Analisis Cerpen

CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM (KAJIAN MIMESIS)
Oleh: Ridwan, S.Pd.

I. PENDAHULUAN
Cerpen Bawuk dalam kumpulan cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam. Dalam cerpen tersebut pengarang menggambarkan tokoh yang hidup dalam situasi politik dan latar belakang sejarah yang nyata. Mengenai hal ini, sebagian pendapat mengkategorikan Umar Kayam sebagai realis. Unsur realisme Umar Kayam adalah realisme budaya Jawa yang diperlihatkan pada tokoh yang memiliki kepribadian Jawa. Dalam cerpen Bawuk, tokoh utama yang dimunculkan mampu mewakili konsep budaya Jawa yaitu tokoh Bawuk.
Bawuk anak bungsu kelima bersaudara dari keluarga Suryo, sebuah keluarga yang cukup berada dan terpandang di Karangrandu. Tuan Suryo adalah seorang onder distrik (pembantu bupati) dan priyayi yang disegani dan dihormati di sana. Bawuk adalah seorang anak yang bersahaja tidak formil walaupun ayahnya adalah seorang onder distrik di Karangrandu (sebuah daerah di Jawa Timur).
Umar Kayam menggambarkan tokoh Bawuk yang memiliki sifat tersendiri tidak seperti saudara-saudaranya yang disiplin dan menjaga jarak dalam pergaulannya, tidak semua kalangan bisa diajak bergaul karena mereka keluarga priyayi. Berbeda dengan Bawuk tidak suka diatur dan tidak pilih-pilih dalam bergaul. Bawuk sering bermain di belakang kandang kuda, makan tebu dengan anak mandor tebu. Bahkan, kadang-kadang dia enak tiduran di balai-balai mBok Inem mendengarkan cerita Jawa lama.
Setelah semua dewasa, dua kakaknya yang laki-laki menjadi dosen di Universitas Padjajaran, dan di Universitas Indonesia. sedangkan dua kakak perempuannya dinikahi oleh Dirjen sebuah departemen, dan seorang Brigjen. Bawuk sendiri, menikah dengan seorang laki-laki pilihannya sendiri, lelaki yang tidak pernah diam, yang selalu punya gagasan berorganisasi, walaupun tidak lulus SMA. Tapi lelaki pilihannya itu merupakan tokoh pemuda pada satu partai yang saat itu sedang digandrungi yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
‘Bawuk’ merupakan cerpen sejarah yang mengisahkan kehidupan anak bungsu sebuah keluarga yang berasal dari keluarga feodal (ambtenaar di zaman Belanda) yang tiba-tiba mengalami masa kemerdekaan sampai akhirnya mengalami pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965. Anak bungsu itu bernama Bawuk. Umar Kayam hidup pada zaman itu. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa pengarang banyak tahu tentang peristiwa itu serta keadaan masyarakat yang sebenarnya. Maka kajian yang digunakan dalam menganalisis cerpen “Bawuk” ini adalah kajian mimesis.

II. LANDASAN TEORI
Karya sastra yang baik, menurut Budi Darma (1998:6) seperti logam mulia, memancarkan sinar ke segala arah. Dari sudut manapun kita melihat logam itu, logam itu akan memancarkan sinar bunga api yang cemerlang.
Lebuh lanjut, Budi Darma (1998:6) menjelaskan, karya sastra yang baik, seperti logam mulia, juga memiliki banyak sudut pandang atau bidang permata. Sebuah karya sastra yang baik kaya akan penerapan ideologi, meskipun ideologi yang dimaksud di sini tidak selalu ideologi politik. Isinya padat, dan banyak memiliki sudut pandang dan bidang permata.
Seni, seperti lukisan, puisi, musik, tarian, dan patung, menurut Socrates (dalam Abrams, 1971:8) semua adalah tiruan (imitasi). Imitasi adalah istilah rasional yang berarti dua hal dan hubungan tertentu di antara keduanya. Karya sastra yang baik, merupakan bagian dari seni, di samping memiliki banyak sudut pandang, tidak bisa tidak, sebenarnya adalah tiruan.
Seperti apa tiruan dalam seni, Socrates (dalam Abrams, 1971:8) memberikan contoh tiga jenis ranjang. Ranjang yang pertama, yang hanya ada dalam dunia ide, yaitu ranjang buatan Tuhan. Ranjang yang kedua adalah ranjang buatan tukang kayu. Sedangkan ranjang yang ketiga adalah ranjang buatan pelukis (ranjang lukisan). Ranjang ketiga inilah yang dimaksud dengan tiruan dalam dunia seni.
Kritik sastra mimetik (mimetic criticsm) yang memandang karya sastra sebagai tiruan, mencerminan, atau gambaran duia dan kehidupan manusia, menggunakan kriteria utama pada karya sastra, menurut Abrams (dalam Pradopo, 2003:6) “kebenaran” penggambaran atau yang hendaknya digambarkan. Meskipun demikian, Plato (dalam Luxemburg, 1992:16) mengatakan bahwa seni hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang kenyataan yang tetap jauh dari “kebenaran”. Dalam kenyataan yang kita amati, setiap benda terwujud menurut berbagai bentuk, tetapi setiap benda mencerminkan suatu ide yang aseli (gambar induk), misalnya terdapat berbagai macam bentuk ranjang atau meja, tetapi ini semua berasal dari ide atau gambar induk mengenai sebuah ranjang atau meja. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai aselinya. Kenyataan yang kita amati dengan pancaindera selalu kalah dengan dunia ide.
Akan tetapi, Aristoteles (dalam Luxemburg, 1992:12) memiliki pandangan yang berbeda. Dia mengoper pengertian mimesis dari Plato. Menurutnya, penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain. Dalam setiap objek yang kita amati, dalam kenyataan terkandung idenya dan itu tidak dapat dilepaskan dari objek itu. Baginya mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataaan, melaikan merupakan sebuah proses. Penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan mimesis, penyair meciptakan kembali kenyataan, adapun bahannya adalah barang-barang seperti adanya, atau “barang-barang seperti pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang, atau seperti seharusnya ada” (yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, dan cita-cita).
Dari uraian Plato dan Aristoteles di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik mimetik adalah penjelasan seni yang pada dasarnya merupakan tiruan dari aspek-aspek universal. Karya sastra sebagai cabang seni, pada prinsipnya berupa meniru aspek-aspek keindahan yang universal pula. Apabila emosi dapat dianggap sebagai hal yang dapat membangkitkan keindahan. Munurut Budi Darma (1998:17) kata-kata yang dapat membangkitkan emosi dapat dianggap sebagai kata-kata yang dapat membangkitkan keindahan. Jika demikian halnya, maka kata-kata yang dapat menimbulkan emosi yang dapat ditunjukkan oleh Edmund Burke yang dikutip oleh Budi Darma (1998:17) merupakan unsur universal yang dapat menimbulkan keindahan.
Secara umum kajian mimesis adalah kajian yang mendasarkan pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu.

III. ANALISIS CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM
Dalam kajian ini, penulis mencoba menganalisis cerpen Bawuk karya Umar Kayam dengan kajian mimesis. Kajian ini memandang seni sebagai tiruan dan aspek-aspek realitas.
A. Penggunaan Istilah dan Ungkapan
Cerpen Bawuk dalam kumpulan cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam, banyak menggunakan bahasa Jawa terutama dalam percakapan, antara lain: ledek (ronggeng), ciu gambar manuk, arep melu ora entuk, dalem ndoro (saya tuan), inggih (ya), ngger (sayang), den ayu (raden ayu), dan sebagainya. Pengarang menggunakan bahasa daerah ini untuk menciptakan suasana “kejawaan”. Sebagaimana dalam cuplikan berikut
“Dia mestilah seorang yang tidak kaku dan ragu-ragu membuat gerakan-gerakan tandak, apalagi malu-malu dalam menghadapi liak-liuk si ledek atau ronggeng yang penuh dengan isyarat serta senyum yang sensual itu.” (Kayam, 2005:105)

“… tiba-tiba saja melihat suaminya telah berputar-putar dengan asyiknya menayub dengan si Prenjak. “Ciu gambar manuk, arep melu ora entuk. Ha-e, ha-e, hhaaaaa-e?” (Kayam, 2005:107)

“Dan dari kejauhan Sarpan menjawab ketakutan, “Inggiiih.” (Kayam, 2005:109)

“Kembali derap selopnya terdengar. Dan suara bising anak-anaknya tiba-tiba saja jadi enyap. “Neeem! Ineeem!” “Dalem nDoro!” (Kayam, 2005:109-110)

“Wuuuuk, nggeeeer!” teriak Nyonya Suryo. (Kayam, 2005:114)

Di samping ungkapan dan istilah dari bahasa Jawa pengarang banyak menggunakan bahasa Belanda seperti Juffrouw (ibu/nyonya), huiswerk (pekerjaan rumah), onder (staf), europeesch (Eropa), dan sebagainya. Sebagaimana cuplikan berikut
“… Bawuk akan bercerita tentang apa yang terjadi di kelasnya tentang Juffrouw Dijksma yang gemuk, ….” (Kayam, 2005:101)

“Huiswerk mereka selalu mereka kerjakan dengan teliti dan tekun, serta selesai pada waktunya.” (Kayam, 2005:102)

’… main-main dengan anak-anak desa di belakang kandang kuda adalah bukan kebiasaan yang baik buat seorang anak onder yang diusahakan mengecap pendidikan europeesch yang baik.” (Kayam, 2005:102)

Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa penggunaan istilah dan ungkapan yang terdapat dalam cerpen Bawuk, pengarang sengaja meggunakannya sebagai bentuk realisme atau realita masyarakat pada saat itu. Hal ini benar-benar kelihatan bahwa sastra sebagai cerminan masyarakatnya.

B. Latar Belakang Sosial Budaya
Dalam cerpen Bawuk masalah nama pun merupakan masalah yang menarik untuk dibahas, terutama karena cara pemberian nama berbeda-beda di berbagai daerah. Di Jawa nama mempunyai makna, dan menunjukkan hierarki sosial serta tidak diberikan sembarangan. Dahulu bahkan pemberian atau penggantian nama selalu dilakukan dengan upacara tradisional yang khusus (misalnya selamatan dengan bubur merah-putih). Dalam cerpen ini nama ”Bawuk” erat kaitannya dengan jati dirinya. Pada masyarakat Jawa bawuk berarti kemaluan perempuan.
Pada cerita tersebut, tokoh yang bernama Bawuk benar-benar seorang perempuan meskipun dalam banyak hal berbeda dengan saudara-saudara perempuannya yang lain. Di sisi lain panggilan Wuk! merupakan panggilan kesayangan (dalam konteks cerpen Bawuk) dan sama sekali tidak bermaksud merendahkan, tetapi juga diharapkan menjadi anak yang pemurah dan mempunyai empati yang tinggi. Sedangkan sifat lain Bawuk yang pemurah juga tampak dari kedekatannya dengan pembantu rumah tangga maupun kusir dokar.
”Ayo mBok, ayo, Pan, Ik bert een kleine officier … Lho, jangan kelene opisir. Klei … ne Of … fi … cieieierrrr. Ayo, mBok, ayo, Pan. Waaaah, bodo ya, kalian.”
“Kalau pembantu-pembantu itu sudah kecapekan dan tertawa terkekeh akan keulitan mereka melipat-lipat lidah mereka menuruti kemauan Bawuk, maka mereka akan harus mendapat hukuman ganti berganti menggendong Bawuk mengelilingi rumah.” (Kayam, 2005:101-102)

Nama Bawuk juga berarti lebih dekat dengan sifat-sifat kewanitaan, selain pemurah juga perasa. Dalam cerpen ini Bawuk juga diibaratkan induk kepodang yang senantiasa meloncat, berkicau tetapi tidak pernah gagal menyelesaikan tugas hidupnya mengumpulkan makanan buat anak-anaknya di sarang. (Kayam, 2005:102)
Nama Suryo, tentu bukan nama masyarakat dari lapisan bawah. Hal ini menunjukkan kelas sosial keluarga Suryo, di samping itu juga diperkuat dengan selipan-selipan bahasa Belanda yang sering digunakan dalam lingkungan keluarga itu. Suryo dalam bahasa Indonesia ”Surya” berarti cahaya yang termanifestasi pada beberapa sifatnya, seperti disiplin, patuh, serius, efisien dan efektif dalam banyak hal. Sifat-sifat ini diwariskan pula pada keempat saudara Bawuk. Tentu saja namat ini sangat berbeda dengan Sarpan seorang kusir dokar, dan mBok Inem seorang pembantu rumah tangga. Sarpan berasal dari kata sarpa (ular), jadi kedudukannya tidak terlalu jauh dengan binatang. Masyarakat Jawa sering menggunakan istilah dari binatang untuk merendahkan seseorang dan sebagai petunjuk kelas sosialnya, seperti klethong (yang berarti kotoran lembu). Nama Inem juga menujukkan sifat pemilik nama yang mingkem, maksudnya mulutnya tertutup, sehingga sikapnya juga cenderung tertutup.
Kelas sosial menurut persepsi Bawuk tidak ada bedanya lingkungan pembantu maupun ndoro. Sehingga dengan mudahnya Bawuk masuk ke lingkungan para pembantunya. Hal ini juga bentuk protes pada ayahnya yang feodal dan melarang anak-anaknya tiduran di balai-balai dengan seorang bediende, main-main dengan anak-anak desa di belakang kandang kuda.
Mengecap pendidikan Europeesch merupakan cita-cita para orang tua dari kalangan priyayi. Untuk tujuan tersebut, segala usaha akan dilakukan oleh para orang tua, termasuk ayah Bawuk.
“Begitu inginkah suaminya menyenagkan wedana dan kanjaeng agar promosi menjadi wedana lekas menjadi kenyataan? Dan dengan begitu kesempatan untuk mencarikan beurs buat anak-anaknya ke Negeri Belanda menjadi lebih besar lagi? (Kayam, 2005:108)

Kehidupan sehari-hari sangat mencerminkan kebiasaan masyarakat pada suatu daerah tertentu, misalnya:
1. Sikap pembantu yang tidak berhak bertanya dan hanya mengiyakan seperti tampak pada cuplikan berikut.
”Paan! Ayo lekas kudanya diganti tapalnya. Masa kuda onderan larinya pincang kayak anak kampung kudisan. Roda dokar juga diminyaki! Suaranya keriut-keriut kayak gerobak desa.” Dan dari kejauhan Sarpan menjawab ketakutan, ”Inggiiih.” (Kayam, 2005:109)
”Neeem! Ineeem!”
”Ayo, si Manis disirami! Biasanya kokoknya nyaring, kali ini kok kayak tersumbat kodok tenggorokannya. Masa ayam onderan suaranya kayak bangau sawah.” Inggiiih.” (Kayam, 2005:110)

2. Hubungan keluarga yang erat, yang diungkapkan dengan panggilan-panggilan sayang seperti ngger oleh orang tua pada anak-anaknya. Sikap saling memperhatikan kesulitan dan permasalahan anggota keluarga juga digambarkan demikian indahnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kehadiran semua anggota keluarga ketika Bawuk menghadapi suatu kesulitan, meskipun sudah banyak yang berada di luar kota dan sudah menjadi orang-orang berpangkat, bahkan ada yang sudah berbeda ideologi dan demi tugas saling berlawanan tetapi di sana tetap ada perekatnya, yaitu saudara mereka Bawuk.
”Wuuuuk. nggeeeer! teriak Nyonya Suryo
Dan didekapnya anaknya serta cucunya. Diciumnya pipi anak dan cucunya. Air mata berlinang, meleleh di pipi mereka. Pada Nyonya Suryo, pada Bawuk, dan saudara-saudara perempuannya. Anak-anaknya masih berpegangan tangan, berdiri di belakang ibunya.” (Kayam, 2005:114)

C. Latar Belakang Sejarah
Penyebutan akronim atau singkatan Gerwani, BTI, Gestapu, Gestok, Lekra, PKI, serta penyebutan nama Aidit, membawa pembaca memahami salah satu tema dan latar, yaitu pemberontakan G30S PKI. Mereka yang telah mencapai usia dewasa pada tahun 1965, atau pembaca muda yang telah membaca dokumen atau menonton film tentang pemberontakan itu, tidak akan mendapat kesulitan untuk menangkap konotasi yang tersirat di balik beberapa kalimat seperti:
”Merek berkewajiban menggarap para pimpinan Gerwani di kecamatan T itu, yang sebagian terbesar adalah istri-istri pimpinan masyarakat desa kecamatan T. (Kayam, 2005:118)

”Selama itu, Bawuk selalu merasa pertama-tama kawin dengan seorang Hassan daripada dengan seorang komunis.” (Kayam, 2005:119)

Namun jelas bahwa bagi anak yang kini berumur 18-20 terjadi peristiwa mengerikan yang terjadi 45 tahun yang lalu itu tidak akan tergambar secara jelas seperti dalam ingatan para orang tua yang menghayati kejadian tersebut. Bahkan besarnya pengaruh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang di bawah naungan PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno sehingga mengeluarkan pernyataan pada tanggal 8 Mei 1964 bahwa apa yang disebut ”Manifesto Kebudayaan” disingkat menjadi Manikebu. Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra yang sangat hebat sehingga terjadi perang pena yang berkepanjangan (Mulyanto, 1995:304)

IV. SIMPULAN
Dalam suatu karya sastra terungkap bukan hanya oleh penggunaan jalinan kata dan ungkapannya, tetapi baru benar-benar berarti manakala ada kaitan antara keterampilan pengarang menjalin kata-kata dengan pesan yang ingin diungkapkannya. Jadi untuk memahami karya sastra, kita tidak cukup hanya mengerti alur ceritanya. Namun juga harus mampu menangkap jaringan konotasi yang terdapat di bawah struktur pemukaannya.
Pada cerpen Bawuk banyak informasi tentang istilah dan ungkapan baik yang berasal dari bahasa Jawa, Baelanda, atau bahasa asing lainnya. Dalam cerpen tersebut juga mendeskripsikan latar belakang sosial budaya masyarakat Jawa golongan priyayi yang masih feodal. Namun demikian, ada seorang tokoh utama sekaligus sebagai tokoh antagonis yang menjadi simbol pemberontakan. Kebiasaan sehari-hari juga digambarkan sangat realistis termasuk penyebutan merk benda-benda sehari-hari.
Latar belakang sejarah yang menjadi latar dari cerpen ini ditunjukkan dengan adanya penyebutan istilah-istilah yang berkaitan dengan peristiwa G30S PKI dan seorang tokohnya Aidit.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, H.,M.. 1971. The Mirror and the Lamp. Oxford: Oxford University Press.

Darma, Budi. 1998. “The Nature of Literary Research”, Makalah Bahan Penelitian Metodologi Penelitian Bahasa dan Sastra. Surabaya:Unesa.

Kayam, Umar. 2005. Kumpulan Cerpen Sri Sumarah. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Luxemburg, Van, Jan, Bal, Mieke, and Weststeijn, G, Wllaem. 1992. Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dich Hartoko. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Moelyanto, dan Taufik smail. 1995: Prahara Budaya Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI, dkk. Jakarta: Mizan.

Pradopo, Djoko, Rachmad,. 2003. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

SINOPSIS CERPEN BAWUK KARYA UMAR KAYAM
Di Karangrandu bermukim sebuah keluarga yang cukup berada dan terpandang di sana. Mereka adalah keluarga Suryo dengan kelima anaknya. Tuan Suryo adalah seorang onder dan priyayi yang disegani dan dihormati di Karangrandu. Dari kelima anaknya keluarga Suryo itu Bawuk adalah yang bungsu.
Cerita ini diawali ketika Ny. Suryo menerima sebuah surat yang berasal dari Bawuk, surat yang aneh karena hanya terdiri dari tiga buah kalimat padahal menurut ingatan Ny. Suryo, tidak pernah anak bungsunya tersebut menulis hanya tiga kalimat yang isinya : Akan datang Sabtu malam ini. Wowok dan Ninuk saya bawa. Sudilah ibu selanjutnya menjaga mereka. Bawuk. Bagi Ny. Suryo, surat Bawuk ini terasa asing sekali, kering, dan hanya apa adanya, tidak mencerminkan Bawuk yang sudah dia kenal dengan baik selama 35 tahun.
Bawuk adalah seorang wanita yang penuh canda pembuat suasana menjadi meriah cerita- ceritanya selalu mengundang tawa menghilangkan kebosanan. Di masa kanak-kanaknya, Bawuk adalah seorang anak yang bersahaja tidak formil walaupun ayahnya adalah seorang onder distrik (pembantu bupati) di Karangrandu (sebuah daerah di Jawa Timur). Ketika itu, dia adalah satu-satunya anak yang paling disayang oleh semua pembantu rumah tangga di rumah onder distrik itu. Ketekunannya dalam hal pelajaran sekolah memang kalah dibanding kakak-kakaknya, dia hanya perempuan yang bersahaja. Setelah semua dewasa, dua kakaknya yang laki menjadi dosen di Universitas Padjajaran, dan di Universitas Indonesia. sedangkan dua kakak perempuannya dinikahi oleh Dirjen sebuah departemen, dan seorang Brigjen. Bawuk sendiri, menikah dengan seorang laki-laki pilihannya sendiri, lelaki yang tidak pernah diam, yang selalu punya gagasan berorganisasi, walaupun tidak lulus SMA. Tapi lelaki pilihannya itu merupakan tokoh pemuda pada satu partai yang saat itu sedang digandrungi yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
Surat yang berisi tiga kalimat itu, diterima Ny. Suryo pada saat G-30-S baru saja meletus. Rupanya Bawuk saat itu sudah mulai harus pindah dari satu rumah ke rumah lain untuk menghindari kejaran ABRI dan saat itu dia sudah terpisah dari Hassan suaminya yang merupakan pemuda pionir partai terlarang itu. Sang ibu yang pandai membaca situasi, begitu menerima surat Bawuk, Ny. Suryo segera memanggil seluruh anaknya, untuk mendengar cerita dari Bawuk di saat nanti dia datang pada hari Sabtu sebagaimana diutarakan di suratnya. Mulailah cerita dengan flashback yang sangat detail tentang masa kanak-kanak Bawuk, kehidupan di onder distrik itu. Umar Kayam memang sangat kuat bila menceritakan hal-hal yang detail membawa larut hati kita seakan ikut serta di dalam kejadian yang diceritakannya itu.
Pada saat Bawuk datang Sabtu yang ditentukan, kakak-kakaknya sudah berkumpul di rumah Ny. Suryo. Mereka mendengar dengan penuh perhatian penjelasan Bawuk. Namun, ketika mendengar bahwa Bawuk hendak pergi lagi mencari Hassan, maka kakak-kakaknya seperti tidak putus menasihati agar tinggal saja di rumah ibunya sambil menunggu Hassan yang tidak diketahui keberadaannya. Apa keputusannya? Di sinilah Ny. Suryo digambarkan oleh Umar Kayam sebagai seorang ibu yang betul-betul mengerti perasaan anak bungsunya. Hanya ibulah yang bisa menyelami perasaan galau anaknya dan hanya ibulah yang mempunyai ikatan batin sedemikian erat dengan anak kandungnya. Sang ibu mengizinkan Bawuk pergi mencari suami. Wowok dan Ninuk anaknya diizinkan tinggal dirumahnya dipanggilnya guru ngaji. Sampai suatu ketika Ny. Suryo membaca di koran bahwa seluruh pentolan PKI di Jawa Timur sudah tertangkap dan terbunuh termasuk Hassan. Cerpen ini ditutup oleh Umar Kayam dengan tanda tanya besar, bagaimana nasib Bawuk dalam pencarian suamnya, apakah dia sempat bertemu dengan suaminya, tidak ada yang tahu, karena sampai saat itu Bawuk belum pulang ke rumah orang tuanya.

