Analisis Cerpen

CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM (KAJIAN MIMESIS)
Oleh: Ridwan, S.Pd.

I. PENDAHULUAN
Cerpen Bawuk dalam kumpulan cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam. Dalam cerpen tersebut pengarang menggambarkan tokoh yang hidup dalam situasi politik dan latar belakang sejarah yang nyata. Mengenai hal ini, sebagian pendapat mengkategorikan Umar Kayam sebagai realis. Unsur realisme Umar Kayam adalah realisme budaya Jawa yang diperlihatkan pada tokoh yang memiliki kepribadian Jawa. Dalam cerpen Bawuk, tokoh utama yang dimunculkan mampu mewakili konsep budaya Jawa yaitu tokoh Bawuk.
Bawuk anak bungsu kelima bersaudara dari keluarga Suryo, sebuah keluarga yang cukup berada dan terpandang di Karangrandu. Tuan Suryo adalah seorang onder distrik (pembantu bupati) dan priyayi yang disegani dan dihormati di sana. Bawuk adalah seorang anak yang bersahaja tidak formil walaupun ayahnya adalah seorang onder distrik di Karangrandu (sebuah daerah di Jawa Timur).
Umar Kayam menggambarkan tokoh Bawuk yang memiliki sifat tersendiri tidak seperti saudara-saudaranya yang disiplin dan menjaga jarak dalam pergaulannya, tidak semua kalangan bisa diajak bergaul karena mereka keluarga priyayi. Berbeda dengan Bawuk tidak suka diatur dan tidak pilih-pilih dalam bergaul. Bawuk sering bermain di belakang kandang kuda, makan tebu dengan anak mandor tebu. Bahkan, kadang-kadang dia enak tiduran di balai-balai mBok Inem mendengarkan cerita Jawa lama.
Setelah semua dewasa, dua kakaknya yang laki-laki menjadi dosen di Universitas Padjajaran, dan di Universitas Indonesia. sedangkan dua kakak perempuannya dinikahi oleh Dirjen sebuah departemen, dan seorang Brigjen. Bawuk sendiri, menikah dengan seorang laki-laki pilihannya sendiri, lelaki yang tidak pernah diam, yang selalu punya gagasan berorganisasi, walaupun tidak lulus SMA. Tapi lelaki pilihannya itu merupakan tokoh pemuda pada satu partai yang saat itu sedang digandrungi yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
‘Bawuk’ merupakan cerpen sejarah yang mengisahkan kehidupan anak bungsu sebuah keluarga yang berasal dari keluarga feodal (ambtenaar di zaman Belanda) yang tiba-tiba mengalami masa kemerdekaan sampai akhirnya mengalami pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965. Anak bungsu itu bernama Bawuk. Umar Kayam hidup pada zaman itu. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa pengarang banyak tahu tentang peristiwa itu serta keadaan masyarakat yang sebenarnya. Maka kajian yang digunakan dalam menganalisis cerpen “Bawuk” ini adalah kajian mimesis.

