat dalam konteks secara verbatim, melainkan dibuat parafrasenya. Dengan demikian, siswa tidak sekedar mengenali dan mencocokkan jawaban dengan teks saja, melainkan dituntut untuk dapat memahaminya. Kemampuan siswa memahami dan memilih parafrase secara tepat merupakan bukti bahwa siswa mampu memahami bacaan yang diujikan.
Contoh tes tingkat pemahaman dari wacana bentuk dialog
Tin : Ton, selamat ya! Saya ikut berbangga atas keberhasilan ujianmu.
Ton : Terima kasih, Tin! Semua ini terjadi karena adanya dorongan dari berbagai pihak. Dan kau, terlebih lagi.
Tin : Ah kau ini, ada-ada saja. Apa rencanamu kini? Mau mendaftar kuliah di mana?
Ton : Itulah masalahnya, Tin! Sebetulnya aku sangat berminat. Tapi, aku sadar keadaan orang tuaku. Lagi pula, apakah hanya dari bangku perkuliahan saja yang menjamin masa depan kita?
Tin : Tentu saja tidak, Ton! Tetapi, sayang kalau kau tak berkuliah. Bukankah NEM-mu tertinggi di sekolahmu?
Ton : Apa gunanya NEM tinggi, Tin, jika kita tak mampu mengatasi masalah sendiri? Bukankah ada seribu jalan untuk sampai di Mekah?
Contoh butir-butir tes pemahaman bentuk jawaban singkat.
1) Kapankah kira-kira dialog antara Ton dan Tin di atas dilakukan?
2) Mengapa Ton tidak dapat memenuhi keinginannya untuk berkuliah?
3) Jalan hidup apakah kira-kira yang akan ditempuh Ton?

Contoh butir-butir tes pemahaman bentuk pilihan ganda.
1) Ton tidak dapat memenuhi keinginannya berkuliah disebabkan ….
a) Menyadari keadaan orang tuanya yang miskin.*
b) Banyak cara hidup yang dapat ditempuh selain berkuliah.
c) Perkuliahan bukan satu-satunya yang menjamin kehidupan masa depan.
d) Ingin menunjukkan bahwa ia dapat menyelesaikan persoalannya sendiri.

2) Bagaimana sikap Ton terhadap NEM-nya yang tertinggi?
a) Tidak meyakini bahwa perkuliahan merupakan satu-satunya jalan yang menjamin kehidupan masa depan.
b) Menunjukkan bahwa dia dapat menyelesaikan masalah sendiri dengan tidak perlu selalu mendambakan berkuliah.*
c) NEM yang tinggi sudah tentu menjamin bahwa yang bersangkutan dapat mengatasi permasalahan sendiri.
d) Menyadari betul bahwa cara dan jalan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Penerapan
Tes tingkat penerapan (C3) menghendaki siswa untuk mampu menerapkan pemahamannya pada situasi atau hal yang lain yang ada kaitannya. Demikian pula halnya dengan tes kemampuan membaca. Siswa dituntut untuk mampu menerapkan atau memberikan contoh baru, misalnya tentang suatu konsep, pengertian, atau pandangan yang ditunjuk dalam wacana. Kemampuan siswa memberikan contoh, demonstrasi, atau hal-hal lain yang sejenis merupakan bukti bahwa siswa telah memahami isi wacana yang bersangkutan.
Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya, adalah wacana yang dikutip pada tes tingkat ingatan di atas.
Untuk mengukur apakah siswa benar-benar memahami perbedaan konsep pemungutan, interferensi, dan pemindahan yang bersifat netral, kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan aplikatif, misalnya dengan meminta siswa mencari atau mengenali contoh-contoh konkret bentuk kebahasaan yang dimaksud.

Contoh butir-butir soal yang dimaksud misalnya sebagai berikut:
1) Berikan contoh masing-masing tiga buah adanya struktur dan kosa kata bahasa asing yang telah dipungut (diserap) ke dalam bacaan Indonesia!
2) Tunjukkan tiga kalimat bahasa Indonesia yang mengalami proses interferensi struktur bahasa asing!
3) Buatlah contoh tiga buah kalimat bahasa Indonesia yang mengalami proses interferensi struktur bahasa Jawa!