Tes Kemampuam Membaca

TES KEMAMPUAN MEMBACA
Oleh: Ridwan, S.Pd

I. PENDAHULUAN
Tes biasanya diartikan sebagai alat yang dipergunakan untuk mendapatkan data terhadap seseorang yang dinilai . Tes, dengan demikian, juga merupakan salah satu macam alat pengukuran yang dipergunakan di kelas, yaitu untuk memperoleh informasi tentang seseorang (Tuckman, 1975: 12), yang juga dipergunakan untuk maksud pendidikan.
Tes kemampuan berbahasa yang bersifat aktif reseptif pada hakikatnya merupakan kemampuan atau proses decoding, kemampuan untuk memahami bahasa yang dituturkan oleh pihak lain. Pemahaman terhadap bahasa yang dituturkan oleh pihak lain tersebut dapat melalui sarana bunyi atau sarana tulisan. Yang pertama merupakan kegiatan menyimak, sedangkan yang kedua adalah kegiatan membaca.
Tulisan ini hanya akan memaparkan “Tes Kemampuan Membaca”. Tes kemampuan membaca dimaksudkan untuk mengukur kemampuan siswa memahami isi atau informasi yang terdapat dalam bacaan. Sebagaimana tujuan membaca yang telah dikemukakan Anderson dalam Tarigan (1987:9-10) bahwa ada tujuh tujuan membaca yaitu: (1) membaca untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for facts), (2) membaca untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas), (3) membaca untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence or organization), (4) membaca untuk menyimpulkan, membaca inferensi (reading for inference), (5) membaca untuk mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading for classify), (6) membaca menilai, membaca mengevaluasi (reading for evaluate), dan (7) membaca untuk membandingkan atau mempertentangkan (reading to compare or contrast).
Dengan demikian, maka bacaan atau wacana yang diujikan hendaklah yang mengandung informasi yang menuntut untuk dipahami. Oleh karena itu, seorang guru sebagai evaluator dalam menguji kemampuan membaca harus benar-benar mampu memilih bacaan yang layak untuk diujikan.

II. TES KEMAMPUAN MEMBACA
Secara umum wacana yang layak diambil sebagai bahan tes kemampuan membaca tidak berbeda halnya dengan tes kompetensi kebahasaan yang lain, dan secara khusus juga tidak berbeda dengan kemampuan menyimak. Dalam tes kemampuan membaca kita harus mempertimbangkan bahan dan tingkatan tes kemampuan membaca.

A. Bahan Tes Kemampuan Membaca
Pemilihan wacana hendaknya dipertimbangkan dari segi tingkat kesulitan, panjang pendek, isi, dan jenis atau bentuk wacana.
1. Tingkat kesulitan wacana
Tingkat kesulitan wacana terutama ditentukan oleh kekompleksan kosa kata dan struktur. Semakin sulit dan kompleks kedua aspek tersebut akan semakin sulit wacana yang bersangkutan. Demikian pula sebaliknya. Secara umum orang mengatakan bahwa wacana yang baik untuk bahan tes kemampuan membaca adalah wacana yang tingkat kesulitannya sedang, atau yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.

2. Isi wacana
Isi wacana yang baik adalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan jiwa, minat, kebutuhan atau menarik perhatian siswa. Isi wacana dapat mengembangkan sikap dan nilai-nilai pada diri siswa, misalnya dengan menyediakan bacaan yang berkaitan dengan sejarah perjuangan bangsa, pendidikan moral pancasila, kehidupan beragama, berbagai karya seni, berbagai ilmu pengetahuan popular, dan sebagainya. Di pihak lain kita juga perlu selektif, menghindari bacaan-bacaan yang bersifat kontra atau masih bersifat controversial. Misalnya, bacaan yang bersifat menentang (kontra) pemerintah, kehidupan beragama dan bermasyarakat secara pancasilais, nilai-nilai yang kita yakini betul kebenarannya, atau secara umum bacaan yang tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.

3. Panjang pendek wacana
Wacana yang diteskan sebaiknya tidak terlalu panjang. Beberapa wacana yang pendek lebih baik daripada sebuah wacana yang panjang, sepuluh butir tes dari tiga atau empat wacana lebih baik daripada hanya dari sebuah wacana panjang. Dengan wacana yang pendek, kita dapat membuat soal tentang berbagai hal, jadinya lebih komprehensif. Di samping itu, secara psikologis siswa pun lebih senang pada wacana yang pendek, karena tidak membutuhkan waktu banyak untuk membacanya dan wacana pendek tampaknya lebih mudah.

4. Bentuk-bentuk wacana
Wacana yang dipergunakan sebagai bahan tes kemampuan membaca, bisa berupa wacana yang berbentuk prosa (narasi), dialog (drama), ataupun puisi.
a. Wacana bentuk prosa
Wacana bentuk prosa yang diambil bisa berupa karya fiksi atau nonfiksi, dapat dikutip dari buku-buku karya sastra, buku literatur, buku pelajaran, majalah, jurnal, surat kabar, dan sebagainya. Jika kita bermaksud mengukur kemampuan siswa memahami bacaan secara kritis, sebaiknya kita memilih bacaan-bacaan yang memungkinkan untuk maksud tersebut.
b. Wacana bentuk dialog
Wacana bentuk dialog, bisa berupa kutipan dari suatu naskah drama, baik juga dipergunakan sebagai bahan bacaan tes kemampuan membaca. Bahkan wacana bentuk dialog inilah sebenarnya paling dekat dengan bahasa lisan seperti yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Wacana bentuk puisi
Puisi sebagai salah satu bentuk karya seni yang mengandung pesan atau informasi juga baik sebagai bahan tes kemampuan membaca. Dibanding dengan prosa, pada umumnya orang memandang bahwa puisi lebih sulit dipahami, dan sebagai bahan tes pemahaman bacaan tidak lebih banyak digunakan. Penuturan dalam puisi tidak bersifat langsung, lebih banyak mempergunakan bentuk metafora.

B. Tingkatan Tes Kemampuan Membaca
Penekanan tes kemampuan membaca adalah kemampuan untuk memahami informasi yang terkandung dalam wacana. Kegiatan ini memahami informasi itu sendiri sebagai suatu aktivitas kognitif dapat dilakukan atau dibuat secara berjenjang, sebagaimana ranah kognitif yang dikembangkan Benjamin S. Bloom adalah: 1. Tingkat ingatan (C1); 2. Tingkat pemahaman (C2); 3. Tingkat penerapan (C3); 4. Tingkat analisis (C4); 5. Tingkat sintesis (C5); dan 6. Tingkat evaluasi (C6). Berikut akan dibicarakan dan dicontohkan tingkatan-tingkatan tes kognitif yang dimaksud dalam tes kemampuan membaca.

1. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Ingatan
Tes kemampuan membaca pada tingkat ingatan (C1) sekedar menghendaki siswa untuk menyebutkan kembali fakta, definisi, atau konsep yang terdapat di dalam wacana yang diujikan. Oleh karena fakta, definisi, atau konsep yang terdapat di dalam wacana itu dapat ditemukan dan dibaca berkali-kali. Pada hakikatnya tes tingkat ingatan tersebut hanya sekedar mengenali, menemukan, dan memindahkan fakta yang ada pada wacana ke lembar jawaban yang dituntut.
Contoh:
Pemindahan unsur-unsur kebahasaan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dapat menimbulkan pengaruh positif, negatif, dan netral. Pemindahan secara positif terjadi jika unsur bahasa yang diterima mempunyai kesamaan dengan bahasa penerima dan menghasilkan penampilan yang benar serta membantu kelancaran komunikasi. Pemindahan yang bersifat menguntungkan inilah yang disebut pemungutan. Pemindahan yang bersifat negatif terjadi jika unsur-unsur kebahasaan yang diterima tidak mempunyai kesamaan dengan bahasa penerima dan menghasilkan tindak berbahasa yang tidak benar karena terjadi dislokasi struktural, dan menyebabkan terjadinya gangguan komunikasi yang disampaikan. Pemindahan yang bersifat negatif inilah yang disebut interferensi. Pemindahan yang bersifat netral terjadi jika pemindahan unsur-unsur kebahasaan itu tidak memengaruhi kelancaran atau hambatan komunikasi dalam bahasa penerima.

Contoh butir-butir tes ingatan
1) Sebutkan tiga macam dampak pemindahan unsur-unsur kebahasaan antarbahasa!
2) Pemindahan secara positif terjadi jika ….
3) Pemindahan bersifat menguntungkan disebut ….
4) Pemindahan yang bersifat negatif disebut ….
5) Pemindahan yang bagaimanakah yang disebut netral?

Contoh butir tes ingatan bentuk pilihan ganda
1) Pemindahan unsur-unsur kebahasaan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain yang menyebabkan terjadinya dislokasi struktur disebut ….
a. pemungutan
b. interferensi*
c. netral
d. hambatan

2. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Pemahaman
Tes kemampuan membaca pada tingkat pemahaman (C2) menuntut siswa untuk dapat memahami wacana yang dibacanya. Pemahaman yang dilakukan pun dimaksudkan untuk memahami isi bacaan, mencari hubungan antarhal, dan sebagainya.
Butir tes kemampuan membaca untuk tingkat pemahaman ini belum tergolong sulit, masih dalam aktivitas kognitif tingkat sederhana walau sudah lebih tinggi dari sekedar kemampuan ingatan. Penyusunan tes hendaknya tidak dilakukan sekedar mengutip kalimat dalam konteks secara verbatim, melainkan dibuat parafrasenya. Dengan demikian, siswa tidak sekedar mengenali dan mencocokkan jawaban dengan teks saja, melainkan dituntut untuk dapat memahaminya. Kemampuan siswa memahami dan memilih parafrase secara tepat merupakan bukti bahwa siswa mampu memahami bacaan yang diujikan.
Contoh tes tingkat pemahaman dari wacana bentuk dialog
Tin : Ton, selamat ya! Saya ikut berbangga atas keberhasilan ujianmu.
Ton : Terima kasih, Tin! Semua ini terjadi karena adanya dorongan dari berbagai pihak. Dan kau, terlebih lagi.
Tin : Ah kau ini, ada-ada saja. Apa rencanamu kini? Mau mendaftar kuliah di mana?
Ton : Itulah masalahnya, Tin! Sebetulnya aku sangat berminat. Tapi, aku sadar keadaan orang tuaku. Lagi pula, apakah hanya dari bangku perkuliahan saja yang menjamin masa depan kita?
Tin : Tentu saja tidak, Ton! Tetapi, sayang kalau kau tak berkuliah. Bukankah NEM-mu tertinggi di sekolahmu?
Ton : Apa gunanya NEM tinggi, Tin, jika kita tak mampu mengatasi masalah sendiri? Bukankah ada seribu jalan untuk sampai di Mekah?
Contoh butir-butir tes pemahaman bentuk jawaban singkat.
1) Kapankah kira-kira dialog antara Ton dan Tin di atas dilakukan?
2) Mengapa Ton tidak dapat memenuhi keinginannya untuk berkuliah?
3) Jalan hidup apakah kira-kira yang akan ditempuh Ton?

Contoh butir-butir tes pemahaman bentuk pilihan ganda.
1) Ton tidak dapat memenuhi keinginannya berkuliah disebabkan ….
a) Menyadari keadaan orang tuanya yang miskin.*
b) Banyak cara hidup yang dapat ditempuh selain berkuliah.
c) Perkuliahan bukan satu-satunya yang menjamin kehidupan masa depan.
d) Ingin menunjukkan bahwa ia dapat menyelesaikan persoalannya sendiri.

2) Bagaimana sikap Ton terhadap NEM-nya yang tertinggi?
a) Tidak meyakini bahwa perkuliahan merupakan satu-satunya jalan yang menjamin kehidupan masa depan.
b) Menunjukkan bahwa dia dapat menyelesaikan masalah sendiri dengan tidak perlu selalu mendambakan berkuliah.*
c) NEM yang tinggi sudah tentu menjamin bahwa yang bersangkutan dapat mengatasi permasalahan sendiri.
d) Menyadari betul bahwa cara dan jalan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Penerapan
Tes tingkat penerapan (C3) menghendaki siswa untuk mampu menerapkan pemahamannya pada situasi atau hal yang lain yang ada kaitannya. Demikian pula halnya dengan tes kemampuan membaca. Siswa dituntut untuk mampu menerapkan atau memberikan contoh baru, misalnya tentang suatu konsep, pengertian, atau pandangan yang ditunjuk dalam wacana. Kemampuan siswa memberikan contoh, demonstrasi, atau hal-hal lain yang sejenis merupakan bukti bahwa siswa telah memahami isi wacana yang bersangkutan.
Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya, adalah wacana yang dikutip pada tes tingkat ingatan di atas.
Untuk mengukur apakah siswa benar-benar memahami perbedaan konsep pemungutan, interferensi, dan pemindahan yang bersifat netral, kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan aplikatif, misalnya dengan meminta siswa mencari atau mengenali contoh-contoh konkret bentuk kebahasaan yang dimaksud.

Contoh butir-butir soal yang dimaksud misalnya sebagai berikut:
1) Berikan contoh masing-masing tiga buah adanya struktur dan kosa kata bahasa asing yang telah dipungut (diserap) ke dalam bacaan Indonesia!
2) Tunjukkan tiga kalimat bahasa Indonesia yang mengalami proses interferensi struktur bahasa asing!
3) Buatlah contoh tiga buah kalimat bahasa Indonesia yang mengalami proses interferensi struktur bahasa Jawa!

Contoh butir soal tes penerapan bentuk pilihan ganda
1) Kalimat berikut yang tidak mengandung unsur interferensi struktur dari bahasa asing adalah …
a. Kantor di mana ayah bekerja terletak di kota lain.
b. Daerah lereng Merapi dari mana sayur-sayuran didatangkan berudara sejuk.
c. Terima kasih kepada Saudara pengacara yang mana telah memberikan waktu kepada saya.
d. Minat para tamatan SLTA untuk menjadi mahasiswa dari tahun ke tahun meningkat.*

4. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Analisis
Tes kemampuan membaca pada tingkat analisis (C4) menuntut siswa untuk mampu menganalisis informasi tertentu dalam wacana, mengenali, mengidentifikasi, atau membedakan pesan dan atau informasi, dan sebagainya yang sejenis. Aktivitas kognitif yang dituntut dalam tugas ini lebih dari sekedar memahami isi wacana. Pemahaman yang dituntut adalah pemahaman secara lebih kritis dan terinci sampai bagian-bagian yang lebih khusus.
Kemampuan memahami wacana untuk tingkat analisis antara lain berupa kemampuan menentukan pikiran utama dan pikiran-pikiran penjelas dalam sebuah alinea, menentukan kalimat yang berisi pikiran utama, jenis alinea berdasarkan letak kalimat utama, menunjukkan tanda penghubung antaralinea, dan sebaginya. Berikut contoh beberapa tes tingkat analisis yang dimaksud.

Contoh:
Shahab yang meneliti masyarakat Betawi melihat bahwa wanita mempunyai kesempatan amat terbatas dalam peningkatan pendidikan. Hal itu disebabkan keterbatasan fasilitas pendidikan di Jakarta dan kondisi ekonomi mereka. Walau ada peningkatan sikap terhadap arti pendidikan, perubahan itu belumlah memadai. Situasi ini menjadi lebih buruk karena kawin usia muda dianggap lebih penting dari pendidikan.
Ia mengatakan bahwa pendidikan jelas meningkatkan posisi wanita. Sebab, pendidikan membekali pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan dalam kehidupan modern yang memungkinkan mereka bisa bersaing dengan pria. Tetapi hanya segelintir wanita Betawi yang mengenyam pendidikan tinggi. Kebanyakan mereka pergi ke sekolah-sekolah agama, namun tak dapat mengubah posisi mereka karena tidak mendapatkan bekal yang dibutuhkan untuk memainkan peran dalam kehidupan modern.

Contoh butir-butir tes pemahaman bacaan tingkat analisis
1) Apa pikiran utama alinea pertama wacana di atas?
2) Tunjukkan kalimat yang memuat pikiran utama pada linea kedua!
3) Dilihat dari segi penempatan pikiran utama, sama atau berbedakah jenis kedua alinea di atas?
4) Tunjukkan kata (-kata) tertentu yang menandai hubungan antaralinea pertama dan kedua!
Contoh butir-butir tes pemahaman bacaan tingkat analisis dalam bentuk pilihan ganda
1) Ide pokok alinea pertama terletak pada kalimat ….
a. Wanita mempunyai kesempatan amat terbatas dalam peningkatan pendidikan.*
b. Keterbatasan fasilitas pendidikan di Jakarta dan kondisi ekonomi mereka.
c. Ada peningkatan sikap terhadap arti pendidikan.
d. Kawin usia muda dianggap lebih penting dari pendidikan.

2) Dilihat dari segi penempatan ide pokok, alinea kedua di atas termasuk alinea yang bersifat ….
a. induktif
b. deduktif *
c. deduktif-induktif
d. menyebar

5. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Sintesis
Tes kemampuan membaca pada tingkat sintesis (C5) menuntut siswa untuk mampu menghubungkan dan atau menggeneralisasikan antara hal-hal, konsep, masalah, atau pendapat yang terdapat di dalam wacana. Aktivitas tingkat sisntesis ini berupa kegiatan untuk menghasilkan komunikasi yang baru, meramalkan dan menyelesaikan masalah. Aktivitas kognitif tingkat sintesis merupakan aktivitas tingkat tinggi dan kompleks. Tes yang diberikan pun menuntut kerja kognitif yang tidak sederhana, maka tidak setiap siswa mampu berpikir atau mengerjakan dengan baik.
Hasil kerja kognitif tingkat sintesis menunjukkan cara dan proses berpikir siswa. Oleh karena itu, berbeda halnya dengan tes-tes kognitif tingkatan sebelumnya, dalam tes tingkat sintesis dimungkinkan sekali adanya berbagai jawaban siswa yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Tes ini dalam rangka melatih dan mengukur kemampuan siswa untuk memikirkan secara kritis dan mencari penyelesaian masalah secara logis.
Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya adalah wacana pertama yang dikutip untuk tes tingkat analisis di atas.

Contoh butir-butir tes yang diujikan kepada siswa misalnya sebagai berikut;
1) Apa yang mungkin terjadi seandainya masyarakat Betawi, khususnya kaum wanita, mau menunda usia perkawinannya?
2) Bagaiman kita dapat memanfaatkan tenaga segelintir wanita Betawi yang sempat mengenyam pendidikan tinggi itu untukmemajukan tingkat pendidikan kaumnya?
3) Jika tingkat pendidikan kaum wanita Betawi relatif lebih tinggi, benarkah hal itu akan mengangkat posisi mereka?
4) Bagaimanakah kita dapat memanfaatkan sekolah-sekolah agama untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan tertentu seperti yang diberikan di sekolah-sekolah umum?

Oleh karena itu, tes tingkat sintesis juga dimaksudkan untuk menilai cara dan proses berpikir siswa, tes esai lebih tepat daripada tes objektif. Tes esai memungkinkan siswa untuk menunjukkan kemampuan berpikirnya yang kreatif, kemampuan penalaran, kemampuan menghubungkan berbagai fakta dan konsep, menggeneralisasikan, dan sebagainya.