II. LANDASAN TEORI
Karya sastra yang baik, menurut Budi Darma (1998:6) seperti logam mulia, memancarkan sinar ke segala arah. Dari sudut manapun kita melihat logam itu, logam itu akan memancarkan sinar bunga api yang cemerlang.
Lebuh lanjut, Budi Darma (1998:6) menjelaskan, karya sastra yang baik, seperti logam mulia, juga memiliki banyak sudut pandang atau bidang permata. Sebuah karya sastra yang baik kaya akan penerapan ideologi, meskipun ideologi yang dimaksud di sini tidak selalu ideologi politik. Isinya padat, dan banyak memiliki sudut pandang dan bidang permata.
Seni, seperti lukisan, puisi, musik, tarian, dan patung, menurut Socrates (dalam Abrams, 1971:8) semua adalah tiruan (imitasi). Imitasi adalah istilah rasional yang berarti dua hal dan hubungan tertentu di antara keduanya. Karya sastra yang baik, merupakan bagian dari seni, di samping memiliki banyak sudut pandang, tidak bisa tidak, sebenarnya adalah tiruan.
Seperti apa tiruan dalam seni, Socrates (dalam Abrams, 1971:8) memberikan contoh tiga jenis ranjang. Ranjang yang pertama, yang hanya ada dalam dunia ide, yaitu ranjang buatan Tuhan. Ranjang yang kedua adalah ranjang buatan tukang kayu. Sedangkan ranjang yang ketiga adalah ranjang buatan pelukis (ranjang lukisan). Ranjang ketiga inilah yang dimaksud dengan tiruan dalam dunia seni.
Kritik sastra mimetik (mimetic criticsm) yang memandang karya sastra sebagai tiruan, mencerminan, atau gambaran duia dan kehidupan manusia, menggunakan kriteria utama pada karya sastra, menurut Abrams (dalam Pradopo, 2003:6) “kebenaran” penggambaran atau yang hendaknya digambarkan. Meskipun demikian, Plato (dalam Luxemburg, 1992:16) mengatakan bahwa seni hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang kenyataan yang tetap jauh dari “kebenaran”. Dalam kenyataan yang kita amati, setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap benda mencerminkan suatu ide yang aseli (gambar induk), misalnya terdapat berbagai macam bentuk ranjang atau meja, tetapi ini semua berasal dari ide atau gambar induk mengenai sebuah ranjang atau meja. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai aselinya. Kenyataan yang kita amati dengan pancaindera selalu kalah dengan dunia ide.
Akan tetapi, Aristoteles (dalam Luxemburg, 1992:12) memiliki pandangan yang berbeda. Dia mengoper pengertian mimesis dari Plato. Menurutnya, penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain. Dalam setiap objek yang kita amati, dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tidak dapat dilepaskan dari objek itu. Baginya mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataaan, melaikan merupakan sebuah proses. Penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan mimesis, penyair meciptakan kembali kenyataan, adapun bahannya adalah barang-barang seperti adanya, atau “barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada” (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, dan cita-cita).
Dari uraian Plato dan Aristoteles di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik mimetik adalah penjelasan seni yang pada dasarnya merupakan tiruan dari aspek-aspek universal. Karya sastra sebagai cabang seni, pada prinsipnya berupa meniru aspek-aspek keindahan yang universal pula. Apabila emosi dapat dianggap sebagai hal yang dapat membangkitkan keindahan. Munurut Budi Darma (1998:17) kata-kata yang dapat membangkitkan emosi dapat dianggap sebagai kata-kata yang dapat membangkitkan keindahan. Jika demikian halnya, maka kata-kata yang dapat menimbulkan emosi yang dapat ditunjukkan oleh Edmund Burke yang dikutip oleh Budi Darma (1998:17) merupakan unsur universal yang dapat menimbulkan keindahan.
Secara umum kajian mimesis adalah kajian yang mendasarkan pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu.

III. ANALISIS CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM
Dalam kajian ini, penulis mencoba menganalisis cerpen Bawuk karya Umar Kayam dengan kajian mimesis. Kajian ini memandang seni sebagai tiruan dan aspek-aspek realitas.
A. Penggunaan Istilah dan Ungkapan
Cerpen Bawuk dalam kumpulan cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam, banyak menggunakan bahasa Jawa terutama dalam percakapan, antara lain: ledek (ronggeng), ciu gambar manuk, arep melu ora entuk, dalem ndoro (saya tuan), inggih (ya), ngger (sayang), den ayu (raden ayu), dan sebagainya. Pengarang menggunakan bahasa daerah ini untuk menciptakan suasana “kejawaan”. Sebagaimana dalam cuplikan berikut
“Dia mestilah seorang yang tidak kaku dan ragu-ragu membuat gerakan-gerakan tandak, apalagi malu-malu dalam menghadapi liak-liuk si ledek atau ronggeng yang penuh dengan isyarat serta senyum yang sensual itu.” (Kayam, 2005:105)

“… tiba-tiba saja melihat suaminya telah berputar-putar dengan asyiknya menayub dengan si Prenjak. “Ciu gambar manuk, arep melu ora entuk. Ha-e, ha-e, hhaaaaa-e?” (Kayam, 2005:107)