Contoh butir soal tes penerapan bentuk pilihan ganda
1) Kalimat berikut yang tidak mengandung unsur interferensi struktur dari bahasa asing adalah …
a. Kantor di mana ayah bekerja terletak di kota lain.
b. Daerah lereng Merapi dari mana sayur-sayuran didatangkan berudara sejuk.
c. Terima kasih kepada Saudara pengacara yang mana telah memberikan waktu kepada saya.
d. Minat para tamatan SLTA untuk menjadi mahasiswa dari tahun ke tahun meningkat.*

4. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Analisis
Tes kemampuan membaca pada tingkat analisis (C4) menuntut siswa untuk mampu menganalisis informasi tertentu dalam wacana, mengenali, mengidentifikasi, atau membedakan pesan dan atau informasi, dan sebagainya yang sejenis. Aktivitas kognitif yang dituntut dalam tugas ini lebih dari sekedar memahami isi wacana. Pemahaman yang dituntut adalah pemahaman secara lebih kritis dan terinci sampai bagian-bagian yang lebih khusus.
Kemampuan memahami wacana untuk tingkat analisis antara lain berupa kemampuan menentukan pikiran utama dan pikiran-pikiran penjelas dalam sebuah alinea, menentukan kalimat yang berisi pikiran utama, jenis alinea berdasarkan letak kalimat utama, menunjukkan tanda penghubung antaralinea, dan sebaginya. Berikut contoh beberapa tes tingkat analisis yang dimaksud.

Contoh:
Shahab yang meneliti masyarakat Betawi melihat bahwa wanita mempunyai kesempatan amat terbatas dalam peningkatan pendidikan. Hal itu disebabkan keterbatasan fasilitas pendidikan di Jakarta dan kondisi ekonomi mereka. Walau ada peningkatan sikap terhadap arti pendidikan, perubahan itu belumlah memadai. Situasi ini menjadi lebih buruk karena kawin usia muda dianggap lebih penting dari pendidikan.
Ia mengatakan bahwa pendidikan jelas meningkatkan posisi wanita. Sebab, pendidikan membekali pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan dalam kehidupan modern yang memungkinkan mereka bisa bersaing dengan pria. Tetapi hanya segelintir wanita Betawi yang mengenyam pendidikan tinggi. Kebanyakan mereka pergi ke sekolah-sekolah agama, namun tak dapat mengubah posisi mereka karena tidak mendapatkan bekal yang dibutuhkan untuk memainkan peran dalam kehidupan modern.

Contoh butir-butir tes pemahaman bacaan tingkat analisis
1) Apa pikiran utama alinea pertama wacana di atas?
2) Tunjukkan kalimat yang memuat pikiran utama pada linea kedua!
3) Dilihat dari segi penempatan pikiran utama, sama atau berbedakah jenis kedua alinea di atas?
4) Tunjukkan kata (-kata) tertentu yang menandai hubungan antaralinea pertama dan kedua!
Contoh butir-butir tes pemahaman bacaan tingkat analisis dalam bentuk pilihan ganda
1) Ide pokok alinea pertama terletak pada kalimat ….
a. Wanita mempunyai kesempatan amat terbatas dalam peningkatan pendidikan.*
b. Keterbatasan fasilitas pendidikan di Jakarta dan kondisi ekonomi mereka.
c. Ada peningkatan sikap terhadap arti pendidikan.
d. Kawin usia muda dianggap lebih penting dari pendidikan.

2) Dilihat dari segi penempatan ide pokok, alinea kedua di atas termasuk alinea yang bersifat ….
a. induktif
b. deduktif *
c. deduktif-induktif
d. menyebar

5. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Sintesis
Tes kemampuan membaca pada tingkat sintesis (C5) menuntut siswa untuk mampu menghubungkan dan atau menggeneralisasikan antara hal-hal, konsep, masalah, atau pendapat yang terdapat di dalam wacana. Aktivitas tingkat sisntesis ini berupa kegiatan untuk menghasilkan komunikasi yang baru, meramalkan dan menyelesaikan masalah. Aktivitas kognitif tingkat sintesis merupakan aktivitas tingkat tinggi dan kompleks. Tes yang diberikan pun menuntut kerja kognitif yang tidak sederhana, maka tidak setiap siswa mampu berpikir atau mengerjakan dengan baik.
Hasil kerja kognitif tingkat sintesis menunjukkan cara dan proses berpikir siswa. Oleh karena itu, berbeda halnya dengan tes-tes kognitif tingkatan sebelumnya, dalam tes tingkat sintesis dimungkinkan sekali adanya berbagai jawaban siswa yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Tes ini dalam rangka melatih dan mengukur kemampuan siswa untuk memikirkan secara kritis dan mencari penyelesaian masalah secara logis.
Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya adalah wacana pertama yang dikutip untuk tes tingkat analisis di atas.