6. Tes Kemampuan Membaca Tingkat Evaluasi
Tes kemampuan membaca pada tingkat evaluasi (C6) menuntut siswa untuk mampu memberikan penilaian yang berkaitan dengan wacana yang dibacanya, baik yang menyangkut isi atau permasalahan yang dikemukakan maupun cara penuturan wacana itu sendiri. Penilaian terhadap isi wacana misalnya berupa penilaian terhadap gagasan, konsep, cara pemecahan masalah, dan bahkan menemukan dan menilai bagaimana pemecahan masalah yang sebaiknya.
Tes tingkat ini sangat baik untuk melatih dan mengukur cara dan proses berpikir siswa. Oleh karena itu, tes bentuk esai yang memungkinkan siswa berpikir dan bernalar secara kreatif lebih tepat daripada tes bentuk objektif. Berikut dicontohkan butir-butir tes tingkat evaluasi.
Contoh:
Wacana yang diujikan, misalnya, adalah wacana yang dikutip pada tes tingkat ingatan di atas.

Contoh butir-butir tes yang diujikan sebagai berikut:
1) Menurut pendapat Anda dapatkah kita menekan pemindahan unsur-unsur kebahasaan yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengusahakan pemindahan yang bersifat positif?
2) Usaha-usaha apakah yang kiranya baik ditempuh untuk menghindari adanya sifat interferensi kebahasaan?
3) Menurut pendapat Anda apakah bahasa yang dipergunakan dalam wacana di atas memenuhi kriteria bahasa Indonesia baku?
Tes esai tingkat evaluasi memungkinkan siswa menunjukkan kemampuan berpikir dan bernalar secara kreatif, dan dimungkinkan sekali adanya perbedaan jawaban di antara siswa. Hal itu berarti tidak hanya ada satu jawaban tertentu yang betul, melainkan bisa saja beberapa jawaban yang berbeda sama-sama betul karena sama-sama dapat dipertanggungjawabkan. Kriteria “betul” ditentukan berdasarkan ketepatan isi, pengorganisasian (pengungkapan) isi, penyimpulan, kelogisan, alasan, dan ketepatan bahasa. Oleh karena itu, penilaian terhadap tes esai ini bersifat sangat kompleks, dan ada kalanya sulit dihindarkan adanya unsure subjektivitas penilai.

III. SIMPULAN
Dalam melaksanakan tes kemampuan membaca kita harus mempertimbangkan bahan dan tingkatan tes kemampuan membaca. Pemilihan wacana hendaknya dipertimbangkan dari segi tingkat kesulitan, panjang pendek, isi, dan jenis atau bentuk wacana.
Tingkatan tes kognitif kemampuan membaca, meliputi: 1. Tingkat ingatan (C1); 2. Tingkat pemahaman (C2); 3. Tingkat penerapan (C3); 4. Tingkat analisis (C4); 5. Tingkat sintesis (C5); dan 6. Tingkat evaluasi (C6).

DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Safari. 2002. Pengujian dan Penilaian Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT Kartanegara
Tarigan, Henry Guntur. 1987. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tuckman, 1975. Measaring Educational Outcomes: Fundamentals of Testing. USA: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Meningkatkan Kreativitas Siswa Menciptakan Karya Sastra

Meningkatkan Kreativitas Siswa Menciptakan Karya Sastra
Oleh Sutarsih

Mengajarkan apresiasi sastra tidak hanya dengan menyediakan dan menugasi siswa membaca karya sastra, tetapi dapat juga mengasah kemampuan siswa untuk menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemilihan metode/teknik menuangkan ide sangatlah penting untuk memacu kreativitas siswa dalam mengarang. Dengan demikian, peran guru sangat penting untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam mengarang. Dengan demikian, peran guru sangat penting untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam menciptakan karya sastra.

1. Apresiasi Sastra

Karya sastra dianggap sebagai hasil proses kreatif pengarang. Menurut Abrams, penelitian karya sastra dengan menggunakan pendekatan eksprsif memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan. Jika dibayangkan bahwa segala gagasan, cita rasa, emosi, ide, dan angan-angan merupakan ’dunia dalam’ pengarang, karya sastra merupakan ’dunia luar’ pengarang. Karya sastra dianggap sebagai sarana untuk memehami keadaan jiwa pengarang atau sebaliknya (Sugihastuti, 2002:2).
Apresiasi sastra merupakan interpretasi yang benar terhadap karya sastra. Karenanya, Hirsch menyatakan apabila pernyataan-pernyataan tentang makna sebuah karya sastra merupakan pernyataan-pernyataan yang objektif, apabila interpretasi karya sastra harus menjadi ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu dan bukan sekadar arena bagi gagasan, khayalan, pilihan pribadi, yang tonggaknya bukanlah pengetahuan, tetapi apa yang disebut dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tingggi sehingga diperlukan standar penilaian yang memperkenankan, sedikit-sedikitnya secara prinsip, satu dan hanya satu interpretasi sebuah karya untuk dinilai betul atau benar (Sugihastuti, 2002: 11).
Pernyataan Hirsch bahwa hanya maksud si pengarang yang memberikan ’standar pembeda yang benar’ menawarkan alasan mengapa disodorkan bahwa interpretasi sastra perlu sekali menjadi ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu menjadikan perlunya pengajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, pengajaran sastra merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kreativitas siswa menciptakan karya sastra.

2. Menulis dan Mengarang

Menulis bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kadang orang bisa berbicara, tetapi tidak bisa menulis kembali apa yang dibicarakan. Sebaliknya, ada orang yang pandai menulis, tetapi tidak bisa membicarakan tulisannya. Namun, ada juga orang yang pandai berbicara dan menulis. Khusus tentang kemampuan menulis ini, hambatan yang dialami adalah penuangan ide berupa penulisan kata pertama untuk mengawali tulisan. Kadang kala dalam menulis selalu muncul pertanyaan: apa yang akan ditulis, bagaimana menuliskannya, dan pantaskah disebut sebuah tulisan Meskipun sebenarnya ide itu bisa didapatkan dari mana saja, misalnya dari pengalaman diri sendiri; dari cerita orang lain; peristiwa alam; ataupun dari khayalan kita, menulis tetap dianggap tidak mudah. Kesulitan dalam menuangkan ide ternyata juga sering dialami oleh siswa sekolah dasar. Padahal, berdasarkan aspek keterampilan berbahasa Indonesia, keterampilan menulis merupakan salah satu kompetensi berbahasa yang harus dimiliki oleh setiap siswa selain keterampilan membaca, mendengarkan, dan berbicara. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa adalah mengungkapkan gagasan dalam bentuk tulisan, membuat alur cerita yang runtut, dan menggunakan bahasa yang mudah dibaca (Rusilah, 2006:3).
Berkaitan dengan pengajaran sastra berupa menciptakan karya sastra, masih ada kendala pada saat melaksanakan pengajaran mengarang. Proses belajar mengajar yang selama ini masih banyak dijumpai menggunakan pendekatan tradisional merupakan salah satu faktor penghambat kreativitas menulis. Guru sebagai penentu proses pembelajaran sedangkan siswa secara pasif hanya menerima rumus atau kaidah. Pada umumnya pendekatan tradisional tidak membangkitkan kreativitas siswa sehingga siswa mengalami kesulitan pada saat mengarang.
Permasalahan tentang kreativitas menulis ini sebenarnya bisa dilatih dan dijadikan sebuah keterampilan dengan cara membiasakan diri berlatih menulis. Untuk itu, perlu ditemukan metode menulis yang tepat dan praktik menulis berdasarkan metode tersebut.
Penelitian pengajaran sastra, terutama tentang kemampuan menulis sebuah karya sastra, sudah banyak dilakukan. Henry Yustanto dkk. telah melakukan penelitian dengan judul “Kondisi Pengajaran Sastra Indonesia di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Surakarta: Studi Kasus (2004)”. Dalam penelitian itu mereka menganalisis realitas proses belajar mengajar sastra Indonesia di SLTP dan tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pengajaran sastra di sekolah.
Penelitian lain tentang menulis dilakukan oleh Rita Inderawati dalam desertasinya tahun 2005 berjudul “Model Respons Nonverbal dan Verbal dalam Pembelajaran Sastra untuk Mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa SD: Studi Kuasi-Eksperimen di SD Negeri ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/2004”. Tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah untuk mengembangkan keterampilan menulis siswa dengan menerapkan respon pembaca dan simbol-simbol visual sehingga mampu mencerdaskan moral siswa. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keberterimaan, perbandingan, dampak, kelebihan, kelemahan, dan model pembelajaran sastra untuk mengembangkan keterampilan menulis.
Selain penelitian di atas, masih ada penelitian lain tentang penelitian keterampilan menulis, khususnya prosa sederhana yang dilakukan oleh Rusilah berjudul “Penerapan Strategi Area Isi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Prosa Sederhana bagi Siswa Kelas V SDN Sendangmulyo 03, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007″. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menuangkan ide saat menulis sebuah prosa sederhana (cerpen), meningkatkan motivasi siswa dalam melakukan aktivitas menulis prosa sederhana (cerpen), meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa dalam menulis prosa sederhana (cerpen), dan meningkatkan keterampilan guru dalam memotivasi siswa untuk menulis prosa sederhana (cerpen).
Penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Ari Wijayanti, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang dalam skripsinya yang berjudul “Kemampuan Menulis Karangan Narasi Siswa Kelas III SD Negeri Blitar Kecamatan Sukorejo Tahun Ajaran 2006/2007”. Dalam skripsi tersebut siswa diharapkan tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan membuat karangan. Namun, juga diperlukan kecermatan untuk membuat argumen dan memiliki kemampuan untuk menuangkan ide atau gagasan dengan cara membuat karangan yang menarik untuk dibaca.
Sutarman melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Mengajar Kooperatif Tipe Student Team Achievement Division (STAD) bagi Peningkatan Kemampuan Menulis: Penelitian Tindakan Kelas Pada Pembelajaran Menulis Siswa Kelas III SMPN 2 Jatinunggal Sumedang Tahun Pelajaran 2004/2005”. Penelitian ini menggunakan model yang memungkinkan siswa untuk belajar menulis melalui praktik menulis berkelompok dengan memanfaatkan potensi interaksi dan kerja sama antarsiswa. Ketika proses belajar berlangsung, siswa dapat berdiskusi dan saling mengoreksi tulisan. Dari sini diharapkan siswa dapat menemukan dan menyadari kekurangannya sendiri, kemudian memperbaikinya agar tidak mengulangi lagi kesalahan penulisan karangan.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sonya Inna S. dengan judul “Pengembangan Program Pembelajaran Kontekstual dalam Pelajaran Menulis: Studi Pengembangan pada Kelas V Sekolah Dasar Lembaga Pendidikan Katholik di Bandung”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model pembelajaran kontekstual yang dapat diterapkan pada pelajaran menulis di Sekolah Dasar. Program Pembelajaran Kontekstual dalam Pelajaran Menulis diperoleh melalui penelitian menggunakan metode research and development. Tahap penelitian meliputi studi pendahuluan, pengembangan, uji coba model secara terbatas dan uji coba model secara lebih luas.

3. Pengajaran Sastra di Sekolah

Variasi berbahasa menjadi pusat pembelajaran bahasa. Ini berarti model pembelajaran bahasa harus mencakup sebanyak mungkin kegiatan pelangsungan berbahasa Indonesia. Termasuk di dalam kegiatan pelangsungan berbahasa Indonesia ini adalah keterampilan menulis. Melalui keterampilan menulis, siswa dilatih untuk berbahasa aktif dalam bentuk tertulis.
Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia harus menciptakan usaha dan kemauan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan wajar. Pembelajaran bahasa Indonesia harus mendorong siswa untuk mau dan berusaha untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik, benar, dan wajar untuk pelbagai tujuan dan dalam pelbagai situasi. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia terpusat pada siswa. Ini berarti aktivitas terbesar dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah siswa terdorong, mau, giat, dan berusaha mendengarkan uraian dan percakapan dalam bahasa Indonesia, membaca naskah tulis bahasa Indonesia, berbicara dalam bahasa Indonesia untuk pelbagai keperluan, dan menulis dalam bahasa Indonesia untuk pelbagai tujuan dan maksud (Parera, 1996:13).

3.1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
3.1.1 Hakikat KTSP

Pemerintah telah mempercepat pencanangan “Millenium development goals” yang semula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2015. Millenium development goals adalah era pasar bebas, era globalisasi, dan era persaingan mutu dan kualitas. Mutu dan kualitas menjadi standar parameter yang sangat penting agar sumber daya manusia Indonesia dapat bersaing dengan luar negeri. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan suatu keharusan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Era mutu dan kualitas menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan, dan strategi sesuai kebutuhan. Demikian juga halnya dalam pendidikan.
Kurikulum adalah komponen sistem pendidikan yang dipakai sebagai acuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki “kemampuan berpikir”. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan sebagai penggerak mesin utama pendidikan yaitu pembelajaran. KTSP menjadi seperangkat pengembangan kurikulum yang diharapkan memenuhi kebutuhan pendidikan. Sebagai wujud reformasi pendidikan, KTSP memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya masing-masing. Pada sistem KTSP sekolah memiliki kekuasaan dan tanggungjawab penuh dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi, dan tujuan.
Dalam KTSP, pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, komite sekolah, dewan pendidikan, tenaga kependidikan, wali murid, tokoh masyarakat, dan lembaga lain yang bisa dilibatkan dalam menetapkan kebijakan berdasarkan ketentuan-ketentuan pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, kurikulum dirumuskan oleh komite sekolah menjadi program-program operasional untuk mencapai tujuan sekolah. KTSP didedikasikan sebagai tonggak pembaharu yang dapat mendongkrak kualitas pendidikan dan mampu menciptakan generasi unggul yang oleh pemerintah dan semua pihak diharapkan membentuk keselarasan antara pendidikan dan pembangunan, serta memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Dalam hal ini keterampilan menulis menjadi kata kunci agar tiap-tiap siswa mampu memaksimalkan potensi dirinya.

3.1.2 Konsep Dasar Pengajaran Sastra Indonesia dalam KTSP

Pembahasan tentang konsep dasar pengajaran sastra Indonesia berdasarkan pada kurikulum yang berlaku pada saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berdasarkan kurikulum tersebut, pengajaran sastra Indonesia di sekolah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pengajaran bahasa Indonesia.
Konsep dasar pengajaran sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) secara substansi menunjukkan posisi pengajaran sastra lebih dideskripsikan secara jelas dan operasional. Kejelasan posisi ini diungkapkan dalam tujuan umum pembelajaran, yaitu peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri (BNSP 2006:317). Standar kompetensi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) meliputi empat aspek keterampilan di dalam belajar bahasa yakni: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang berkaitan dengan ragam sastra. Dengan demikian, posisi materi pengajaran sastra dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia semakin baik dan deskripsinya semakin jelas.
Tujuan pengajaran umum itu dijabarkan lagi dalam beberapa tujuan khusus. Tujuan khusus yang terkait dengan pengetahuan sastra, yaitu siswa dapat menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selain itu, dari pembelajaran sastra siswa diharapkan dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Pada akhir pendidikan di SD/MI, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya sembilan buku sastra dan nonsastra (BNSP, 2006:318).
Adapun standar kompetensi dalam kemampuan bersastra disebutkan dalam Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) antara lain sebagai berikut.
1. Mendengarkan: peserta didik mampu mendengarkan karya sastra yang dikisahkan atau dibacakan dan memahami pikiran, perasaan, dan imajinasi yang terkandung di dalam karya sastra berbentuk dongeng, puisi, cerita, drama, pantun, dan cerita rakyat.
2. Berbicara: peserta didik mampu menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan atas pemahaman mereka dalam membaca karya sastra anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi.
3. Membaca: peserta didik mampu menggunakan berbagai teknik membaca untuk memahami wacana karya sastra anak berbentuk puisi, dongeng, pantun, percakapan, cerita, dan drama.
4. Menulis: peserta didik mampu menulis karangan sederhana untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk cerita, puisi, dan pantun (BNSP, 2006:16).

3.2 Menulis Kreatif
3.2.1 Menulis

Kata ‘menulis’ mempunyai dua arti. Pertama, menulis berarti mengubah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia menjadi tanda-tanda yang dapat dilihat. Kedua, kata ‘menulis’ mempunyai arti suatu kegiatan mengungkapkan gagasan secara tertulis. Orang yang melakukan kegiatan ini disebut penulis dan hasil kegiatannya berupa tulisan (Asrul Wijayanto dalam Rusilah, 2006:6).
Sebelum menulis atau mengarang harus terlebih dahulu menyiapkan kerangka karangan. Kerangka karangan memungkinkan penulis membedakan gagasan utama dan gagasan-gagasan tambahan sehingga dapat membantu penulis menyusun karangan secara teratur. Wujud dan gagasan dapat dilihat secara jelas hingga susunan dan hubungan timbal balik antargagasan itu tepat.

3.2.2 Menulis Kreatif

Menulis kreatif bisa disimpulkan sebagai suatu kegiatan mewujudkan apa yang ada di otak dengan sebagai suatu langkah awal yang ditulis oleh tangan kita (Laksana, 2007:3). Hal ini didukung oleh pengertian menulis kreatif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3 yang menyatakan kegiatan melahirkan pikiran atau perasaan dengan tulisan yang memiliki daya cipta (2003:599).
Dalam rangka menulis kreatif, yang dibutuhkan adalah adanya kemauan walau tanpa ide (Laksana, 2007:5). Dengan adanya kemauan untuk menulis, terciptalah tulisan. Keinginan menulis harus diwujudkan menjadi sebuah tindakan menulis dan itu memerlukan sedikit kemauan untuk menyingkirkan penundaan dan tidak ambil peduli terhadap mood. Langkah selanjutnya adalah memunculkan ide. Ide dapat muncul dengan cara memancing datangnya ide, menangkap, dan mengembangkannya. Langkah selanjutnya adalah menulis berdasarkan ide yang telah dikembangkan tersebut. Pada saat menulis cobalah untuk menulis secara sederhana dan apa adanya. Menulis sebagaimana berbicara supaya dipahami. Menulis harus dilakukan secara cepat dengan membatasi waktu. Menulislah yang buruk, lalu editlah. Menulis tidak boleh dilakukan secara bersamaan dengan mengedit. Hal ini untuk menghindari penyumbatan mengalirnya kata dan terhambatnya pengembangan ide. Jangan pedulikan apakah susunan kalimatnya baik atau buruk. Yang paling penting adalah menumpahkan semua yang ingin disampaikan. Pada saat mengedit inilah otak akan bekerja untuk menyusun tulisan yang dibuat sehingga mengalir dan mudah dibaca. Ubah susunan kalimat kalau perlu. Buang bagian dari kalimat atau kalimat itu sendiri jika dirasa tidak tepat. Pikirkan pilihan kata yang dianggap kuat.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk menulis kreatif adalah dengan menggunakan kata kunci. Kata kunci tersebut digunakan untuk mengawali sebuah paragraf. Pengembangan paragraf dilakukan sebagai pengembangan kata kunci dengan cara menguraikan secara detail mengenai karakteristik kata kunci tersebut, bisa ditinjau dari kegunaan, bentuk, warna, ukuran, letak, rasa, sifat, aroma, maupun cara penggunaannya. Misalkan pada sebuah paragraf digunakan tiga kata kunci yang sepertinya tidak ada hubungannya, ternyata setelah mengalami tahap pengeditan akan terbentuklah sebuah jalinan yang memiliki keterkaitan dan bisa dipahami maksud yang tersurat dan tersirat pada tulisan itu secara baik oleh pembaca.

3.3.3 Metode Menulis Kreatif

Menulis kreatif sebagai wujud kegiatan mengarang memang perlu dilatihkan pada siswa. Oleh karena itu, peran aktif guru sangat diperlukan untuk membantu siswa menuangkan ide. Siswa perlu banyak latihan mengarang untuk meningkatkan kreativitasnya dalam menulis. Latihan ini merupakan umpan yang diberikan kepada siswa agar ditemukan metode yang paling tepat dan menggugah imajinasi siswa dalam menumpahkan idenya dalam bentuk karangan.
Metode yang dipilih harus disesuaikan dengan karakteristik siswa, meliputi: umur, tingkatan kelas, latar belakang sosial ekonomi, lingkungan, dan pengalaman. Guru bisa juga mengambil bahan pemancing ide dari kebiasaan siswa yang pada umumnya senang dengan hal-hal yang masih bersifat khayal, komik, dongeng, binatang, dan hobi. Semua bahan pemancing ide itu bisa berupa visual atau adio atau audio visual yang dapat merangsang kreativitas siswa dengan kemasan yang menarik.

Daftar Pustaka

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.
Laksana, A.S. 2007. Creative Writing: Tip dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel. Jakarta: 2007.
Parera, Jos Daniel. 1996. Kurikulum 1994 Bahasa Indonesia: Pedoman Kegiatan Belajar Bahasa Indonesia Landas Oikir Landas Teori untuk Guru Bahasa Indonesia SLTP dan SMU. Jakarta: Grasindo.
Rusilah. 2006. “Penelitian Tindakan Kelas: Penerapan Strategi Area Isi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Prosa Sederhana bagi Siswa Kelas V SDN Sendangmulyo 03, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007”.
Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun KBBI Edisi Ketiga. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

gaya dan bahasa pidato

GAYA DAN BAHASA PIDATO DI DEPAN UMUM

 

Gaya Lisan

 

Gaya lisan merupakan kualitas berbicara yang jelas dibedakan dengan bahasa tulisan.  Susunan kata dan tata bahasa yang Anda gunakan tidak dapat berbicara persis seperti yang Anda tulis. Berdasarkan pengamatan sejumlah tulisan dan pengamatan dari ebebrapa peneiti, De Vito (1965, 1990a) menyatakan bahwa pada umumnya  bahasa lisan terdiri dari kata-kata yang lebih sederhana, lebih pendek, dan lebih populer daripada kata-kata dalam bahasa tulisan. Bahasa lisan mengandung sejumlah besar istilah referensi sendiri, ungkapan, istilah yang kuantitatif semu (misalnya banyak, sangat, berbagai, sejumlah), lebih banyak mengandung pernyataan yang menyatukan pembicara sebagai bagian dari pengamatan, dan lebih banyak menggunakan kata benda daripada kata keterangan. Sebagaian besar gaya berbicara ini harus dipertahankan di dalam pembicaran di depan umum, namun harus diberikan polesan gaya yang diperkirakan cocok untuk keperluan bericara dan paling efektif dalam mengomunikasikan maksud kepada khalayak pendengar.