“Dan dari kejauhan Sarpan menjawab ketakutan, “Inggiiih.” (Kayam, 2005:109)

“Kembali derap selopnya terdengar. Dan suara bising anak-anaknya tiba-tiba saja jadi enyap. “Neeem! Ineeem!” “Dalem nDoro!” (Kayam, 2005:109-110)

“Wuuuuk, nggeeeer!” teriak Nyonya Suryo. (Kayam, 2005:114)

Di samping ungkapan dan istilah dari bahasa Jawa pengarang banyak menggunakan bahasa Belanda seperti Juffrouw (ibu/nyonya), huiswerk (pekerjaan rumah), onder (staf), europeesch (Eropa), dan sebagainya. Sebagaimana cuplikan berikut
“… Bawuk akan bercerita tentang apa yang terjadi di kelasnya tentang Juffrouw Dijksma yang gemuk, ….” (Kayam, 2005:101)

“Huiswerk mereka selalu mereka kerjakan dengan teliti dan tekun, serta selesai pada waktunya.” (Kayam, 2005:102)

’… main-main dengan anak-anak desa di belakang kandang kuda adalah bukan kebiasaan yang baik buat seorang anak onder yang diusahakan mengecap pendidikan europeesch yang baik.” (Kayam, 2005:102)

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa penggunaan istilah dan ungkapan yang terdapat dalam cerpen Bawuk, pengarang sengaja meggunakannya sebagai bentuk realisme atau realita masyarakat pada saat itu. Hal ini benar-benar kelihatan bahwa sastra sebagai cerminan masyarakatnya.

B. Latar Belakang Sosial Budaya
Dalam cerpen Bawuk masalah nama pun merupakan masalah yang menarik untuk dibahas, terutama karena cara pemberian nama berbeda-beda di berbagai daerah. Di Jawa nama mempunyai makna, dan menunjukkan hierarki sosial serta tidak diberikan sembarangan. Dahulu bahkan pemberian atau penggantian nama selalu dilakukan dengan upacara tradisional yang khusus (misalnya selamatan dengan bubur merah-putih). Dalam cerpen ini nama ”Bawuk” erat kaitannya dengan jati dirinya. Pada masyarakat Jawa bawuk berarti kemaluan perempuan.
Pada cerita tersebut, tokoh yang bernama Bawuk benar-benar seorang perempuan meskipun dalam banyak hal berbeda dengan saudara-saudara perempuannya yang lain. Di sisi lain panggilan Wuk! merupakan panggilan kesayangan (dalam konteks cerpen Bawuk) dan sama sekali tidak bermaksud merendahkan, tetapi juga diharapkan menjadi anak yang pemurah dan mempunyai empati yang tinggi. Sedangkan sifat lain Bawuk yang pemurah juga tampak dari kedekatannya dengan pembantu rumah tangga maupun kusir dokar.
”Ayo mBok, ayo, Pan, Ik bert een kleine officier … Lho, jangan kelene opisir. Klei … ne Of … fi … cieieierrrr. Ayo, mBok, ayo, Pan. Waaaah, bodo ya, kalian.”
“Kalau pembantu-pembantu itu sudah kecapekan dan tertawa terkekeh akan keulitan mereka melipat-lipat lidah mereka menuruti kemauan Bawuk, maka mereka akan harus mendapat hukuman ganti berganti menggendong Bawuk mengelilingi rumah.” (Kayam, 2005:101-102)