Contoh butir-butir tes yang diujikan kepada siswa misalnya sebagai berikut;
1) Apa yang mungkin terjadi seandainya masyarakat Betawi, khususnya kaum wanita, mau menunda usia perkawinannya?
2) Bagaiman kita dapat memanfaatkan tenaga segelintir wanita Betawi yang sempat mengenyam pendidikan tinggi itu untukmemajukan tingkat pendidikan kaumnya?
3) Jika tingkat pendidikan kaum wanita Betawi relatif lebih tinggi, benarkah hal itu akan mengangkat posisi mereka?
4) Bagaimanakah kita dapat memanfaatkan sekolah-sekolah agama untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan tertentu seperti yang diberikan di sekolah-sekolah umum?

Oleh karena itu, tes tingkat sintesis juga dimaksudkan untuk menilai cara dan proses berpikir siswa, tes esai lebih tepat daripada tes objektif. Tes esai memungkinkan siswa untuk menunjukkan kemampuan berpikirnya yang kreatif, kemampuan penalaran, kemampuan menghubungkan berbagai fakta dan konsep, menggeneralisasikan, dan sebagainya.

6. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Evaluasi
Tes kemampuan membaca pada tingkat evaluasi (C6) menuntut siswa untuk mampu memberikan penilaian yang berkaitan dengan wacana yang dibacanya, baik yang menyangkut isi atau permasalahan yang dikemukakan maupun cara penuturan wacana itu sendiri. Penilaian terhadap isi wacana misalnya berupa penilaian terhadap gagasan, konsep, cara pemecahan masalah, dan bahkan menemukan dan menilai bagaimana pemecahan masalah yang sebaiknya.
Tes tingkat ini sangat baik untuk melatih dan mengukur cara dan proses berpikir siswa. Oleh karena itu, tes bentuk esai yang memungkinkan siswa berpikir dan bernalar secara kreatif lebih tepat daripada tes bentuk objektif. Berikut dicontohkan butir-butir tes tingkat evaluasi.
Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya, adalah wacana yang dikutip pada tes tingkat ingatan di atas.

Contoh butir-butir tes yang diujikan sebagai berikut:
1) Menurut pendapat Anda dapatkah kita menekan pemindahan unsur-unsur kebahasaan yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengusahakan pemindahan yang bersifat positif?
2) Usaha-usaha apakah yang kiranya baik ditempuh untuk menghindari adanya sifat interferensi kebahasaan?
3) Menurut pendapat Anda apakah bahasa yang dipergunakan dalam wacana di atas memenuhi kriteria bahasa Indonesia baku?
Tes esai tingkat evaluasi memungkinkan siswa menunjukkan kemampuan berpikir dan bernalar secara kreatif, dan dimungkinkan sekali adanya perbedaan jawaban di antara siswa. Hal itu berarti tidak hanya ada satu jawaban tertentu yang betul, melainkan bisa saja beberapa jawaban yang berbeda sama-sama betul karena sama-sama dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria “betul” ditentukan berdasarkan ketepatan isi, pengorganisasian (pengungkapan) isi, penyimpulan, kelogisan, alasan, dan ketepatan bahasa. Oleh karena itu, penilaian terhadap tes esai ini bersifat sangat kompleks, dan ada kalanya sulit dihindarkan adanya unsure subjektivitas penilai.

III. SIMPULAN
Dalam melaksanakan tes kemampuan membaca kita harus mempertimbangkan bahan dan tingkatan tes kemampuan membaca. Pemilihan wacana hendaknya dipertimbangkan dari segi tingkat kesulitan, panjang pendek, isi, dan jenis atau bentuk wacana.
Tingkatan tes kognitif kemampuan membaca, meliputi: 1. Tingkat ingatan (C1); 2. Tingkat pemahaman (C2); 3. Tingkat penerapan (C3); 4. Tingkat analisis (C4); 5. Tingkat sintesis (C5); dan 6. Tingkat evaluasi (C6).

DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Safari. 2002. Pengujian dan Penilaian Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT Kartanegara
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tuckman, 1975. Measaring Educational Outcomes: Fundamentals of Testing. USA: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.