 

Berikut ini pedoman dalam menyusun pidato dalam rangka menghasilkan gaya lisan yang memperhatikan kesempurnaan dan persuasif:

 

1.       kita bicarakan dahulu bagaimana memilih kata untuk mencapai gaya pidato yang efektif.

 

2.       kita akan mengupas beberapa saran dalam menyusunm gaya kalimat yang memberikan kejelasan dan penguatan.

 

 

 

Pilihan Kata

 

Dalam berpidato hendaklah memilih kata dengan seksama yang lebih menguraikan, lebih gamblang, lebih sesuai, lebih personal, dan lebih menguatkan.

 

Uraian dalam gaya bericara harus merupakan tujuan utama dalam berpidato. Berikut pedoman untuk membuat pembicaran yang lebih jelas.

yang ringkas, contoh warnanya biru, pukul 21.00 malam hari

gunakan istilah dan angka spesifik, contoh lebih baik katakan anjing daripada makhluk hidup

gunakan ungkapan yang memandu contoh pendapat saya berikutnya adalah …, coba kita perhatikan bagaimana cara.

gunakan istilah pendek, populer, dan umum, contoh lebih baik mengatakan menggali daripada mengorek keterangan

gunakan ulangan dan ringkasan internal

yang gamblang

gunakan kata kerja aktif, contoh lebih baik manajemen menemui kita besok daripada manajemen akan berada di sini besok.

gunakan teknik berpidato, perhatikan aliterasi, hiperbola, metafora, metonimi, personifikasi, pertanyan retorik, dan simile

gunakan indera, rangsang indera perasaan khalayak

indera penglihatan, dalam menguraikan obyek ciptakan bayangan seolah-olah khalayak melihatnya mulai visualisasi tinggi, berat, warna, berntuk, besaran

indera pendengaran, rangsang khalayak untuk menguraikan bunyi, misal angin mendesisi, teriakan guru

indera perasa, gunakan istilah yang merangsang perasaan pendengar, misal halusnya kulit bayi yang baru lahir, kasarnya kertas ampelas

kesesuaian, mengikuti pedoman untuk membantu memilih bahasa yang sesuai

berbicara pada formalitas yang sesuai, misalnya ucapkan takkan daripada tidak akan

hindari kata asing, jargon, kata teknis, dan singkatan. Memang beberapa singkatan tak asing bagi pendengar, namun harus hati-hati karena tidak semua pendengar paham. Oleh sebab itu, penggunaan singkatan harus diikuti oleh penjelasan artinya.

hindari siang dan ungkapan vulgar, tidak boleh menyinggung perasaan pendengar

hindari istilah dan ungkapan yang ofensif, misal lebih baik menyebut pemain drama daripada dramawan

gaya personal, lebih baik pembicara yang bericara dengan mereka daripada berbicara kepada mereka

gunakan kata ganti orang, misal lebih baik ia, saya, anda daripada seseorang

pertanyaan langsung ke khalayak, mengajak pendengar untuk menjadi bagian acara dari pembicaraan

ciptakan kesiapan, lebih baik mengatakan Anda akan menyukai membaca… daripada Setiaporabg akan menyukai membaca…

penguatan, dengan mengendalikan perhatian, pikiran dan perasaan khalayak, dengan bahasa yang menguatkan

hilangkan yang melemahkan, misalnya rasanya, menurut pendapat saya

hindari kata umum dan klise, misalkan saya tidak mengetahui seni modern, tetapi saya tahu apa yang saya sukai atau ungkapan klise seperti manis seperti madu

mainkan intensitas suara dengan derajat inetnsitas gaya yang berbeda-beda untuk menciptakan suasana yang mendalam

 

 

 

Pembentukan Kalimat

 

Pidato yang efektif memerlukan perhatian khusus dalam pembentukan kalimat. Berikut ini beberapa pedomannya.

pilih kalimat pendek

pilih kalimat langsung, misalnya lebih baik mengatakan Kita tidak usah menerima rancangan … saya tunjukkan kepada Anda tiga alasan daripada Saya ingin memberitahu Anda mengenai tiga alasan mengapa kita tidak perlu menerima rancangan …

pilih kalimat aktif, lebih baik mengatakan Manajemen menyetujui proposal itu daripada Proposalnya disetujui oleh manajemen

gunakan kalimat yang positif, lebih baik mengatakan kami menolak proposal itu daripada kami tidak menerima proposal itu

variasi jenis dan panjang kalimat.Kalimat harus pendek, langsung, aktif, dan positif memang benar, namun terlalu banyak kalimat yang jenis dan panjangnya sama akan terasa membosankan. Gunakan variasi dalam pembentukan kalimat sementaras dengan tetap memperhatikan pedoman umum di atas.

 

 

 

Rangkuman dari DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books

Pengertian Sastra

PENGERTIAN, FUNGSI, DAN RAGAM SASTRA

Maret 9, 2009 — Wahidin

A. Pengertian Sastra
Kesusastraan : susastra + ke – an
su + sastra
su berarti indah atau baik
sastra berarti lukisan atau karangan

Susastra berarti karangan atau lukisan yang baik dan indah.
Kesusastraan berarti segala tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.

B. Fungsi Sastra
Dalam kehidupan masayarakat sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu :
1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi penikmat atau pembacanya.
2. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya.
3. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya karena sifat keindahannya.
4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik selalu mengandung moral yang tinggi.
5. Fungsi religius, yaitu sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.

C. Ragam Sastra
1. Dilihat dari bentuknya, sastra terdiri atas 4 bentuk, yaitu :

a) Prosa, bentuk sastra yang diuraikan menggunakan bahasa bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi.
b) Puisi, bentuk sastra yang diuraikan dengan menggunakan habasa yang singkat dan padat serta indah. Untuk puisi lama, selalu terikat oleh kaidah atau aturan tertentu, yaitu :

(1) Jumlah baris tiap-tiap baitnya,
(2) Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya,
(3) Irama, dan
(4) Persamaan bunyi kata.
c) Prosa liris, bentuk sastra yang disajikan seperti bentuk puisi namun menggunakan bahasa yang bebas terurai seperti pada prosa.
d) Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta disajikan menggunakan dialog atau monolog. Drama ada dua pengertian, yaitu drama dalam bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.

2. Dilihat dari isinya, sastra terdiri atas 4 macam, yaitu :

a) Epik, karangan yang melukiskan sesuatu secara obyektif tanpa mengikutkan pikiran dan perasaan pribadi pengarang.
b) Lirik, karangan yang berisi curahan perasaan pengarang secara subyektif.
c) Didaktif, karya sastra yang isinya mendidik penikmat/pembaca tentang masalah moral, tatakrama, masalah agama, dll.
d) Dramatik, karya sastra yang isinya melukiskan sesuatu kejadian(baik atau buruk) denan pelukisan yang berlebih-lebihan.

3. Dilihat dari sejarahnya, sastra terdiri dari 3 bagian, yaitu :
a) Kesusastraan Lama, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesusastraan Lama Indonesia dibagi menjadi :

(1) Kesusastraan zaman purba,
(2) Kesusastraan zaman Hindu Budha,
(3) Kesusastraan zaman Islam, dan
(4) Kesusastraan zaman Arab – Melayu.

b) Kesusastraan Peralihan, kesusastraan yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ialah :
(1) Hikayat Abdullah
(2) Syair Singapura Dimakan Api
(3) Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah
(4) Syair Abdul Muluk, dll.

c) Kesusastraan Baru, kesusastraan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru Indonesia. Kesusastraan Baru mencangkup kesusastraan pada Zaman :
(1) Balai Pustaka / Angkatan ‘20
(2) Pujangga Baru / Angkatan ‘30
(3) Jepang
(4) Angkatan ‘45
(5) Angkatan ‘66
(6) Mutakhir / Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang

D. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
Karya sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya. Dua unsur yang dimaksud ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti : tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latae dan pelataran, dan pusat pengisahan. Sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari luarnya menyangkut aspek sosiologi, psikologi, dan lain-lain.

1. Unsur Intrinsik
a) Tema dan Amanat
Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra. Tema mayor ialah tema yang sangat menonjol dan menjadi persoalan. Tema minor ialah tema yang tidak menonjol.
Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan menjadi makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya. Makna muatan ialah makana yang termuat dalam karya sastra tersebut.

b) Tokoh dan Penokohan
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya ada beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama. Tokoh utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan dalam karya sastra. Dua jenis tokoh adalah tokoh datar (flash character) dan tokoh bulat (round character).
Tokoh datar ialah tokoh yang hanya menunjukkan satu segi, misalny6a baik saja atau buruk saja. Sejak awal sampai akhir cerita tokoh yang jahat akan tetap jahat. Tokoh bulat adalah tokoh yang menunjukkan berbagai segi baik buruknya, kelebihan dan kelemahannya. Jadi ada perkembangan yang terjadi pada tokoh ini. Dari segi kejiwaan dikenal ada tokoh introvert dan ekstrovert. Tokoh introvert ialah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh ketidaksadarannya. Tokoh ekstrovert ialah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra dikenal pula tokoh protagonis dan antagonis. Protagonis ialah tokoh yang disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Antagonis ialah tokoh yang tidak disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya.
Penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh. Ada beberapa cara menampilkan tokoh. Cara analitik, ialah cara penampilan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung. Cara dramatik, ialah cara menampilkan tokoh tidak secara langsung tetapi melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelaku atau tokoh dalam suatu cerita.
Dialog ialah cakapan antara seorang tokoh dengan banyak tokoh.
Dualog ialah cakapan antara dua tokoh saja.
Monolog ialah cakapan batin terhadap kejadian lampau dan yang sedang terjadi.
Solilokui ialah bentuk cakapan batin terhadap peristiwa yang akan terjadi.

c) Alur dan Pengaluran
Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu bulat dan utuh. Alur terdiri atas beberapa bagian :
(1) Awal, yaitu pengarang mulai memperkenalkan tokoh-tokohnya.
(2) Tikaian, yaitu terjadi konflik di antara tokoh-tokoh pelaku.
(3) Gawatan atau rumitan, yaitu konflik tokoh-tokoh semakin seru.
(4) Puncak, yaitu saat puncak konflik di antara tokoh-tokohnya.
(5) Leraian, yaitu saat peristiwa konflik semakin reda dan perkembangan alur mulai terungkap.
(6) Akhir, yaitu seluruh peristiwa atau konflik telah terselesaikan.

Pengaluran, yaitu teknik atau cara-cara menampilkan alur. Menurut kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur erat dan alur longggar. Alur erat ialah alur yang tidak memungkinkan adanya pencabangan cerita. Alur longgar adalah alur yang memungkinkan adanya pencabangan cerita. Menurut kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal ialah alur yang hanya satu dalam karya sastra. Alur ganda ialah alur yang lebih dari satu dalam karya sastra. Dari segi urutan waktu, pengaluran dibedakan kedalam alur lurus dan tidak lurus. Alur lurus ialah alur yang melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah alur yang melukiskan tidak urut dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus bisa menggunakan gerak balik (backtracking), sorot balik (flashback), atau campauran keduanya.

d) Latar dan Pelataran
Latar disebut juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar atau setting dibedakan menjadi latar material dan sosial. Latar material ialah lukisan latar belakang alam atau lingkungan di mana tokoh tersebut berada. Latar sosial, ialah lukisan tatakrama tingkah laku, adat dan pandangan hidup. Sedangkan pelataran ialah teknik atau cara-cara menampilkan latar.

e) Pusat Pengisahan
Pusat pengisahan ialah dari mana suatu cerita dikisahkan oleh pencerita. Pencerita di sini adalah privbadi yang diciptakan pengarang untuk menyampaikan cerita. Paling tidak ada dua pusat pengisahan yaitu pencerita sebagai orang pertama dan pencerita sebagai orang ketiga. Sebagai orang pertama, pencerita duduk dan terlibat dalam cerita tersebut, biasanya sebagai aku dalam tokoh cerita. Sebagai orang ketiga, pencerita tidak terlibat dalam cerita tersebut tetapi ia duduk sebagai seorang pengamat atau dalang yang serba tahu.

2. Unsur Ekstrinsik
Tidak ada sebuah karya sastra yang tumbuh otonom, tetapi selalu pasti berhubungan secara ekstrinsik dengan luar sastra, dengan sejumlah faktor kemasyarakatan seperti tradisi sastra, kebudayaan lingkungan, pembaca sastra, serta kejiwaan mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik, diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain.

Ditulis dalam Makalah Jurusan Bahasa, makalah bahasa indonesia

Gaya Bahasa

GAYA BAHASA (MAJAS)

  1. A. GAYA BAHASA (GB) PENEGASAN
  1. Inversi

GB. yang diwujudkan dalam kalimat yang predikatnya terletak di depan subjek. Hal ini disengaja untuk memberikan ketegasan.

  • Tertawa ia setelah dibelikan baju baru.
  1. Retoris

GB. yang diwujudkan dalam kalimat Tanya tetapi sebenarnya tidak bertanya.

  • Itukah bukti janji yang engkau ucapkan.
  1. Koreksio

GB. yang menggunakan kata-kata pembetulan untuk mengoreksi kata yang dianggap salah, baik disengaja atau tidak.

  • Setelah acara ini selesai, silakan saudara-saudara pulang, eh maaf, silakan saudara-saudara mencicipi hidangan yang telah disediakan.
  1. Repetisi

GB. penegasan yang mengulang-ulang suatu kata berturut-turut dalam satu wacana.

  • Sekali merdeka, tetap merdek!.
  1. Paralelisme

GB. pengulangan seperti repetisi yang khusus terdapat dalam puisi.

Paralelisme dibagi menjadi dua:

a. Anafora, apabila kata yang diulang terdapat pada awal kalimat atau sanjak.

  • sunyi itu duka

sunyi itu kudus

sunyi itu lupa

sunyi itu lampus

b. Epifora, apabila kata yang diulang terdapat pada akhir kalimat atau sanjak.

  • Oh ibu

Yang kurindu adalah kasihmu

Yang kudamba adalah kasihmu

Aku ingin selalu bermanja dengan kasihmu

  1. Enumerasio

GB. penegasan yang menyebutkan beberapa hal yang saling berkaitan membentuk satu kesatuan, dan satu persatu dari tiap-tiap hal tersebut memperoleh tekanan sehingga tampak jelas.

  • Apa yang engkau harapkan dari saya ini, saya orang miskin, yang jelas tidak disenangi orang kampung, yang tidak punya tempat tinggal.
  1. Klimaks

GB. penegasan yang menyatakan beberapa hal berturut-turut makin lama makin tinggi tingkatannya.

  • Di desa-desa, di kota-kota sampai ke ibu kota, hari proklamasi dirayakan dengan meriah.
  1. Antiklimaks

GB. penegasan yang menyatakan beberapa hal berturut-turut makin lama makin turun tingkatannya.

  • Jangankan sejuta, seribu, seratus pun tak mau aku memberikan uang itu kepadamu.
  1. Asindeton

GB. penegasan yang menyebutkan beberapa hal berturut-turut tanpa menggunakan kata penghubung.

  • Buku tulis, buku bacaan, majalah, Koran, alat-alat kantor semua dapat Anda beli di toko itu.
  1. Polisindeton

GB. penegasan yang menyebutkan beberapa hal dengan menggunakan kata penghubung.

  • Piring dan gelas serta sedok yang kotor harus segera dicuci.
  1. Pleonasme

GB. penegasan yang menggunakan kata-kata yang sebenarnya tidak perlu, karena makna kata tersebut telah terkandung dalam kata yang diterangkan.

  • Ia tidak ingin turun ke bawah.
  1. Tautologi

GB. penegasan yang mempergunakan beberapa kata bersinonim.

  • Kehendak, cita-cita, dan harapanmu itu akan tercapai jika kamu mau berusaha keras.
  1. Praterito

GB penegasan dengan menyembunyikan sesuatu, seolah-olah menyuruh pembaca atau pendengar menerka apa apa yag disembunyikan. Pembicara merahasiakan sesuatu karena yakin bahwa lawan bicaranya akan mengerti maksudnya walaupun tidak diungkapkan secara jelas.

  • Bagaimana cantiknya gadis itu tak perlu saya ceritakan kepadamu. Pendeknya wah! Dan teman-teman pria di kelasnya begitu tergila-gila padanya.
  1. Elipsis

GB yang diwujudkan dalam kalimat elips (kalimat tak lengkap) yaitu kalimat yang predikat atau subjeknya dilesapkan karena dianggap sudah diketahui atau dimengerti oleh lawan bicaranya.

  • “Ali!” à maksudnya supaya Ali berhenti merebut
  • Saya khawatir, jangan-jangan dia …” à kata-katany tidak diteruskan.
  1. Interupsi

GB. penegasan yang mempergunakan kata-kata atau frase yang disisipkan di antara kalimat pokok dan diapit tanda koma (,) dengan maksud untuk menjelaskan sesuatu dalam kalimat.

  • Saya, kalau bukan karena terpaksa, tak mau bertemu dengan dia lagi.
  • Dia, orang yang selama ini tidak kusenangi, tiba-tiba saja berubah sikap, amat baik dan sopan.
  1. Ekslamasio

GB. yang di dalamnya memakai kata seru. Kata seru seperti: wah, amboi, awas, aduh, astaga, oh.

  • Aduh, mana tahan!
  • Awas, ada anjing galak.
  1. B. GAYA BAHASA PERBANDINGAN
  1. Tropen

GB. yang mempergunakan kata-kata yang maknanya sejajar dengan pengertian yang dimaksudkan.

  • Bapak Presiden terbang ke London tadi pagi.
  • Ia menjual suaranya untuk membiayai uang kuliah.
  1. Simbolik

GB. kiasan yang membandingkan Sesuatu dengan benda-benda lain sebagai simbol atau lambang. Simbol itu bisa berupa (nama) benda, (nama) binatang atau (nama) tumbuh-tumbuhan dan arti symbol itu sudah diketahui oleh umum.

  • Hati-hatilah, dia itu buaya darat.
  1. Antonomasia

GB. yang mempergunakan kata-kata tertentu untuk menggantikan nama seseorang. Kata-kata itu diambil dari sifat-sifat atau ciri-ciri yang menonjol yang dimiliki oleh orang yang dimaksud, atau bisa juga gelar atau jabatan yang melekat pada orang tersebut.

  • Yang Mulia tidak bisa hadir pada acara itu.
  1. Alusio

GB. perbandingan yang mempergunakan ungkapan-ungkapan, peribahasa, atau sampiran pantun yang sudah lazim dipergunakan orang.

  • Ya terpaksa, tidak ada rotan akar pun jadilah.
  • Aku sudah tahu. Dan semuanya sudah jelas. Maka jangan lagi berlagak kura-kura dalam perahu.
  1. Eufemisme

GB. perbandingan yang menggunakan kata-kata atau ungkapan yang diperhalus agar tidak menyinggung perasaan orang.

  • Harga BBM akan disesuaikan lagi
  • Karena banyak masalah yang dipikirkannya akhirnya ia menderita sakit ingatan.
  1. Litotes

GB perbandingan yang memperendah derajat sesuatu dari keadaan sebenarnya, atau menggunakan kata-kata yang artinya berlawanan dari arti yang dimaksud untuk merendahkan diri.

  • Terimalah baju jelek ini sebagai kenang-kenangan. (baju bagus)
  • Saya bekerja mecari sesuap nasi.
  1. Hiperbola

GB yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal dari yang sesungguhnya.

  • Hampir meledak dadaku menahan amarah.
  • Air matanya mengalir menganak sungai.
  1. Perifrasis

GB yang menggunakan kata-kata lebih banyak dari yang diperlukan. Kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja.

  • Ia telah beristirahat dengan damai (meninggal)
  1. Personifikasi

GB yang menggambarkan benda-benda mati atau (barang-barang yang tidak bernyawa) seolah-olah memiliki sifat-sifat manusia, dapat berlaku, bertindak, berpikir, merasa, dan berbicara seperti manusia.

  • Angin malam membelai wajahnya yang ayu.
  1. Sinekdok

GB yang menyebutkan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau menyebutkan keseluruhan untuk menyatakan sebagian.

GB sinekdok dibagi dua yaitu:

  1. Pars pro toto ialah sebagian untuk seluruh.
  • Setiap kepala dikenakan sumbangan Rp 5000,00
  1. Totem pro parte ialah seluruh untuk sebagian.
  • Indonesia mengalahkan Cina dengan kedudukan 15:3 dalam pertandingan bulutangkis semalam.
  1. Metonemia

GB penamaan terhadap suatu benda yang mempergunakan nama pabrik, merek dagang, nama penemu, nama jenis, dll.

  • Kami pulang pergi naik kijang
  1. Alegori

GB bercerita yang mengandung kiasan. Bentuk kiasan ini membandingkan manusia dengan gejala alam.

  • Hidup ini lautan. Kadang pasang naik, kadang pasang surut. Belum lagi badai topan melanda tanpa berita. Berhati-hatilah mengarungi lautan ini.
  1. Metafora

GB sejenis analogi yang membandingkan dua hal baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk yang singkat. Perbandingan ini tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dst.