Nama Bawuk juga berarti lebih dekat dengan sifat-sifat kewanitaan, selain pemurah juga perasa. Dalam cerpen ini Bawuk juga diibaratkan induk kepodang yang senantiasa meloncat, berkicau tetapi tidak pernah gagal menyelesaikan tugas hidupnya mengumpulkan makanan buat anak-anaknya di sarang. (Kayam, 2005:102)
Nama Suryo, tentu bukan nama masyarakat dari lapisan bawah. Hal ini menunjukkan kelas sosial keluarga Suryo, di samping itu juga diperkuat dengan selipan-selipan bahasa Belanda yang sering digunakan dalam lingkungan keluarga itu. Suryo dalam bahasa Indonesia ”Surya” berarti cahaya yang termanifestasi pada beberapa sifatnya, seperti disiplin, patuh, serius, efisien dan efektif dalam banyak hal. Sifat-sifat ini diwariskan pula pada keempat saudara Bawuk. Tentu saja namat ini sangat berbeda dengan Sarpan seorang kusir dokar, dan mBok Inem seorang pembantu rumah tangga. Sarpan berasal dari kata sarpa (ular), jadi kedudukannya tidak terlalu jauh dengan binatang. Masyarakat Jawa sering menggunakan istilah dari binatang untuk merendahkan seseorang dan sebagai petunjuk kelas sosialnya, seperti klethong (yang berarti kotoran lembu). Nama Inem juga menujukkan sifat pemilik nama yang mingkem, maksudnya mulutnya tertutup, sehingga sikapnya juga cenderung tertutup.
Kelas sosial menurut persepsi Bawuk tidak ada bedanya lingkungan pembantu maupun ndoro. Sehingga dengan mudahnya Bawuk masuk ke lingkungan para pembantunya. Hal ini juga bentuk protes pada ayahnya yang feodal dan melarang anak-anaknya tiduran di balai-balai dengan seorang bediende, main-main dengan anak-anak desa di belakang kandang kuda.
Mengecap pendidikan Europeesch merupakan cita-cita para orang tua dari kalangan priyayi. Untuk tujuan tersebut, segala usaha akan dilakukan oleh para orang tua, termasuk ayah Bawuk.
“Begitu inginkah suaminya menyenagkan wedana dan kanjaeng agar promosi menjadi wedana lekas menjadi kenyataan? Dan dengan begitu kesempatan untuk mencarikan beurs buat anak-anaknya ke Negeri Belanda menjadi lebih besar lagi? (Kayam, 2005:108)

Kehidupan sehari-hari sangat mencerminkan kebiasaan masyarakat pada suatu daerah tertentu, misalnya:
1. Sikap pembantu yang tidak berhak bertanya dan hanya mengiyakan seperti tampak pada cuplikan berikut.
”Paan! Ayo lekas kudanya diganti tapalnya. Masa kuda onderan larinya pincang kayak anak kampung kudisan. Roda dokar juga diminyaki! Suaranya keriut-keriut kayak gerobak desa.” Dan dari kejauhan Sarpan menjawab ketakutan, ”Inggiiih.” (Kayam, 2005:109)
”Neeem! Ineeem!”
”Ayo, si Manis disirami! Biasanya kokoknya nyaring, kali ini kok kayak tersumbat kodok tenggorokannya. Masa ayam onderan suaranya kayak bangau sawah.” Inggiiih.” (Kayam, 2005:110)

2. Hubungan keluarga yang erat, yang diungkapkan dengan panggilan-panggilan sayang seperti ngger oleh orang tua pada anak-anaknya. Sikap saling memperhatikan kesulitan dan permasalahan anggota keluarga juga digambarkan demikian indahnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kehadiran semua anggota keluarga ketika Bawuk menghadapi suatu kesulitan, meskipun sudah banyak yang berada di luar kota dan sudah menjadi orang-orang berpangkat, bahkan ada yang sudah berbeda ideologi dan demi tugas saling berlawanan tetapi di sana tetap ada perekatnya, yaitu saudara mereka Bawuk.
”Wuuuuk. nggeeeer! teriak Nyonya Suryo
Dan didekapnya anaknya serta cucunya. Diciumnya pipi anak dan cucunya. Air mata berlinang, meleleh di pipi mereka. Pada Nyonya Suryo, pada Bawuk, dan saudara-saudara perempuannya. Anak-anaknya masih berpegangan tangan, berdiri di belakang ibunya.” (Kayam, 2005:114)

C. Latar Belakang Sejarah
Penyebutan akronim atau singkatan Gerwani, BTI, Gestapu, Gestok, Lekra, PKI, serta penyebutan nama Aidit, membawa pembaca memahami salah satu tema dan latar, yaitu pemberontakan G30S PKI. Mereka yang telah mencapai usia dewasa pada tahun 1965, atau pembaca muda yang telah membaca dokumen atau menonton film tentang pemberontakan itu, tidak akan mendapat kesulitan untuk menangkap konotasi yang tersirat di balik beberapa kalimat seperti:
”Merek berkewajiban menggarap para pimpinan Gerwani di kecamatan T itu, yang sebagian terbesar adalah istri-istri pimpinan masyarakat desa kecamatan T. (Kayam, 2005:118)

”Selama itu, Bawuk selalu merasa pertama-tama kawin dengan seorang Hassan daripada dengan seorang komunis.” (Kayam, 2005:119)

Namun jelas bahwa bagi anak yang kini berumur 18-20 terjadi peristiwa mengerikan yang terjadi 45 tahun yang lalu itu tidak akan tergambar secara jelas seperti dalam ingatan para orang tua yang menghayati kejadian tersebut. Bahkan besarnya pengaruh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang di bawah naungan PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno sehingga mengeluarkan pernyataan pada tanggal 8 Mei 1964 bahwa apa yang disebut ”Manifesto Kebudayaan” disingkat menjadi Manikebu. Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra yang sangat hebat sehingga terjadi perang pena yang berkepanjangan (Mulyanto, 1995:304)

IV. SIMPULAN
Dalam suatu karya sastra terungkap bukan hanya oleh penggunaan jalinan kata dan ungkapannya, tetapi baru benar-benar berarti manakala ada kaitan antara keterampilan pengarang menjalin kata-kata dengan pesan yang ingin diungkapkannya. Jadi untuk memahami karya sastra, kita tidak cukup hanya mengerti alur ceritanya. Namun juga harus mampu menangkap jaringan konotasi yang terdapat di bawah struktur pemukaannya.
Pada cerpen Bawuk banyak informasi tentang istilah dan ungkapan baik yang berasal dari bahasa Jawa, Baelanda, atau bahasa asing lainnya. Dalam cerpen tersebut juga mendeskripsikan latar belakang sosial budaya masyarakat Jawa golongan priyayi yang masih feodal. Namun demikian, ada seorang tokoh utama sekaligus sebagai tokoh antagonis yang menjadi simbol pemberontakan. Kebiasaan sehari-hari juga digambarkan sangat realistis termasuk penyebutan merk benda-benda sehari-hari.
Latar belakang sejarah yang menjadi latar dari cerpen ini ditunjukkan dengan adanya penyebutan istilah-istilah yang berkaitan dengan peristiwa G30S PKI dan seorang tokohnya Aidit.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, H.,M.. 1971. The Mirror and the Lamp. Oxford: Oxford University Press.

Darma, Budi. 1998. “The Nature of Literary Research”, Makalah Bahan Penelitian Metodologi Penelitian Bahasa dan Sastra. Surabaya:Unesa.

Kayam, Umar. 2005. Kumpulan Cerpen Sri Sumarah. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Luxemburg, Van, Jan, Bal, Mieke, and Weststeijn, G, Wllaem. 1992. Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dich Hartoko. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Moelyanto, dan Taufik smail. 1995: Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI, dkk. Jakarta: Mizan.