  • Buah hatinya telah pergi untuk selamanya
  1. Simile

GB perbadingan eksplisit (langsung) menyatakan sesuatu sama dengan yang lain. Biasanya menggunakan kata perbandingan: seperti, bak, laksana, bagaikan, dst.

  • Bibirnya bak delima merekah.
  1. C. GAYA BAHASA PERTENTANGAN
  1. Paradoks

GB pertentangan yang mengandung dua pernyataan yang membentuk satu kalimat, sehingga sepintas lalu tidak masuk akal.

  • Dia selalu merasa sepi di kantor yang ramai ini.
  1. Antitesis

GB pertentangan yang menggunakan paduan kata-kata yang artinya bertentangan.

  • Suka duka, susah gembira akan kita hadapi berdua dengan penuh pengertian.
  1. Anakronisme

GB yang mengandung uraian atau pernyataan yang tidak sesuai dengan sejarah atau zaman tertentu.

  • Candi Borobudur dirancang oleh nenek moyang kita dengan menggunakan komputer.
  1. Kontradiksio in terminis

GB yang mengandung pertentangan atau pengecualian. Apa yang dikatakan, disangkal lagi oleh ucapan yang diucapkan kemudian.

  • Suasana sepi, hening sekali, tak ada seorang pun yang berbicara, hanya jam dinding yang terus kedengaran berdetak-detik.
  1. Okupasi

GB pertentangan yang mengandung bantahan dan penjelasan.

  • Udin sebenarnya anak yang cerdik, namun karena kemalasannya, maka dia mendapat nilai yang paling rendah.
  1. D. GAYA BAHASA SINDIRAN
  1. Ironi

GB sindiran yang ingin mengatan sesuatu dengan makna atau maksud yang berlawanan dari apa yang diucapkan. Ironi adalah gaya bahasa sindiran yang paling halus.

  • Siang benar kamu pulang. (siang benar maksudnya larut sekali)
  1. Sinisme

GB seperti ironi, tetapi lebih kasar.

  • Sunggu merdu suaramu, rasanya pecah anak telingaku mendengarnya.
  • Harum benar bau badanmu, tolong agak bergeser sedikit.
  1. Sarkasme

GB sindiran yang menggunakan kata-kata kasar. (sindiran lebih tajam dari irono dan sinisme). Gaya bahasa ini biasanya digunakan untuk menyatakan kemarahan.

  • Cih, muak aku melihat gayamu
  1. Antifrasis

GB ironi yang menggunakan kata atau ungkapan yang maknanya berlawanan.

  • Aduh, kamu sekarang kok rapi sekali sih? (Dalam kenyataannya orang tersebut berpenampilan berantakan)
  1. Inuendo

GB sindiran yang mempergunakan pernyataan yang mengecikan kenyataan sebenarnya.

  • Ia menjadi kaya raya lantaran mau sedikit korupsi.

Pengembangan Paragraf

PENGEMBANGAN PARAGRAF

 

Gagasan Utama

Gagasan utama bacaan adalah hal yang dibahas atau diungkapkan dalam bacaan. Gagasan diungkapkan dengan kata atau frase. Letak gagasan utama di awal paragraf (deduktif), di akhir (induktif), atau di awal dan di akhir (deduktif-induktif). Dalam paragraf berjenis narasi dan deskripsi gagasan utama dapat tersebar di seluruhkalimat.

Contoh 1:

Bacaan yang baik untuk anak berisi contoh yang baik-baik pula. Cara yang dapat dilakukan dengan menampilkan tokoh kartun, boneka, badut yang lucu, tetapi mengandung unsur pendidikan. Tokoh binatang yang cerdik pun dapat pula mewakili pesan moral. Misalnya, kancil menipu buaya atau sejenisnya. Tokoh orang bertubuh raksasa, tetapi sangat baik terhadap sesama.

Gagasan utama paragraf tersebut terdapat di awal paragraf (deduksi), yaitu bacaan yang baik untuk anak.

 

Contoh 2:

Sudah ada ide, tetapi sukar untuk dituangkan. Selalu dihadapkan dengan persoalan apa yang hendak ditulis? Seberapa panjang tulisan yang akan ditulis. Keringnya pengetahuan terhadap topik yang hendak dikembangkan. Demikianlah pengalaman seseorang pada awal belajar menulis.

Gagasan utama paragraf terdapat di akhir (induksi), yaitu pengalaman belajar menulis.

 

Kalimat Utama dan Kalimat Penjelas

Kalimat utama, ialah kalimat yang berisi masalah/ kesimpulan sebuah paragraf. Letaknya dapat di awal paragraf (deduksi), di akhir (induksi), atau di awal dan dinakhir (deduksi-induksi).

Kalimat penjelas, ialah kalimat yang berisi penjelasan terhadap hal yang dinyatakan dalam kalimat utama atau berisi hal-hal khusus.

contoh:

Banyak orang membaca sebuah bacaan dengan tujuan ingin mendapatkan informasi dari bacaan tersebut. Informasi yang ingin diperoleh mungkin sudah pernah didengar, tetapi ingin lebih meyakinkan lagi dengan membaca langsung. Membaca bacaan berisi informasi yang pernah dibaca sebelumnya dan ingin mengingat lagi informasi itu lebih baik. Apalagi membaca suatu bacaan yang berisi informasi baru, tentu akan dicermati dengan baik atau mungkin akan

mencatat informasi tersebut.

Kalimat yang tercetak miring dalam bacaan tersebut berupa kalimat utama dan kalimat-kalimat berikutnya merupakan kalimat penjelas.

 

Jenis Karangan

  1. eksposisi, ialah karangan yang berisi penjelasan-penjelasan atau paparan yang dapat memperluas pengetahuan pembaca.

Contoh:

Membaca intensif merupakan kegiatan membaca secara teliti atau membaca secara seksama bacaan berupa teks. Tujuan membaca dengan cara ini untuk mendapatkan pemahaman isi bacaan secara tepat dan rinci. Misalnya, mengetahui hal-hal yang diperlukan.

 

  1. argumentasi, ialah karangan yang berisi pendapat yang disertai Pembahasan logis dan diperkuat dengan fakta-fakta sehingga pendapat itu diterima kebenarannya.

contoh:

Air yang tergenang seperti di kaleng-kaleng bekas dan di selokan harus dibersihkan. Air yang tergenang itu tidak boleh dibiarkan karena akan menjadi sarang nyamuk. Nyamuk akan bertelur dan berkembang biak di genangan air tersebut.

 

  1. persuasi, ialah karangan yang berisi imbauan atau ajakan kepada orang-orang tertentu, kelompok, atau masyarakat tentang sesuatu. Agar hal yang disampaikan itu dapat mempengaruhi orang lain, harus pula disertai penjelasan dan fakta-fakta.

contoh:

Penggunaan pestisida dan pupuk kimia untuk tanaman dalam jangka waktu lama tidak lagi menyuburkan tanaman dan memberantas hama. Pestisida justru dapat mencemari lingkungan dan menjadikan tanah lebih keras sehingga perlu pengolahan dengan biaya yang tinggi. Oleh sebab itu, hindarilah penggunaan pestisida secara berlebihan.

 

  1. narasi, ialah karangan yang berisi cerita, ada pelaku, peristiwa, konflik, dan penyelesaiannya.

contoh:

Hafiz terkejut mendengar suara kemenakannya itu. Dengan segera ditariknya tali timba pengangkat tanah, tempat Abdullah bergantung. Ketika itu tampaklah oleh Hafiz mata air berbusa-busa naik ke atas dengan cepat, besar, dan jernih. . . .

 

  1. deskripsi, ialah karangan yang berisi pengalaman suatu yang dilihat, dirasa, didengar, dialami, dan sebagainya, sehingga membuat pembaca seolah-olah melihat merasa, mendengar, mengalami, dan sebagainya, apa yang digambarkan tersebut (memfungsikan pancaindra si pembaca).

contoh:

Malam itu indah sekali. Bintang-bintang di langit berkerlap-kerlip memancarkan cahaya. Udara dingin menusuk kulit. Sesekali terdengar suara jangkir mengusik sepinya malam.

Pendeskripsian tersebut mengaktifkan indra penglihatan/ mata, perasa/ peraba, dan pendengaran/ telinga.

 

Tanggapan Isi Bacaan

Setelah membaca sebuah bacaan, kita sering memberi komentar positif atau negatif terhadap isi bacaan tersebut. Pemberian komentar itu disebut dengan tanggapan terhadap isi bacaan. Tetapi, sebuah tanggapan haruslah logis.

Contoh:

Membaca pemahaman sangat penting dibandingkan dengan kemampuan berbahasa lainnya. Misalnya, kemampuan mendengar. Mendengarkan sesuatu sangat terbatas jangkauannya seperti waktu, tempat, dan sebagainya. Tetapi, dengan membaca pemahaman dapat dilakukan di mana dan kapan pun, serta dapat dilakukan sewaktuwaktu, serta dengan cepat dapat menangkap isi bacaan.

 

Tanggapan yang sesuai dan logis dengan isi bacaan tersebut adalah:

a. Memang diperlukan kemampuan membaca pemahaman untuk memahami dengan cepat isi bacaan, atau

b. Memang benar membaca pemahaman efektif dilakukan untuk memperolehinformasi dengan cepat.

Bahasa Tulisan

KONTEKS KULTURAL BAHASA TULISAN

 

A. Zaman Bahasa

Hingga kini belum ada suatu teori pun yang diterima luas mengenai bagaimnan bahasa itu muncul di permukaan bumi. Ada dugaan kuat bahasa nonverbal muncul sebelum bahasa verbal . konon hewan prinata berevolusi sejak kira-kita 70 juta tahun lalu. Jutaan tahun berlalu,sebelum hewan yang mirip monyet muncul pertama kalinya di afrika, yang salah satu spesiesnya kemudian berkembang menjadi makhluk yang mirip manusia (hominid) dengan otak yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan ukuran otak yang kita miliki.

1. Asal-usul Bahasa

Diduga makhluk-makhluk yang mirip manusia dan menggunakan alat pemotong terbuat dari batu ini namun masih seperti kera “berkomunikasi“ secara naluriah , dengan bertukar tanda alamiah berupa suara (gerutan, geraman, pekikan), postur dan gerakan tubuh, termasuk gerakan tangan dan lengan , sedikit lebih maju dari “komunikasi“ hewan primata masa kini. Mereka tidak menggunakan bahasa lisan yang membutuhkan penciptaan berbagai suara yang subtil. Salah satu sebabnya, kotak suata mereka identik dengan kotak suara kera, simpanse, dan hewan primata lainnya yang kita kenal sekarang ini, yang tidak mungkin mereka mengkombinasikan berbagai suara untuk membentuk bahasa manusia. Pendeknya, cara komunikasi mereka sangat primitive dibandingkan dengan komunikasi kita.

Banyak makhluk yang mirip manusia ini bsertahan untuk beberapa waktu dengan berburu dan mengumpulkan makanan, namun kira-kira 35.000 tahun yang lalu akhirnya punah secara misterius. Sementara itu, “manusia modern“ (homo sapiens), nenek moyang manusia, muncul secara misterius pula antara 90.000 dan 40.000 tahun lalu, di Eropa dan Timur dekat yang sebelumnya dihuni generasi terakhir hominid. Makhluk baru ini akhirnya menyebar ke berbagai bagian dunia, termasuk Asia dan Amerika.

Dulu nenek moyang kita yang juga disebut Cro magnon ini tinggal di gua-gua. Mereka punya sosok seperti kita, hanya saja lebih berotot dan lebih tegap, mungkin karena hidup mereka penuh semangat dan makan makanan yang lebih sehat. Ketika mereka belum mampu bserbahasa verbal, mereka besrkomunikasi lewat gambar-gambar yang mereka buat pada tulang, tanduk, cadas, dan dinding gua yang banyak ditemukan di Spanyol dan Prancis Selatan. Mereka menggambarkan bison, rusa kutub, dan mamalia lainnya yang mereka buru. Inilah sarana pertama yang dikenal manusia untuk merkam informasi.

Kemudian antara 40.000 dan 35.000 tahun lalu Cro Magnon mulai menggunakan bahasa lisan. Ini dimungkingkan karena mereka punya struktur tengkorak, lidah, dan kotak suara yang mirip dengan yang kita miliki sekarang. Kemampuan besrbahasa inilah yang membuat mereka terus bertahan hingga kini, tidak seperti makhluk mirip manusia sebelumnya yang musnah. Karena Cro Magnon dapat berpikir lewat bahasa, mereka mampu membuat rencana, konsep, berburu dengan cara yang lebih baik, dengan lebih efektif dalam lingkungan yang keras dan cuaca yang buruk. Mereka juga dapat mengawetkan makanan. Mereka juga punya waktu untuk bersenang-senang, membuat inovasi dan berkontemplasi. Namun mereka belum dapat menulis. Sementara itu, bahsas pun semakin beraneka ragam. Cara bicara yang baru berkembang ketika orang-orang menyebar ke kawsan-kawasan baru tempat mereka menemukan dan mengatasi problem-problem baru. Bahasa-bahasa lamu pun terus berevolusi dari generasi ke generasi.

2. Sejarah Perkembangan Bahasa di Dunia

Perkembangan sejarah bahasa dari jaman Yunani Kuno sampai sekarang tidak lepas dari adanya kontroversi. Kontroversi yang pertama sudah ada sejak abad keenam sebelum masehi. Dua kubu yang saling berhadapan saat itu kubu phusis dan kubu thesis. Kubu phusis percaya bahwa dalam bahwa itu ada keterkaitan antara kata dan alam. Keterkaitan antara kata dan alam itu, menurut kubu phusis, bersifat alami dan memang sangat diperlukan. Sebaiknya, kubu thesis percaya bahwa tidak ada keterkaitan antara kata dan alam. Hubungan antara kata dan alam sifatnya arbitrar dan konvensional.

Dalam mempertahankan pendiriannya, kubu phusis mengemukakan beberapa alasan. Pertama, adanya gejala onomatopoeia, yang berarti ‘gema suara alam’. Maksud kaum phusis ialah bahwa gema suara alam itu dipakai manusia untuk menamakan konsep-konsep kebendaan yang ada di sekelilingnya. Kata-kata dalam bahasa Inggris, sekaligus artinya dalam Bahasa Indonesia seperti misalnya, splash ‘percik’, pick ‘petik’, sway ‘ayun’, dan masih banyak lagi adalah bukti keyakinan para penganut kubu phusis ini.

Gejala onomatopoeia itu berkembang ke arah asosiasi bunyi dan dengan sifat atau keadaan seseorang atau benda. Misalnya, bunyi i dalam Bahasa Indonesia (menurut kesan saya) diasosiaskan dengan kecantikan, kemungilan, atau kesucian. Kata-kata melati, suci, murni, dan kebanyakan nama wanita Indonesia, adalah perwujudan dari asosiasi ini.

Selain simbolisme bunyi di atas, pandangan terhadap gema suara alam itu berkembang lagi ke arah asosiasi warna, lagu dengan perasaan. Perkembangan onomatopoeia yang mengasosiakan warna dan lagu dengan perasaan itu sangat bermanfaat dalam sistem pengaturan cahaya, warna kostum lagu-lagu pengiring dalam pementasan seni, drama, dan tari.

Di lain pihak, dalam mempertahankan pendiriannya, kubu thesis mengutarakan bukti-bukti bahwa nama yang diberikan oleh manusia kepada benda-benda di sekitarnya tidak menurut kaidah tertentu, misalnya menurut kaidah asosiasi antara nama benda dengan suara alam. Nama-nama yang diberikan itu hanyalah konvensi antara sesama anggota masyarakat pembicara dari suatu bahasa. Mengapa orang Inggris mengatakan branches of a tree, sementara orang Indonesia menyebut cabang-cabang pohon¸dan orang Jawa menamakan pange wit, dan dalam bahasa lain disebut lain lagi. Hal semacam itu sama sekali tidak mencerminkan adanya keterkaitan antara nama benda atau konsep dengan gema suara alam.

Kontroversi yang kedua terjadi sekitar abad ke-4 sebelum Masehi antara penganut faham Analogi dan penganut faham Anamoli. Karena tajamnya perbedaan keyakinan antara dua aliran ini, mereka tidak mau tinggal dalam satu kota. Para penganut paham Analogi berpusat di kota Alexandria, sedangkan para penganut paham Anomali lebih suka tinggal di kota Pergamum.

Dalam bidang bahasa, kaum Analogi percaya bahwa bahasa itu tertata menurut aturan yang pasti. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa ‘languange is governed’. Keteraturan bahasa, menurut aliran Analagi, terdapat pada semua aspek: aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.

Dalam bidang sastra, para anggota kubu Analogi menyarankan agar tujuan karya sastra itu terutama untuk menghibur.

Kedua kubu itu menganjurkan agar kita mempelajari karya-karya sastra (puisi, prosa, maupun drama) pengarang-pengarang terkenal. Pernyataan kedua kubu itu mengandung maksud bahwa para sastrawan bertanggung jawab untuk menjadi model yang baik dalam hal berbahasa yang benar dan dalam hal mengajarkan moral. Kontroversi antara Analogi dan Anomali itu berlanjut sampai sekarang.

Kontroversi yang ketiga timbul pada jaman Renaissance, antara para penganut empirisme dan para penganut nasional. Kaum empiris percaya bahwa jiwa manusia itu mempunyai kemampuan, tetapi kita tidak tahu banyak tentang kemampuan itu. Mereka menganggap bahwa jiwa manusia itu seperti kertas kosong yang dalam istilah mereka yang sangat terkenal itu sebagai “tabula rasa”. Sebelum jiwa manusia melakukan kegiatan, manusia tidak mempunyai apa-apa. Dalam bahasa Latin ucapan mereka yang sangat terkenal ialah ‘Nihil estis intellectu, quod non prius tuerist in sensus’. Dalam Bahasa Indonesia ucapan di atas artinya kurang lebih ‘Jiwa kita ini kosong sebelum ada rangsangan lewat indera kita.’ Dalam masalah bahasa, kaum empiris percaya bahwa bahasa itu dipelajari dari lingkungan sekitar. Jadi, bahasa itu pada hakekatnya, menurut mereka, learned ‘dipelajari’.

Di pihak lain, kaum rasionalis percaya bahwa segala sesuatu itu dapat dicari rasionalnya, karena tidak mungkin segala sesuatu itu terjadi begitu saja tanpa ada alasannya. Gagasan pokok kaum rasionalis ialah bahwa jiwa manusia itu tidak seperti kertas kosong. Jiwa manusia berbekal pemikiran-pemikiran yang logis.

Dalam masalah bahasa, kaum rasionalis menyangkal bahwa bahasa itu didapat dari lingkungan. Sebaliknya, mereka percaya bahasa itu sudah ada dalam jiwa manusia sebagai pembawaan yang dalam istilah bahasa Inggris disebut innate. Karena pada hakekatnya manusia itu mempunyai bawaan yang universal sifatnya, bahasa pun mempunyai sifat yang universal pula. Di pihak lain, pengikut-pengikut paham empirisme, terutama Johann Gottfried von Herder (1744-1803), percaya bahwa jiwa dan pikrian manusia itu berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain, tergantung pada budaya yang melingkunginya. Sebagai konsekuensi, Herder mengungkapkan adanya nasionalisme kebahasaan, dan ia tidak percaya bahwa bahasa itu mempunyai sifat universal.

Kontroversi yang sempat kita amati dewasa ini ialah kontroversi sejarah bahasa dalam abad ke-20, yaitu antara paham struktualisme dan para Cartersian Modern dengan Gramatika Transformasi Generatifnya.

Holisme yang diterapkan di dalam sejarah perkembangan bahasa melahirkan aliran struktualisme. Kata struktualisme berasal dari bahasa Latin strunctura, yang artinya bangunan. Menurut kaum struktualis, konsep apapun dapat dihayati sebagai bangunan. Dengan sendirinya, bahasa pun dapat dihayati sebagai bangunan. Menurut konsep ini, bahasa dibangun dari kalimat-kalimat; kalimat dibangun dari klausa-klausa; selanjutnya, klausa dibangun dari frasa-frasa; frasa dibangun dari kata-kata; kata dibangun dari morfem-morfem; dan akhirnya, morfem dibangun dari fonem. Tidaklah mengherankan jika gramatika yang diperkenalkan oleh aliran struktualisme itu terbatas pada gramatika struktur frasa yang dalam bahasa Inggris disebut Phrase Structure Grammar.

Chomsky berpendapat bahwa dalam masalah bahasa, kaum strukturalis mengacu pada kerangka pikir keperilakuan. Padahal, bahasa manusia itu sangat rumit, tidak sesederhana seperti yang diperkirakan oleh para penganut struktualisme. Selanjutnya, sarjana ini mengatakan bahwa jiwa kita ingin memahami bagaimana bahasa dikuasai dan dipergunakan dan dipergunakan oleh manusia, kita harus memisahkan sistem kognitif secara tersendiri, suatu sistem pengetahuan dan keyakinan yang berkembang sejak anak-anak, yang telah berinteraksi dengan factor-faktor lain, untuk menentukan jenis perilaku kebahasaan yang dapat kita amati. Dalam istilah linguistic, Chomsky menggunakan istilah kompetensi, yaitu yang mendasari itu tidak didasari oleh manusia. Dari konsep ini dapat dimengerti bahwa bahasa itu bukan learned¸ melainkan innate.

Di Indonesia kontroversi antara kelompok yang percaya bahasa itu mempunyai fungsi transaksional dan kelompok yang percaya bahwa bahasa itu berfungsi interaksional. Bagi para penganut transaksional, fungsi bahasa yang penting ialah daya penyampai pesan yang terkandung dalam kalimat atau ujaran. Kelompok ini percaya bahwa satuan bahasa yang terkecil ialah kalimat, sebab kalimat itu berisi pesan yang dianggap lengkap. Siapa yang menerima pesan tidaklah penting. Agar pesan dapat diterima tanpa salah kalimat haruslah jelas, seperti jelasnya kalimat yang diciptakan oleh seorang penutur yang ideal, tanpa cela.

3. Fungsi Bahasa Dalam Kehidupan Manusia

Mengapa manusia berbahasa dan mengapa terdapat banyak bahasa di dunia? kemampuan berbahasa munusia, yang membedakannya dari hewan lain yang lebih rendah, merupakan akibat dari pembesaran dan perkembangan otak manusia. Salah satu pandangan mengatakan bahwa orang – orang yang hidup di berbagai bagian dunia merasa perlu merncang solusi untuk memecahkan berbagai cara hidup, dan bersama hal itu, bahasa – bahasa berlainan untuk memenuhi kebutuhan merekan. Misalnya, cara hidup orang Eskimo yang unik harus menawrkan cara – cara bagi orang – orang ini untuk mengatasi lingkungan mereka.

Kita sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena kita sepanjang hidup menggunakannya. Kita baru sadar bahasa itu penting kerika kita menemui jalan buntu dalam menggunakan bahasa, misalnya : ketika kita berupaya bserkomunikasi dengan orang yang sama sekali tidak memehami bahasa kita yang membuat kita frustasi; ketika kita sulit menerjemahkan suatu kata, frase, atau kalaimat dari surat bahasa ke bahasa lain; ketika kita harus menulis lamaran pekerjaan atau diwawancarai dalam bahasa inggris untuk memperoleh suatu pkerjaan yang bagus.

Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, objek, dan peristiwa. Setiap orang punya nama untuk identifikasi social. Orang juga dapat menamai apa saja, objek-objek yang berlainanm termasuk perasaan tertentu yang mereka alami. Penamaan adalah dimensi pertama bahasa dan basis bahasa, dan pada awalnya itu dilakukan manusia sesuka mereka, yang lalu menjadi konvensi. Mengapa matahari disebut matahari? karena ia disebut matahari! Adalah keliru menganggap sesuatu itu mempunyai hanya satu nama yang benar. Benda yang kita terima dari tukang pos kita sebut surat. Kestika isinya kita ketahui menawarkan barang atau jasa, kita sebut iklan. Karena kita tidak tertarik pada penawaran itu, benda itu kita buang ke keranjang sampah, dan kita menyebutnya sampah. Bagaimana kita menjuluki Emha Ainun Najib? budayawan, cendikiawan, seniman, penulis, kolumnis, kiai, penyanyi atau pelawak? Salah satu cara menjawabnya: bergantung pada apa yang sedang ia lakukan saat itu. Bila ita sedang berceramah agama, ia kiai. Bila ia sedang menulis buku, artikel atau kolom, ia penulis, dan bila ia senang menyanyi dengan iringan kelompol musiknya ia adalah penyanyi. Suatu objek mempunyai bebeapa tingkat abstraksi. Ibu kita adalah ibu, ibu adalah wanita, wanita adalah manusia, manusia adalah makhluk hidup, dan makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan. Semakin luas kelasnya, semakin abstrak konsep tersebut. Sepanjang hidup kita sebenarnya belajar mengabstraksikan segala sesuatu.

Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dpat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Anda juga menerima informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga anda tidur kembali, dari orang lain, baik secara langsung atau tidak (melalui media massa misalnya). Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi tranmisi. Keistimewaan bahasa sebagi sarana tranmisi informasi yang lintas waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa bahasa kita tidak mungkin bertukar informasi: kita tidak mungkin menghadirkan semua objek dan dapat tempat untuk kita rujuk dalam komunikasi kita.

Book mengemukakan, agar komunikasi; kita berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu: untuk mengenal dunia di sekitar kita; berhubungan dengan orang lain; dan untuk menciptakan kohetensi dalam kehidupan kita.

Mari kita jabarkan ketiga fungsi ini. Fungsi pertama bahasa ini jelas tidak terlakkan. Melalui bahasa anda mempelajari apa saja yang menarik minat anda, mulai dari sejarah suatu bangsa yang hidup pada masa lalu yang tidak pernah anda temui, seperti bangsa Mesir Kuno atau bangsa Yunani. Kita dapat berbagi pengalaman, bukan hanya pristiwa masa lalu yang kita alami sendiri, tetapi juga pengetahuan tentang masa lalu yang kita peroleh melaui sumber kedua, seperti media cetak atau media elektronik. Kita juga menggunakan bahasa untuk memperoleh dukungan atau persetujuan dari orang lain atas pengalaman kita atau pendapat kita. Melalui bahasa pula anda memperkirakan apa yang akan dikatakan atau dilakukan seorang kawan anda, seperti dalam kalimat “kemarin kawan saya begitu marah kepada saya. Jangan-jangan ia tidak mau lagi berhubungan dengan saya“. Meskipun gambaran kita mengenai masa depan tidak selalu akutat, setidaknya bahasa memungkinkan kita memikirkan, membicarakan, dan mengantisipasi masa depan, misalnya apa yang akan terjadi terhadap manusia dan alam semesta berdasarkan dugaan yang dikemukakan para ahli ilmu pengetahuan dan orang bijak lainnya, juga berdasarkan wahyu Tuhan atau sabda nabi.

Fungsi kedua bahasa, yakni sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain, sebenarnya banyak berkaitan dengan fungsi-fungsi komunikasi, khususnya fungsi social dan fungsi instrumental. Ringkasnya bahasa memungkinkan kita besrgaul dengan orang lain untuk kesenangan kita dan mempengaruhi mereka untuk mencapai tujuan kita. Melalui bahasa kita dapat mengendalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang di sekitar kita. Seorang nyonya rumah dapat memerintahkan, “tolong bawakan minuman buat saya“, kepada pelayannya. Seorang kandidat dari sebuah partai politik dapat menyampaikan gagasannya, namun selaigus juga membujuk rakyat untuk memilih partainya dan mempertimbangkan dirinya sebagai calon presiden yang potensial. Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain bergantung tidak hanya pada bahasa yang sama, namun juga pengalaman yang sama dan makna yang sama yang kita berikan kepada kata-kata. Semakin jauh perbedaan antara bahasa yang kita gunakan dengan bahasa mitra komunikasi kita, semakin sulit bagi kita untuk mencapai salaing pengertian. Meskipun orang Indonesia dan orang Malaysia berbicara bahasa melayu, atau orang Amerika dan orang Inggris berbicara bahasa inggris, mereka belum tentu mencapai kesepahaman, karena bebeapa perbedaan yang ada dalam kedua bahasa tersebut.

Sedangkan fungsi ketiga memungkinkan kita untuk hidup lebih teratur , saling memehami mengenai diri kita, kepercayaan-kepercayaan kita, dan tujuan-tujuan kita. Kita tidak mungkin menjelaskan semua itu denan menyusun kata – kata secara acak, melainkan berdasarkan aturan-aturan tertentu yang telah kita sepakati bersama. Akan tetapi, kita sebenarnya tidak selamanya dapat memenuhi ketiga fungsi bahasa tersebut, oleh karena, meskipun bahasa merupakan sarana komunikasi dengan manusia lain, sarana ini secara inheren mengandung kendala, karena sifatnya yang cair dan keterbatasannya. Seperti dikatakan S.I. Hayakawa, “ kata itu bukan objek “. Bila orang-orang memaknai suatu kata secara berbeda, maka akan timbul kesalahpahaman di antara mereka.

Apa yang akan terjadi jika manusia terisolasi, baik sengaja atau tidak, dari penggunaan bahasaa? Manusia hanya akan bserbahasa jika siasuh dalam komunitas manusia. Manusia yang “di asuh “ hewan seperti “ manusia srigala “ asal Hessia tahun 1349, “manusia beruang“ asal Lithuania tahun 1661, tidak berbicara bahasa manusia karena tidak berhubungan dengan manusia, mereka boleh jadi akan berbahasa meskipun tidak sesempurna manusia yang sejak lahir diasuh manusia. Pada tahun 1920-an seekor srigala “mengadopsi“ dua kembali ke masyarakat manusia. Tahun 1940-an kasus Isabella berusia enam tahun yang tidak dapat berbicara cukup mengejutkan. Sebagai putrid seorang bisu-tuli diluar perkawinan, Isabella di kurung di dalam sebuah ruangan gelap, dipisahkan dari keluarganya yang lain. Ketika ditemukan, ia hanya bisa berkoak-koak dengan suara parau. Isabella kemudian dirawat dokter dan psikolog klinis. Dua tahun kemudian ia bisa bicara normal.

 

C. Zaman Cetak

Lepas dari zaman tulisan, salah satu penyempurnaan paling besar dari perkembangan manusia berkomunikasi adalah ditemukannya cetakan. Sebelum abad ke 15 orang-orang eropa memproduksi buku-buku dengan menyiapkan manu scripti (salinan yang dicetak dengan menggunakan tangan). Walaupun hal demikian merupakan perkembangan bagus dalam dunia tulisan, proses tersebut sering tidak lepas dari kesalahan. Lebih penting lagi adalah, jumlah buku-buku yang disediakan sama sekali terbatas. Cetakan membawa perubahan yang fantastis. Ratusan bahkan ribuan salinan buku-buku tertentu dapat diproduksi dengan tepat dan cepat. Bisa dikatakan, penemuan mesin cetak merupakan kemajuan yang menakjubkan.

Hal penting yang mengikuti perkrmbangan era cetak ini adalah penggunaan kertas sebagai bahan untuk merekam tulisan. Hal demikian sudah dimulai di dunia islam sepanjang abad ke 18 dengan kertas kulit (meskipun sebenarnya kertas sudah muncul di China). Lama kelamaan, sostem pemakaian tulisan di atas kertas tersebar ke umat Kristen Eropa, khususnya ketika tentara moors menduduki Sepanyol. Tulisan yang awal mulanya dimonopoli oleh kalangan pendeta, elite politik, ilmuan dan ahli lain mulai bergeser. Masyarakat umum yang punya kemampuan untuk menulis dan membaca mulai merasakan kemanfaatannya.

Proses pembuatan cetakan dengan memakai sebuah tanda pada tanah liat memang yang tertua dalam proses cetak mencetak. Kemudian prises itu dilanjutkan dengan mencetak di dalam balok kayu lunak, baru kemudian digunakan tinta atau mencetak ke dalam kertas. Orang-orang China sendiri telah melakukan proses mencetak pada tahun 800 Masehi. Satu penemuan penting yang dilakukan orang China adalah mereka telah berhasil mencetak buku pertama yang berjudul Diamond Sutra.

Cetakan sebagaimana yang kita ketahui saat ini tidak mungkin terjadi tanpa perantaraan tukang emas di Mainz, Jerman pada tahun 1455. Tukang emas ini kemudian dikenal dengan nama Johan Gutenberg. Ialah yang awal mulanya memperkenalkan cara unuik mencetak. Sesudah melakukan banyak percobaan, dia membangun gagasan dengan membuat mesin baja untuk masing-masing huruf. Ternyata, mesin cetaknya mampu mencetak secara benar dan tepat, paling tidak jika hanya dibandingkan dengan salinan tulisan dengan memakai tangan.

Awalnya Gutenberg sendiri heran bahwa percobaannya bisa melipatgandakan jumlah cetakan. Tetapi dia khawatir, jangan-jangan penemuannya akan dianggap orang lain sebagai tiruan murah dari tulisan tangan. Kekhawatiran itu justru membuat dia menjadi sangat hati-hati. Kemudian, dia melakukan proyek pertama kali dengan mencetak injil. Ternyata pecobaannya sungguh luar biasa.

Tetapi Gutenberg sebenarnya tidak pernah menikmati hasil kreativitas dan imajinasinya, mes-kipun orang lain jelas akan mengakui kehebatan penemuannya. Ceritanya, suatu saat dia meminjam uang ke-pada pengacaranya untuk me-nyempurnakan penemuannya.

Baru saja menyelesaikan proyeknya yang pertama (mencetak injil yang belum pernah dilakukan orang lain) pengacaranya menuntut pembayaran kembali pinjamannya, bahkan mengadilinya dan “membersihkan” took, cetakan dan semua penemuannya (200 injil yang sudah tercetak dan segala hal yang dia miliki). Sepuluh tahun kemudian Gutenberg meninggal di dalam kemiskinan dan keputus asaan. Dia tidak penah menyangka bahwa penemuannya itu menjadi titik awal munculnya abad cetakan dan sangat berguna bagi umat manusia dewasa ini, khususnya awal munculnya era komunikasi massa. Bisa dikatakan inilah babak awal yang menjadi embrio munculnya era komunikasi massa.

Awal abad ke 16 baru saja dimulai, mesin cetak Gutenberg telah mampu mencetak dan melipatgandakan cetakan yang dapat dipindah dan telah mampu mencetak ribuan salinan buku cetak di atas kertas. Mereka menerbitkannya ke dalam bahasa Eropa dan bahasa lain. Hasil cetakan itu dapat dibaca oleh setiap orang yang mampu membaca ke dalam bahasanya masing-masing. Tersedianya buku-buku itu memacu perluasan akan arti pentingnya belajar membaca.

Dalam perkembangannya, kitab injil tidak hanya dicetak dalam bahasa Latin, tetapi juga bahasa-bahasa lain. hal demikian menimbulkan kekhawatiran pihak Gereja Roma. Pihak Gereja khawatir jangan-jangan keaslian kitab itu terancam. Oleh karena itu, Gereja selalu menjaga keaslian kitab ini dengan mencetak ke dalam bahasa kuno. Tetapi perkembangan cetak mencetak sudah sedemikian pesat. Kitab itu tidak hanya dimonopoli kalangan Gereja saja, tetapi juga masyarakat umum. Akhirnya, dengan pemahaman yang didapatkan di Gereja, mereka mulai berani menentang otoritas dan intrepertasi tunggal atas kitab injil pihak Gereja Roma. Sebuah media komunikasi baru ini membuka peluang cara untuk memprotes keberadaan agama dan struktur sosial. Munculnya gerakan Protestan juga mengarahkan pada perubahan besar yang mempunyai dampak pada hak-hak masyarakat barat sampai hari ini.

Ide dasar pengembangan surat kabar lebih awal di benua Eropa, Inggris dan “Dunia Baru” (negara taklukan ata yang ditemukan masyarakat Eropa). Pers kolonial orang Amerika baru mapan beberapa tahun sebelum Amerika Serikat ditemukan sebagai negara baru. Di Amerika sendiri baru tahun 1830-an ada surat kabar yang boleh dibilang sukses. Itu terjadi di New York. Surat kabar tersebut bisa disebarkan ke beberapa belahan dunia. Pada dekade ke tiga abad ke 19 dampak perkembangan cepat dari media cetak sungguh terasa sekali. Bahkan sudah ada gagasan untuk mengkombinasikan surat kabar ke dalam media massa komunikasi lainnya.

Melvin D Fleur dan Sandra J. Ball-Rokeach (1989) mengatakan ada dua hal penting yang layak dicermati dalam era ini. Pertama, media surat kabar dan juga media cetak lainnya bisa muncul setelah seperangkat kompleksitas elemen budaya muncul dean terus berkembang di masyarakat. Kedua, seperti hampir terjadi pada semua penemuan sebelumnya, penemuan mesin cetak merupakan gabungan antar elemen dalam masyarakat. Masyarakat menerima perkembangan media cetak itu karena tak lain sebagai sebuah kompleks budaya yang terus berkembang.

Di akhir abad ke 19 menjadi jelas munculnya beberapa media cetak seperti surat kabar, buku dan majalah yang semua itu dipergunakan secara luas oleh masyarakat. Media tersebut mewakili bentuk baru komunikasi yang mempengaruhi tidak hanya pola interaksi didalam komunitas dan masyarakat, tetapi juga pandangan psikologis. Sekedar contoh, ahli sosiologi Amerika Charles Horton Cooley menyatakan, ada beberapa faktor yang membuat media baru jauh lebih efisien dari pada proses-proses komunikasi pada masyarakat sebelumnya. Media baru itu lebih efektif sebagaimana yang dia katakana sebagai;

1) Expressiveness, membawa perluasan gagasan dan perasaan.

2) Permanent of Record, mengatasi waktu

3) Swiffness, mengatasi ruang

4) Diffussion, jalan masuk ke kelas-kelas yang ada dalam masyarakat.

Zaman emas media cetak sepanjang tengahan abad kesembilan belas, sederetan teknologi zaman industrial telah menimbulkan ledakan media cetak. Tetapi pertumbuhannya mulai melambat pada tahun 1870-an, sebagian karena ongkos dan waktu yang diperlukan dalam merakit huruf-huruf secara manual membatasi jumlah halaman yang bisa diterbitkan secara ekonomis.

Sejak zaman Guttenberg, tukang-tukang cetak memerlukan sekitar satu menit untuk merangkai sebaris huruf. Sejak tahun 1840-an telah dilakukan upaya-upaya mengembangkan sebuah mesin yang bisa merangkai huruf lebih cepat, tetapi tidak ada yang bisa diterima. Terobosan kritis akhirnya terjadi pada tahun 1886 ketika Ottmar Mergenthaler, seorang imigran Jerman penduduk Baltimore, mendemonstrasikan penemuannya kepada koran New York Tribute, yaitu sebuah mesin yang bisa mengecor barisan-barisan huruf dengan urut sebagai unit-unit terpisah. Dengan memakai keyboard, seperti yang dimiliki mesin tik, dengan mengagumkan seorang operator bisa menghasilkan lima barisan huruf per menit, atau sekitar 6.000 huruf setiap jam.

Periode dari 1890 sampai 1920 sering disebut sebagai zaman emas media cetak. Perusahaan-perusahaan besar penerbitan berkembang dengan subur, dan banyak penerbit koran, misalnya William Randolf Hearst, Joseph Pulitizer, dan Lord Northcliffe, menjadi sama terkenalnya bagi pembaca mereka dengan para selebritis dan para pemimpin dunia yang diliput oleh koran-koran mereka. Kekuasaan dan pengaruh para penerbit waktu itu besar sekali sehingga mereka bisa mengangkat atau menjatuhkan tokoh-tokoh polotis dan mengerahkan dukungan rakyat untuk peperangan di luar negeri, serta dukungan untuk kepentingan pribadi mereka sendiri.

 

B. Zaman Tulisan

Setelah berlangsung ribuan tahun lamanya, sampailah manusia ke zaman tulisan (era ini muncul sekitar 5000 tahun SM). Artinya, komunikasi yang dilakukan tidak lagi mengandalkan lisan, tetapi tertulis. Meskipun ini bukan berarti mereka tidak menggunakan komunikasi lisan. Mereka tetap menggunakan bahasa lisan tetapi didukung pula dengan bahasa tulis. Era ini berlangsung lebih pendek dari era sebelumnya. Sejarah tulisan itu sendiri adalah salah satu proses dari pergantian dari gambaran piktigrafi ke sistem fonetis, dari penggunaan gambar ke penggunaan surat sederhana untuk menyatakan maksud yang lebih spesifik. Era ini juga bisa disebut proses awal usaha manusia dalam usahanya merekam informasi dengan melukiskan atau menggambarkan gagasannya. Manusia Cro Magnon menjadi titik awal usaha manusia merekam informasi dengan menggambarkan kembali kehidupan binatang dan adegan dalam memburu binatang pada batu. Itulah media pertama kali yang dikenal manusia (terutama sekali yang tertulis). Kita juga telah mengetahui bahwa orang-orang Cro Magnon memproduksi lukisan-lukisan bagus pada dinding gua. Jadi sejarah tulisan itu sendiri sejalan dengan usaha manusia untuk merekam informasi yang diperolehnya.

Standarisasi makna sebuah gambar menjadi tahap penting awal perkembangan tulisan. Di awal perkembangannya, dorongan penting bagi pengembangan munculnya sistem tulisan itu adalah bahwa orang-orang tersebut perlu untuk menyimpan informasi, terutama yang berhubungan dengan batas tanah dan kepemilikan yang lain. proses merekam dilakukan agar terjadi persamaan pemahaman antara satu orang dengan orang lain. tak terkecuali bagi mereka yang terlibat dalam proses perdagangan. Para pedagang ini sangat membutuhkan bagaimana caranya merekam pembelian dan penjualan. Disamping itu, ada banyak kebutuhan lain yang harus dipenuhi di lapangan pertanian dengan proses merekam informasi ini. Sekedar contoh adalah bagaimana mengetahui pasang surut sungai (sebagaimana kasus di sungai Nil) yang sangat berguna bagi perencanaan proses mencocok tanam di masa yang akan dating. Dengan kata lain, akan ditanami apa jika sungai dalam keadaan surut. Jangan heran mengapa era tulisan kemunculannya dimulai di wilayah Mesir dan Sumeria kuno. Salah satu alasannya, di tempat inilah praktek pertanian dengan berbagai perhitungan yang memanfaatkan tulisan dimulai.