Pradopo, Djoko, Rachmad,. 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

SINOPSIS CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM
Di Karangrandu bermukim sebuah keluarga yang cukup berada dan terpandang di sana. Mereka adalah keluarga Suryo dengan kelima anaknya. Tuan Suryo adalah seorang onder dan priyayi yang disegani dan dihormati di Karangrandu. Dari kelima anaknya keluarga Suryo itu Bawuk adalah yang bungsu.
Cerita ini diawali ketika Ny. Suryo menerima sebuah surat yang berasal dari Bawuk, surat yang aneh karena hanya terdiri dari tiga buah kalimat padahal menurut ingatan Ny. Suryo, tidak pernah anak bungsunya tersebut menulis hanya tiga kalimat yang isinya : Akan datang Sabtu malam ini. Wowok dan Ninuk saya bawa. Sudilah ibu selanjutnya menjaga mereka. Bawuk. Bagi Ny. Suryo, surat Bawuk ini terasa asing sekali, kering, dan hanya apa adanya, tidak mencerminkan Bawuk yang sudah dia kenal dengan baik selama 35 tahun.
Bawuk adalah seorang wanita yang penuh canda pembuat suasana menjadi meriah cerita- ceritanya selalu mengundang tawa menghilangkan kebosanan. Di masa kanak-kanaknya, Bawuk adalah seorang anak yang bersahaja tidak formil walaupun ayahnya adalah seorang onder distrik (pembantu bupati) di Karangrandu (sebuah daerah di Jawa Timur). Ketika itu, dia adalah satu-satunya anak yang paling disayang oleh semua pembantu rumah tangga di rumah onder distrik itu. Ketekunannya dalam hal pelajaran sekolah memang kalah dibanding kakak-kakaknya, dia hanya perempuan yang bersahaja. Setelah semua dewasa, dua kakaknya yang laki menjadi dosen di Universitas Padjajaran, dan di Universitas Indonesia. sedangkan dua kakak perempuannya dinikahi oleh Dirjen sebuah departemen, dan seorang Brigjen. Bawuk sendiri, menikah dengan seorang laki-laki pilihannya sendiri, lelaki yang tidak pernah diam, yang selalu punya gagasan berorganisasi, walaupun tidak lulus SMA. Tapi lelaki pilihannya itu merupakan tokoh pemuda pada satu partai yang saat itu sedang digandrungi yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
Surat yang berisi tiga kalimat itu, diterima Ny. Suryo pada saat G-30-S baru saja meletus. Rupanya Bawuk saat itu sudah mulai harus pindah dari satu rumah ke rumah lain untuk menghindari kejaran ABRI dan saat itu dia sudah terpisah dari Hassan suaminya yang merupakan pemuda pionir partai terlarang itu. Sang ibu yang pandai membaca situasi, begitu menerima surat Bawuk, Ny. Suryo segera memanggil seluruh anaknya, untuk mendengar cerita dari Bawuk di saat nanti dia datang pada hari Sabtu sebagaimana diutarakan di suratnya. Mulailah cerita dengan flashback yang sangat detail tentang masa kanak-kanak Bawuk, kehidupan di onder distrik itu. Umar Kayam memang sangat kuat bila menceritakan hal-hal yang detail membawa larut hati kita seakan ikut serta di dalam kejadian yang diceritakannya itu.
Pada saat Bawuk datang Sabtu yang ditentukan, kakak-kakaknya sudah berkumpul di rumah Ny. Suryo. Mereka mendengar dengan penuh perhatian penjelasan Bawuk. Namun, ketika mendengar bahwa Bawuk hendak pergi lagi mencari Hassan, maka kakak-kakaknya seperti tidak putus menasihati agar tinggal saja di rumah ibunya sambil menunggu Hassan yang tidak diketahui keberadaannya. Apa keputusannya? Di sinilah Ny. Suryo digambarkan oleh Umar Kayam sebagai seorang ibu yang betul-betul mengerti perasaan anak bungsunya. Hanya ibulah yang bisa menyelami perasaan galau anaknya dan hanya ibulah yang mempunyai ikatan batin sedemikian erat dengan anak kandungnya. Sang ibu mengizinkan Bawuk pergi mencari suami. Wowok dan Ninuk anaknya diizinkan tinggal dirumahnya dipanggilnya guru ngaji. Sampai suatu ketika Ny. Suryo membaca di koran bahwa seluruh pentolan PKI di Jawa Timur sudah tertangkap dan terbunuh termasuk Hassan. Cerpen ini ditutup oleh Umar Kayam dengan tanda tanya besar, bagaimana nasib Bawuk dalam pencarian suamnya, apakah dia sempat bertemu dengan suaminya, tidak ada yang tahu, karena sampai saat itu Bawuk belum pulang ke rumah orang tuanya.

Tinggalkan komentar