Sebuah prasasti yang ditemukan menginformasikan bahwa sekitar tahun 4000 SM ditemukan kota kuno di Mesopotamia dan Mesir. Sebagian besar prasasti ini menggambarkan lukisan dengan kasar atau goresan pada dinding bangunan. Dari penemuan prasasti ini bisa dikemukakan bahwa sudah ada standarisasi makna pesan. Misalnya secara sederhana gambaran matahari bisa berarti siang hari, membungkuk dengan tanda panah berarti berburu, garis yang berombak berarti danau atau sungai. Semua ini menjadi symbol awal dari sejarah kemunculan era tulisan. Standarisasi yang terjadi diuda kota kuno tersebut menjadi salah satu solusi manusia dalam menyampaikan pesan. Pesan-pesan itu jelas bisa mengatasi jarak dan waktu. Dengan standarisasi seperti itu sangat mungkin untuk menyampaikan pesan-pesan dari orang yang berjauhan letaknya atau bahkan pesan dari orang yang sudah meninggal dunia.

Bangsa Mesir menjadi penemu pertama pengembangan sistem glyps atau karakter simbolis. Pada tahap pertama kali mereka mengukir di atas batu, tetapi di waktu yang lain mereka menggambar dan melukis. Glyps milik orang mesar ini bisa dijadikan alasan awal munculnya standarisasi makna. Sitem ini hampir sama seperti yang dipunyai bangsa China dewasa ini.

Pada komunitas yang lain, seperti orang Sumeria yang tinggal di sebelah utara teluk Persia, juga melakukan hal yang sam. Orang Sumeria telah mampu mrngembangkan bentuk tulisan lain. mereka mulai menuangkan gagasannya dengan menggambar pada seonggok tanah lunak. Kemudian, karena sulit menggambar secara detail dalam tanah tersebut, mereka mulai memikirkan bentuk lain yang bisa mewakili ide-ide mereka. Tidak lama setelah itu, mereka menggunakan pucuk tongkat yang diruncungkan ke dalam sebuah bentuk yang dipecah-pecah (tidak utuh), untuk membuat tanda di dalam tanah itu. Hasil dari bentuk yang terpecah-pecah itu sering disebut sebagai tulisan cuneiform (tulisan kuno berbentuk baji) saat ini.

Penggunaan karakter untuk mempresentasikan suku kata adalah tahap pertama di dalam pembangunan tulisan phonetic (sistem bunyi ujaran) dan sebuah pemecahan yang cukup besar di dalam komunikasi manusia. Secara khusus, itu jelas akan membuat tingkat melek huruf semakin menjadi kenyataan.

Tulisan alpabet muncul kurang dari seratus tahun kemudian dan berkembang secara cepat. Tulisan tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia kuno, dan baru beberapa abad kemudian sampai ke negeri Yunani. Lambat laun gagasan penggunaan symbol huruf konsonan dan vocal muncul, lalu kemudian suku kata. Waktu itu karakter yang dibutuhkan kurang lebih seratus. Suatu jumlah yang sangat besar tentunya. Padahal saat sekarang kita hanya mengenal duapuluh enam karakter huruf saja.

Orang-orang Mesir awal mulanya sangat menyukai karakter simbolis tertentu. Tetapi lambat-lun mereka menggunakan konsonan saja. Meskipun sulit dimengerti, tetapi menjadi perkembangan tersendiri dan berarti bagi proses pengenalan huruf-huruf. Misalnya, kita menulis “bldg” dan mengatakan “building”. Jika kita tidak melengkapinya dengan vocal jelas akan sulit bukan?. Bisa jadi “bldg” diartikan dengan “buldog” atau “bledeg”. Ini salah satu alas an bahwa bangsa Mesir membangun tulisan phonetic, tetapi itu bisa dikatakan sudah terlambat jika dibandingkan dengan perkembangan di negara lain.

Sesudah banyak variasi pembahasan sejarah perkembangan tulisan, satu kejadian yang tidak boleh kita tinggalkan adalah yang terjadi di Yunani. Bangsa ini telah secara efektif dan sederhana mempunyai sistem standarisasi huruf. Sekitar 500 SM mereka telah secara luas menggunakan alpabet. Akhirnya, alpabet orang-orang Yunani masuk ke Roma yang kemudian dibangun serta dimodifikasi. Dewasa ini, kita menggunakan huruf-huruf capital (majuscule) dan huruf kecil (minuscule) yang berasal dari Roma itu.

Lambat laun sistem tulisan alpabetis ini berkembang secara cepat dan lengkap. Tanpa bantuan sistem tulisan ini bisa jadi populasi penduduk yang buta huruf akan menjadi lebih besar. Perkembangan yang pentingpun terjadi pula dalam ilmu pengetahuan, lukisan, pemerintahan dan keagamaan. Tingkat melek huruf yang kian meningkat mau tidak mau menjadi salah satu faktor perkembangan ini.

Sekitar 2500 tahun (sebelum munculnya ajaran Kristen), orang Mesir menemukan metode pembuatan jenis kertas yang dapat tahan lama dari papyrus. Dibandingkan dengan batu, papyrus jelas lebih baik. Alasannya, lebih mudah menulis di papyirus dengan kuas dan tinta dari pada memahat di atas batu. Papyrus itu sendiri asal usulnya ditemukan di muara sungai Nil.

Hal yang paling penting dalam era ini adalah perubahan dari menulis di batu ke media portable dan industri ringan. Perkembangan ini akan membuka kemungkinan perubahan penting pula di dalam organisasi sosial dan budaya masyarakat. Pertumbuhan teknologi komunikasi didasarkan pada media industri ringan dan portable ini, ditambah lagi symbol sistem tulisan yang dapat diproduksi secara cepat.

Perkembangan ini memberikan pengaruh pada perubahan kelembagaan. Sekedar contoh, orang-orang Mesir di sekitar tahun 2000 SM menggunakan papyrus untuk mengirimkan pesan tertulis dan merekam berbagai macam informasi. Tingkat melek huruf yang baik menjadi keahlian yang sangat berharga. Bahkan menjadi pembuka jalan bagi kemakmuran masyarakatnya. Para ahli (yang bisa membaca dan memahami tulisan) menjadi kelas istimewa dan mempunyai hak khusus dibawah kontrol elit. Ini tak lain karena adanya perubahan besar dibidang politik dan institusi keagamaan yang terus berlangsung. Perpustakaanpun dibuka. Dokrin agama dan kitab injil ditulis. Sekolah-sekolah bermunculan untuk mencetak para ahli. Bahkan seni dan ilmu pengetahuan mulai berkembang pula. Kesuksesan ini membawa berkah pada perkembangan tulisan. Semua hal bisa ditulis. Observasi dalam ilmu pengetahuan bisa direkam. Gagasan yang dibuat direkam, dilipatgandakan dan digambar serta diwariskan pada generasi selanjutnya. Fenomena ini menjadi tahapan yang penting dalam proses menuju zaman digunakannya mesin cetak sebagai alat komunikasi.

Hubungan antara tulisan dan bahasa (lisan) dapat dilihat secara histories maupun dari sudut pertumbuhan bahasa perorangan. Jauh sebelum masa histori, yaitu sebelum adanya tulisan-tulisan yang dipakai untuk mencatat kejadian-kejadian, manusia telah lama berbahasa, dan bahasanya tentulah bahasa lisan. Segala peraturan di dalam masyarakat pada waktu itu hanyalah dicatat di dalam ingatan anggota-anggotanya, dan anggota yang tertua biasanya merupakan anggota terhormat, karena menjadi “penyimpanan“ aturan-aturan dan catatan-catatan yang penting, atau dengan kata lain merupakan arsip hidup daripada masyarakat itu. Kejadian-kejadian yang penting diteruskan secara lisan dari orangtua kepada anak dan dari anak kepada cucu, turun temurun. Demikian pula cerita-cerita anggitan (fiction) di dongengkan kepada anak cucu. Hal-hal semacam itu masih jelas dapat dilihati di dalalm kehidupan masyarakat kita di desa-desa, di mana hukum-hukum tak tertulis, adaptasi, dan kebiasaan merupakan ugeran-ugeran atau norma-norma kehidupan. Kalau kita hitung, orang-orang yang tidak mempergunakan tulisan jauh lebih banyak daripada yang mempergunakan di dunia ini.

Ditinjau dari pertumbahan bahasa perorangan, anak-anak memperlajari dan menguasai bahasa lisan terlebih dahulu, sebelum mereka dapat menuliskan bahasanya. Kepandaian menulis ini biasanya didahului oleh kecakapan membaca. Sekolah dan alat massa, yaitu Koran, mendesakkan pengaruh tulisan kepada kehidupan manusia ini. Biarpun yang kedua itu dikurangi oleh alat massa yang lain, yaitu radio dan televise, sekolah-dalam arti penambahan ilmu pengetahuan-bertambah banyak dan meninggikan pengaruh tulisan itu.

Betapa pun besarnya peranan tulisan itu di dalam kehidupan masyarakat modern ini, bahasa pertama-tama ialah lisan, sedangkan tulisan itu hanyalah alat pencatat yang tidak sempurna belaka. Ketidaksempurnaan tulisan itu ialah karena tidak semua aspek bahasa dapat dinyatakan dengan tulisan, biarpun ada tanda-tanda bacaan, yang bisa menggantikan beberapa dari aspek-aspek itu. Tekanan, nada dan lagu kalimat seringa tidak dinyatakan di dalam tulisan.

Kekutangn tulisan itu dapat pula dilihat pada tidak tetapnya tanda-tanda tulissan itu dipakai untuk menyatakan bunyi-bunyi atau urutan-urutan bunyi bahasa. Dalam hal ini bahasa Indonesia mempunyai system tulisan yang baik, artinya sedikit sekali ketidak tetapan tanda-tanda tulisan kita yang terdapat. Hal ini umpamanya pemakaian tanda (e), yang dipakai untuk menyatakan bunyi-bunyi seperti yang terdapat di dalam suku pertama kata-kata tempe, kesan, dan nenek. Karena hal ini, orang yang yang tidak tahu sebuah kata yang di tulis dengan tanda itu akan bingung menafsirkan nilai tanda (e) itu, umpamanya pada tulisan kata (esa).

System tulisan yang sangat buruk ialah system tulisan bahasa inggris. Tanda yang sama dipakai untuk menyatakan bermacam-macam bunyi, seperti (ough), masing-masing di dalam kata-kata tough, though , dan hiccough. Sebaliknya tanda yang berbeda-beda dipakai untuk menyatakan bunyi atau urutan bunyi yang sama, seperti [e], [ee], [ea], [ei], dan [eo] yang dipakai untuk mewkili bunyi [i;], yang terdapat masing – masing di dalam kata-kata regent, flee, flea, receove, people dan receipt. Karena lah ini, dikabarkan bahwa George Bernard Shaw, penulis terkenal, menuliskan di dalam surat wasiatnyq untuk memberikan hadiah kepada siapa saja yang menciptakan ejaan yang sangat mudah bagi bahasa inggris. Rupa-rupanya, waktu masih hidupnya penulis itu banyak mendapat kesukarn dari ejaan bahasa inggris yang sangat buruk itu.

Bahasa dan tulisan adalah dua macam sistem tanda yang jelas berbeda; yang kedua hanya ada melulu untuk keperluan pencatatan yang pertama. Obyek ilmu bahasa bukanlah tulisan dan bahasa, melainkan hanyalah bahasa, sedangkan tulisan bisa dipakai untuk membantunya. Tetapi bahasa lisan yang mempunyai sistem tulisan demikian erat hubungannya dengan tulisannya, sehingga yang kedua ini bserhasil mengaburkann peranannya yang pokok. Orang lebih memperhatikan tanda tulisan daripada bunyi itu sendiri. Kesalahan yang sama ialah, apabila seorang menyangka akan lebih banyak dapat mempelajari gambar seseorang daripada orangnya sendiri.

Tetapi bagaimana menerangkan pengaruh tulisan itu ?

1) bentuk grafis daripada kata-kata kelihatannya seperti sesuatu yang tetap stabil, lebih sesuai untuk memperhitungkan kesatuan bahasa sepanjang masa daripada bunyi. Biarpun tulisan itu menciptakan kesatuan yang fictive, jaminan yang dangkal dripada tulisan lebih mudah ditangkap daripada jaminan satu-satunya yaitu jaminan daripada bunyi.

2) kebanyakan orang lebih tertarik kepada kesan visual hanya karena kesan-kesan ini lebih tegas dan lebih lama daripada kesan-kesan pendengaran; itulah sebabnya mereka lebih suka kepada tulisan. Bentuk grafis berhasil mendesak diri kepada orang banyak dengan kerugian di pihak bunyi.

3) bahasa sastra (tulisan) menambah pentingnya tulisan. Bahasa sastra mempunyai kamusnya dan tatabahasanya; di sekolah anak-anak di ajarkan dari dan dengan memakai buku; bahasa rupanya dikuasai oleh system tanda; system tanda itu sendiri atas seperangkat kaidah-kaidah pemakaian yang tertulis, yaitu ejaan; dan karena inilah maka tulisan memperoleh kepentingan yang pertama. Hasilnya ialah bahwa orang-orang lupa bahwa mereka itu belajar berbicara terlebih dahulu sebelum menulis, dan urutan yang sebenarnya ini dibaliknya.

4) apabila terdapat ketidak-cocokan antara ujar dan tulisan, penyelesaiannya sukar bagi tiap orang, kecuali bagi ahli bahasa (linguist); dan karena ahlibahasa tidak diberikan suara untuk penyelesaian itu, bentuk tulisan itu hamper selalu akan dimenangkan, sebab tiap penyelesaian yang didukung oleh tulisan itu telah gampang; demikian tulisan memperoleh kepentingan yang tidak selayaknya

Ada empat macam sistem tulisan, yaitu:

1) di dalam sistem ideografi tiap ide dinyatakan oleh sebuah tanda yang tidak dihubungkan dengan bunyi atau urutan bunyi tanda ide itu. Tiap tanda mewakili seluruh kata dan karena itu mewakili ide yang dinyatakan oleh kata itu. Contoh ideografi ialah “ tulisan “ di Mesir Kuno, di Babilonia dan di Cina

2) ada persangkaan bahwa evolusi tulisan itu terjadi dari ideografi kepada piktografi. Hal ini dapat dibayangkan, karena “ tulisan “ ideografi itu kurang berkecil-kecil menunjukkan edenya atau konsepnya. Umpamanya saja ideografi “ gedung “ dapat pula ditafsirkan sebagi rumah , pondok , gubug , dan juga gedung yang besar, sehingga mungkin kurang tepatnya. Itulah sebabnya timbul pengkhususan, dan lahirlah “ tulisan “ piktograf. Sistem ini memberikan gambar-gambar yang konvensional sebagai tanda-tanda konsep, seperti gambar rumah, pondok , pohon cemara , pohon nyiur, dan lain sebagainya. Tulisan kebanyakan bangsa Indian(Amerika) adalah system piktograf seperti ini.

3) system suku kemudian lahir, yang kira-kira sebagai tingkatan berikut sistem piktografi. Sistsem suku ini tentulah baik bagi bahasa-bahasa yang suku-suku kata-katanya sederhana, seperti bahasa Jepang, umpamanya. Oleh sebab itu, bahasa jepang mempunyai sistem suku ini di samping masih juga mempergunakan system ideografi, yang dinamakan Kanji. Menurut keterangan, penulisan bahasa dengan “huruf” Kanji belum dapat lengkap, lebih-lebih untuk “menyatakan” akhiran-akhiran, kata-kata baru atau kata-kata pungutan, sedankan arena itu diperlukan tambahan. System suku yang dipakai bangsa Jepang ada dua macam, yaitu Hiragana dan Katakana. Mula-mula bangsa Tamil, Arab, dan Hebreu juga mempergunakan sistem suku. Hal ini memang masih tampak pada tulisan arab, umpamanya yang lebih mementingkan konsonan-konsonannya. Bahasa-bahasa Semit memang baik sekali mempunyai tulisan semacam itu, karena pada dasarnya akar-akar kata yang terdapat merupakan jajaran konsonan-konsonan belaka, sedangkan sonan-sonan itu dipakai untuk “ memberikan variasi “, artinya untuk mengadakan derivasi dan konjugasi.

4) system yang sangat praktis ialah system fonetik. Sistem ini mencoba menghasilkan ututan bunyai-bunyi yang merupakan kata. Sistem fonetik ini kadang-kadang bersifat suku, kadang-kadang bersifat abjad, yaitu didasarkan kepada unsur-unsur yang tak terbagikan di dalam ujar. Dikabarkan bahwa abjad fonetis yang mula-mula terdapat di Fonesia (Lebanon yang sekarang) kira-kira 1725 tahun SM. Abjad itu rupa-rupanya hanya sekali itu diciptakan, yang pokok-pokok pikirannya kemudian dibawa orang ke India dan ke Yunani. Yang pertama itu, setelah mengalami perubahan-perubahan menjadi abjad Devanagari itu. Di Yunani abjad itu mendapat tambahan tanda-tanda vocal, smuanya disesuaikan dengan keperluan penulisan bahasa Yunani Kuno. Dengan tersebarnya agama Kristen, tulisan itupun tersebar pula, mula-mula ke Romawi, dan kemudian ke Eropa sebelah utara-tengah, yang kemudian melahirkan abjad-abjad Armenia, Georgia dan Gotia. Di Romawi, abjad Latin menjadi terkenal dan kemudian tersebar bersama bahasa Latin sebagai bahasa ilmu pengetahuan di sebagian besar Eropa yang lain. Demikianlah sejarah “perantauan“ abjad fonetis dengan singkatnya. Sudah barang tentu tiap pengambilan oleh bangsa lain, abjad itu mengalami perubahan-perubahan, yang di sesuaikan dengan keperluan bangsa itu, sehingga sekarang ini terdapatlah bermacam-macam abjad.

Ejaan suatu bahasa yang sempurna ialah apabila tiap bunyi bahasa itu dinyatakan oleh sebuah tanda atau huruf. Ejaan semacam ini biasanya disesuaikan dengan bunyi – bunyi yang membedakan, yang disebut fonem, di dalam bahasa itu, sehingga ejaan yang sempurana itu bisa kita sebut ejaan fonemis. Seperti kami terangkan di atas, ejaan bahasa Indonesia belum fonemis, karena masih terdapat penandaan yang tidak mengikuti dasar yaitu satu tanda untuk satu fonem.

Penulisan huruf (u) dengan diagraf (oe) pada sementara nama orang sebenarnya menyalahi ejaan bahasa Belanda. Sudah banrang tentu tiap orang Indonesia mempunyai hak untuk menuliskan namanya semau hatinya, tetapi orang – orang yang menuliskan namanya dengan ejaan Belanda itu tidak luput dari purbasangka kebelanda-belandaan. Ada yang menerangkan, bahwa mereka itu dilahirkan sebelum kemerdekaan, artinya pada waktu penjajahan Belanda, jadi tidak mungkin namanya dituliskan dengan ejaan kita yang sekarang. Orang tentulah heran akan keterangan itu, karena jangankann ejaan nama tidak dapat diubah, sedangkan pemerintah colonial yang beratus tahun itu bisa diubah dalam beberapa waktu saja. Lepas dari soal-soal itu, jika penulisan tidak sesuai dengan ejaan kita sendiri, tidak dapat dielakkan orang atau lebih-lebih anak-anak kita membaca nama-nama yang ditulis seperti: Doel, Kaboel, Koeloer, dan sebagainya, sebagai dowel, kabowel, dan kowelower.

1. Sejarah Huruf

Sejarah huruf bermula di Mesir purba. Pada 2700 SM orang Mesir telah membangunkan set dari sesetengah 22 hieroglyph untuk mempersembahkan konsonan individu dari bahasa mereka, tambahan ke-23 yang seolah-olah telah dipersembahkan kata-initial atau vokal kata-akhir. Glyph ini telah digunakan sebagai panduan sebutan untuk lologram, untuk menulis infleksi tatabahasa, dan, kemudian, untuk transkripkan kata pinjaman dan nama asing. Walaupun huruf dibuat secara semulajadi, sistem ini tidak digunakan secara tulen untuk menulis huruf. Huruf skrip tulen pertama adalah dipikirkan telah dibangunkan sekitar 2000 SM untuk pekerja Semitik di Mesir tengah. Lebih lima abad kemudiannya ia sebar ke utara, dan semua huruf berikutnya sekeliling dunia telah samada berasal-usul darinya, atau telah diinspirasikan oleh salah satu dari keturunannya, dengan kemungkinan berkecuali dari huruf Meroitik, sebuah hieroglyph adaptasi abad ke-3 SM di Nubia ke selatan Mesir.

 

a. Huruf Semitik

Skrip Zaman Gangsa Pertengahan dari Mesir telah kelak untuk ditafsirkan. Bagaimanapun, mereka muncul untuk menjadi kurang sebahagian, dan mungkin dengan lengkap, berhuruf. Contoh tertua dijumpai sebagai graffiti dari Mesir tengah dan bertarikh sekitar 1800 SM. Skrip Semitik ini tidak membatasi sendiri kepada tanda konsonantal Mesir yang wujud, tetapi menggabungkan sebilangan dari hieroglyph Mesir yang lain, untuk sejumlah yang mungkin tiga-puluh, dan menggunakan nama Semitik untuk mereka. Jadi, sebagai contoh, hieroglyph per (”rumah” dalam Mesir) menjadi bayt (”rumah” dalam Semitik). Ia tidak jelas pada masa ini samada glyph ini, apabila digunakan untuk menulis bahasa Semitik, telah tulennya berhuruf secara semulajadi, mempersembahkan hanya konsonan pertama dari nama mereka menurut dasar akrofonik, atau samada mereka boleh juga persembahkan babak konsonan atau malahan juga perkataan seperti mana moyang mereka ada. Sebagai contoh, “rumah” glyph mungkin bangkit hanya untuk b (b sepertimana beyt “rumah”), atau mungkin ia bangkit untuk kedua-dua p dan babak pr dalam Mesir. Bagaimanapun, apabila suatu masa skrip telah diwarisi oleh orang Canaan, ia telah tulennya berhuruf, dan hieroglyph asalnya mempersembahkan “rumah” bangkit hanya untuk b.

b. Keturunan abjad Semitik

Huruf Proto-Canaan ini, seperti prototaip Mesirnya, hanya mempersembahkan konsonan, sebuah sistem dipanggil abjad. Darinya dapat dikesan hampir kesemua huruf yang pernah digunakan, kebanyakan dimana turunnya dari yang lebih muda versi skrip Phoenicia.

Abjad Aramia, dimana berkembang dari Phoenicia pada abad ke-7 SM sebagai skrip rasmi Empayar Parsi, muncul menjadi keturunan dari hampir kesemua huruf moden Asia:

1. Abjad Ibrani moden dimulakan sebagai Aramia pelbagaian. (Abjad Ibrani asal telah dikekalkan oleh Samaritan).

2. Abjad Arab diturunkan dari Aramia via huruf Nabatean dari apa yang dipanggil sekarang selatan Jordan.

3. Abjad Syriak digunakan selepas abad ke-3 CE dikembangkan, melalui Pahlavi dan Sogdian, kedalam huruf dari utara Asia, seperti Orkhon (kemungkinan), Uyghur, Mongolia, dan Manchu.

4. Huruf Georgia adalah dari tempat asal yang tidak pasti, tetapi muncul menjadi sebahagian keluarga Parsi-Aramia (atau mungkin jadi Greek).

5. Abjad Aramia juga sudah pastinya keturunan dari Huruf Brahmic dari India, dimana disebarkan ke Tibet, Asia Tenggara, dan Indonesia bersama agama Hindu dan Buddha. (China dan Jepun, semasa menyerap Buddhisme, telahpun literat dan mengekalkan skrip logographik dan ejaan sukuan.)

Huruf Hangul alphabet telah diciptakan di Korea dalam abad ke-15. Tradisi mengatakan bahawa ia merupakan ciptaan autonomi; bagaimanapun, penyelidikan terkini mencdangkan bahawa ia mungkin berdasarkan kepada separuh sedozen huruf yang diambil daripada skrip Tibet melalui imperial huruf Phagspa dari dinasti Yuan dari China. Memang unik di kalangan huruf-huruf dunia, lebihan daripada huruf-hurufnya adalah diambil daripada teras ini sebagai satu sistem featural .

Selain Aramia, huruf Phoenicia memberi kebangkitan kepada huruf Greek dan Berber. Dimana huruf untuk vokal boleh sebenarnya menghindarkan legilibiliti Mesir, Berber, atau Semitik, ketidakhadiran mereka adalah bermasalah untuk Greek, dimana mempunyai struktur morfologikal yang amat berlainan. Bagaimanapun, terdapat penyelesaian mudah. Kesemua nama huruf dari huruf Phoenicia bermula dengan konsonan, dan konsonan ini adalah apa yang mempersembahkan huruf. Bagaimanapun, beberapa dari mereka adalah agak lembut dan tidak dapat disebutkan oleh Greeks, dan demikian beberapa nama huruf datang menjadi disebut dengan vokal initial. Mengikut dasar akrofonik yakni adalah sistem basis, huruf ini sekarang berdiri ubtuk vokal itu. Contohnya, Greeks tidak mempunyai hential glotal atau h, jadi huruf Phoenicia ’alep dan he menjadi Greek alpha dan e (kemudian dinama semula epsilon), dan berdiri untuk vokal a dan e berbanding dari konsonan ʔ dan h. Laksana perkembangan bertuah ini hanya dibekalkan untuk enam dari dua-belas vokal Greek, Greeks akhirnya mencipta diagraf dan lain-lain pengubahsuaian, seperti ei, ou, dan (dimana menjadi omega), atau dalam sesetengah kes dengan mudah abaikan kekurangan, seperti dalam panjang a, i, u.

Greek dalam giliran adalah sumber untuk semua skrip moden Eropah. Huruf dialek Greek barat awal, dimana huruf eta ditinggalkan h, memberi kebangkitan kepada Italik Kuno dan huruf Roman. Dalam dialek Greek timur, dimana tidak mempunyai /h/, eta berdiri untuk vokal, dan ditinggalkan vokal dalam Greek moden dan semua lain-lain huruf dipemerolehan dari pelbagaian timur: Glagolitik, Cyrillic, Armenia, Gothik (dimana menggunakan kedua-dua huruf Greek dan Roman), dan mungkin jadi Georgia.

Walaupun deskripsi ini persembahkan evolusi skrip dalam fesyen linear, ini adalah diperkemudahkan. Sebagai contoh, huruf Manchu, diturunkan dari abjad Asia Barat, adalah juga dipengaruhi oleh hangul Korea, dimana samada bebas (pandangan tradisional) atau dipemerolehan dari abugida Asia Selatan. Georgia nyata dipemerolehan dari keluarga Aramia, tetapi kuat dipengaruhi dalam konsepsyennya oleh Greek. Huruf Greek, sendiri akhirnya adalah pemerolehan dari hieroglyph melalui yakni huruf Semitik pertama, kemudian mengambilguna tambahan separuh dozen hieroglyph demotik apabila ia digunakan untuk menulis Coptik Mesir. Kemudian terdapat Suku Kata Cree (sebuah abugida), dimana muncul menjadi fusyen dari Devanagari dan tangan pendek Pitman; terkemudiannya mungkin adalah ciptaan bebas, tetapi berkemungkinan mempunyai asalan akhir dalam skrip Latin kursif.

c. Nama Huruf dan Siri

Tidak diketahui berapa banyak huruf-huruf dalam huruf Proto-Sinaitik, atau apa susunan huruf mereka. Di kalangan warisnya, huruf Ugaritik mempunyai 27 konsonan, huruf Arab Selatan mempunyai 29, dan abjad Phoenicia telah dikurangkan kepada 22. Skrip-skrip ini disunsunan dalam dua susunan, satu arahan ABGDE dalam bahasa Phoenicia, dan satu arahan HMHLQ di selatan; Ugaritic menyimpan arahan-arahan tersebut. Kedua-dua jujukan telah dibuktikan secara tak disangka-sangka ia telah dibuktikan stabil di kalangan waris-waris skrip ini.

Nama huruf ini dibuktikan stabil dikalangan waris Phoenicia, termasuk Samaritan, Aramia, Syriak, Ibrani dan huruf Greek. Bagaimanapun, mereka telah terbiar dalam Arab dan Latin. Huruf siri terus lagi ayau kurang sempurna kedalam Latin, Armenia, Gothik, dan Cyrillic, tetapi telah terbiar dalam Brahmi, Runik, dan Arab, walaupun susunan abjad tradisional ditinggalkan atau telah diperkenalkan semula sebagai altenatif dalam terkemudiannya

22 konsonan akaun ini untuk fonologi Semitik Barat Laut. Dari pembinaan semula konsonan Proto-Semitik, tujuh yang hilang: iaitu frikatif interdental ḏ, ṯ, ṱ, lateral frikatif tanpa suara ś, ṣ́, frikatif uvular disuara g, dan perbezaan antara uvular dan frikatif tanpa suara farigil ḫ, ḥ, dalam Canaan bercantum dalam ḥet. Enam pelbagaian huruf ditambah dalam akaun huruf Arab untuk ini (kecuali untuk ś, dimana terus hidup sebagai fonim terpisah dalam Ge’ez ሰ): ḏ > ḏāl; ṯ > ṯā‘; ṱ > ḍād; g > gayn; ṣ́ > ẓā‘; ḫ > ḫā‘ (tetapi nota yakni pembinaan semula ini adalah dengan berat dimaklumkan oleh Arab; lihat Proto-Semitik dengan lebih terperinci).

d. Huruf Bebas Bergrafik

Huruf moden kebangsaan yang hanya yakni telah tidak secara grafiknya dijejak balik kepada huruf Canaaan adalah skrip Maldivia, dimana yang uniknya adalah, walaupun a jelasnya dimodelkan selepas Arab dan mungkin jadi lain-lain huruf yang wujud, ia dipemerolehan dari bentuk hurufnya dari angka. Huruf Osmanya difikirkan untuk Somali pada 1920an telah ko-rasmi di Somalia dengan huruf Latin hingga 1972, dan bentuk konsonannya kelihatan menjadi inovasi lengkap.

Dikalangan huruf yang tidak digunakan sebagai skrip kebangsaan kini, beberapa yang jelas bebas dalam bentuk huruf mereka. Huruf fonetik Zhuyin dipemerolehan dari watak Cina. Huruf Santali dari India timur kelihatan menjadi berdasarkan pada simbol tradisional seperti “bahaya” dan “tempat mesyuarat”, baik juga seperti piktograf yang dicipta oleh penciptanya. (Nama huruf Santali adalah yang berhubung kepada bunyi mereka persembahkan melalui dasar akrofonik, seperti dalam huruf asli, tetapi ia adalah konsonan akhir atau vikal dari nama yakni huruf ini mempersembahkan: le “pembengkakan” mempersembahkan e, manakala en “membanting bijirin” mempersembahkan n.)

Dalam dunia purba, Ogham terdiri dari tanda bersamaan, dan inskripsi monumental dari Empayar Parsi Kuno telah ditulis dalam skrip cuneiform berhuruf berkeperluan yang empunya bentuk huruf kelihatan telah dicipta untuk kadang-kadang. Bagaimanapun, manakala semua huruf dari sistem ini mungkin telah grafikalnya bebas dari lain-lain huruf di dunia, mereka telah difikirkan dari contoh mereka.

e. Huruf dalam Media Lain

Perubahan kepada medium penulisan baru kadangkala menyebabkan pemecahan dalam bentuk geografi, atau membuat perhubungan sukar untuk dijejak. Ia tidak segera ketara yakni cuneiform huruf Ugaritik dipemerolehan dari abjad Semitik prototipikal, sebagai contoh, walaupun ia kelihatan menjadi kes. Dan manakala huruf manual adalah penerusan terus dari huruf tempatan bertulis (kedua-dua dua-tangan British dan huruf Perancis/satu-tangan Amerika mengekalkan bentuk huruf Latin. seperti huruf manual India buat Devanagari, dan Korea buat Hangul), Braille, semafor, bendera isyarat maritim, dan kod Morse adalah perlunya bentuk geografi rambang. Bentuk Braille Inggeris dan huruf semafor, sebagai contoh, adalah dipemerolehan dari susunan berhuruf dari huruf Latin, tetapi bukan dari bentuk grafik huruf mereka sendiri. Tangan pendek moden juga kelihatan menjadi geografinya tidak berhubungkait. Jika ia dipemerolehan dari huruf Latin, perhubungan telah hilang dalam sejarah.

 

2. Sejarah Perkembangan Tulisan

Sistem tulisan yang dikenal paling dahulu, mula-mula bergambar, tampaknya adalah sistem tulisan bangsa Sumeria (sekitar 3000 SM, di Mesopotamia). Beberapa pakar menunjukkan sebuah hubungan derivasi antara sistem tulisan ini dengan sistem tulisan Mesir Kuno dan bahkan sistem tulisan Cina. Meskipun berhubungan dengan sistem tulisan Cina tampaknya tidak mungkin ada.Tulisan Sumeria mula-mula digunakan hanya dalam konteks terbatas untuk keperluan administratif, ketimbang untuk komunikasi umum dan sastra. Tulisan ini kemudian diperluas rentangan dan pemakaiannya.

Dalam makalah ini, kita mengawali sejarah kajian linguistik dengan hasil-hasil yang telah dicapai bangsa Yunani kuno. Hal ini dikarenakan alasan yang sederhana yaitu bahwa para pemikir Yunani tentang bahasa, dan tentang masalah-masalah yang ditimbulkan penelitian linguistik, mengawali di benua Eropa kaji-kajian yang dapat kita sebut ilmu linguistik dalam pengertian yang paling luas, dan bahwa ilmu ini merupakan suatu fokus minat yang berkelanjutan dari zaman Yunani kuno hingga ke zaman sekarang ini dalam suatu urutan kepakaran yang tidak ada putus-putusnya.

Tulisan yang semula dalam huruf bergambar atau tulisan yang diciptakan orang Mesir dan di tempat-tempat lainnya, secara terpisah, seperti di Cina dan Amerika Tengah. Tulisan silabik yang kemudian menjadi sumber abjad Yunani barangkali diciptakan dengan meniru tulisan Mesir, dan secara bertahap diubah.

Perkembangan apa pun dari suatu sistem tulisan yang memungkinkan pencatatan secara visual, suatu bahasa sebagaimana bahasa itu diucapkan dan dipahami merupakan suatu hasil karya besar. Biasanya selama beberapa generasi dalam analisis linguistik yang secara khusus diterapkan atau diarahkan kepada kebutuhan-kebutuhan praktis. Akan tetapi, terlepas dari penemuan tulisan sebelumnya dan berlanjut dari tulisan itu, kita mempunyai contoh-contoh naskah Gramatiks Kuno dari Babilonia, yang berasal dari kurang lebih 1600 SM dan sesudahnya yang ditulis pada tablet dengan tulisan kuno berbentuk baji (cuneiformscript) yang menuliskan dalam bentuk contoh tasrif infleksi-infleksi kata ganti, kata kerja dan jenis kata lain dari bahasa Sumeria dengan padanannya dalam bahasa Akkadi (bahasa Babilonia).Tujuan karya ini adalah untuk pelestarian pengetahuan tentang bahasa Sumeria suatu bahasa yang telah menjadi bahasa mati, namun banyak menuliskan kesusastraan Babilonia masa lalu.

Namun pada zaman Yunani kunolah linguistik teoritik memiliki asal Eropanya, sebagian karena persyaratan-persyaratan praktis. Namun dari zaman itu pulalah kita memiliki catatan-catatan pertama kita mengenal perkiraan-perkiraan linguistik, namun jauh melampaui perkiraan-perkiraan itu, kita memiliki linguistik rakyat dan penerapan-penerapan praktis.

Dalam perkembangan sejarahnya ia telah berhubungan dengan kontribusi-kontribusi utama kelompok pakar-pakar linguistik.Bangsa Yunani klasik telah sadar akan adanya bangsa-bangsa yang memakai bahasa lain, bukan bahasa Yunani dan pembagian dialek di antara penduduk yang berbahasa Yunani. Herodotus dan lain-lainnya mengutip dan membahas kata-kata asing. Plato mengakui dalam percakapan di Cratylus kemungkinan bahwa sebagian dari kosakata Yunani berasal dari bahasa asing dan kita mengetahui adanya penutur dwibahasa dan juru bahasa profesional.

Pada bagian awal tahun 1000 SM, sistem abjad untuk penulisan untuk penulisan bahasa Yunani diupayakan dan ini berfungsi sebagai dasar dari abjad Yunani Attic klasik (dari Atena) dan dialek-dialek sastra lainnya dan bersama-sama dengan abjad Romawi yang berasal dari abjad Yunani versi Yunani bagian barat, menjadi asal mula dari sistem tulisan yang tersebut ke seluruh dunia dewasa ini.Kini kita tahu bahwa tulisan dikembangkan di Yunani dalam dua periode yang terpisah. Selama milenium kedua bangsa Mycenea menggunakan sistem tulisan silabik yang mencakup beberapa logogram (lambang untuk tiap kata terpisah). Ini juga dikenal sebagai linear B, dan selama jangka waktu yang lama tetap tidak bisa dibaca. Seperti tulisan Sumeria awal, sistem ini tampaknya sebagian besar terbatas penggunaannya di dalam bidang administrasi dan akuntansi. Tafsiran dari tulisan ini dan penentuan yang hampir pasti dari bahasa yang direkamnya sebagai variasi permulaan bahasa Yunani merupakan salah satu peristiwa utama tentang pengetahuan klasik belakangan ini dengan pengaruh yang sangat dalam terhadap pengetahuan kata tentang kebahasaan dan kesejarahan Yunani kuno.

Namun, selama zaman gelap yang mengikuti invasi bangsa Dorian, pengetahuan tulis-menulis lenyap, dan abjad Yunani sebagai yang kita ketahui sekarang ini dikembangkan secara bebas dari suatu penyesuaian tulisan bangsa Phoenicia. Sistem Phoenicia sebagian besar berupa seperangkat tanda-tanda konsonan, sedangkan bunyi vokal pada umumnya diberikan oleh pembaca tulisan itu berdasarkan perasaannya tentang apa yang ditulis. Jadi (alif),yang melambangkan (a) dalam bahasa Phoenicia menjadi huruf A (alfa) Yunani yang melambangkan fonem vokal a. Peristiwa sejarah yang sangat berarti ini dicatat secara mistik. Cadmus dikatakan telah memperkenalkan tulisan dari luar Yunani, suatu pengakuan bahwa asal mula abjad Yunani secara historis adalah dari luar Yunani.

Perkembangan dan kegunaan tulisan adalah bentuk pertama dari pengetahuan tentang linguistik di Yunani dibuktikan oleh sejarah kata grammatikos sampai dan termasuk zaman Plato dan Aristoteles kata itu hanya berarti seseorang yang memahami pemakaian huruf, grammata dan dapat membaca dan menulis dan techne grammatike adalah keterampilan membaca dan menulis.

Pada zaman klasik kesusasteraan Yunani dan zaman setelah itu kita dapat mengikuti kemajuan spekulasi linguistik yang sadar, ketika manusia merenungkan tentang hakikat dan penggunan bahasa mereka.Istilah grammatike pada mulanya berarti tidak lebih daripada pemahaman huruf dan banyak dari apa yang dianggap orang sekarang ini sebagai pengkajian ilmu linguistik zaman dahulu yang bisa digolongkan di bawah judul philosophia.

Aristoteles (384-322 SM) kenal karya-karya Plato, dan menggunakan karya-karya tersebut sebagai dasar bagi pengembangan pemikirannya sendiri. Zaman Aristoteles menandai akhir dari suatu era dalam sejarah Yunani. Di antara aliran-aliran filsafat yang berkembang di Atena setelah Aristoteles yang paling penting di dalam sejarah linguistik adalah aliran Stoik.Aliran Stoik didirikan oleh zeno (kira-kira 300 SM), menggarap sejumlah bidang yang telah digarap Aristoteles, aakn tetapi dalam segi-segi tertentu dalam bidang filsafat dan retorika mereka mengembangkan metode dan ajaran mereka sendiri.

Aliran Stoik didirikan pada zaman Hellenistik. Di bawah pengaruh aliran Stoik,linguistik mencaapi suatu temapt dengan batasan yang jelas di dalam tautan filsafat secara keseluruhan dan masalah-masalah linguistik secara nyata dibahas dalam karya-karya terpisah yang diperuntukkan bagi segi-segi bahasa dan dibahas secaar bersistem. Pada zaman Hellenistik dihasilkan sejumlah takarir dari dialek-dialek non-Attik yang berbeda-beda. Suatu bukti dari kajian sistematis tentang perbedaan-perbedaan antara berbagai ragam bahasa Yunani yang telah memilikii sistem tulisan yang representatif.

Tanda-tanda aksen tulisan Yunani berasal dari zaman Hellenistik yang dipakai sebagai petunjuk bagi pengucapan kata-kata secara benar, dan deskripsi unsur-unsur aksen dan jeda yang dilambangkan secara grafis dengan batas kata dan tanda-tanda baca, di bawah judul umum prosodiai. Prosodiai merupakan bagian dari gerakan yang mendukung ketepatan, atau Hellenisme,atau Hellenismos.

Bangsa Romawi telah lama menikmati kontak dengan budaya material dan gagasan intelektual Yunani, melalui tempat-tempat bermukim bangsa Yunani di daerah Italia bagian selatan; dan mereka telah belajar menuls dari orang-orang Yunani barat. Dari segi linguistik hal ini tercermin dalam bahasa-bahasa yang dipakai secara umum di provinsi-provinsi Romawi bagian timur dan barat. Di belahan barat kerajaan ini tidak memiliki hubungan dengan suatu peradaban yang diakui. Bahasa Latin menjadi bahasa pemerintahan, perdagangan, hukum, pendidikan dan kemajuan sosial. Namun, di wilayah timur, yang sebagian besar telah berada di bawah pemerintahan Yunani sejak zaman Hellenistik, bahasa Yunani mempertahankan posisi yang telah dicapainya. Para pejabat Romai sering belajar dan menggunakan bahasa Yunani dalam melaksanakan tugas-tugas mereka, dan kesusasteraan serta filsafat Yunani sangat dihormati orang. Pada akhirnya pembagian bahasa ini diakui secara politis dalam pemisahan kekaisaran Romawi ke dalam kerajaan Barat dan kerajaan Timur dan Konstatinopel (Byzantiium) dijadikan ibukota Kerajaan Timur yang bertahan sebagai ibukota Domini Byzantiium meskipun wilayahnya menjadi kecil, sampai pada zaman Renaisans barat.

Begitu besar prestise tulisan Yunani, sehingga puisi bahasa Latin meninggalkan meter-meter aslinya dan diciptakan selama zaman klasik dan sesudahnya dalam meter-meter yang dipelajari dari pujangga-pujangga Yunani. Penyesuaian meter Yunani pada pada meter-meter Latin ini mencapai titik puncaknya dalam Hexameter Vergil yang hebat dan Elegiacs Ovid yang disempurnakan (elegiacs = puisi yang mengungkapkan kesedihan dan ratapan, catatan penerjemah).

Pemikir-pemikir Yunani dan cendekiawan Yunani pada umumnya memasuki dunia Romawi dalam jumlah yang semakin besar pada pada zaman Varro(116-27 SM), baik pendapat aliran Aleksandria dan Stoik tentang bahasa dikenal dan dibahas.Varro mengemukakan peandangannya tentang bahasa yang menurutnya berkembang dari seperangkat terbatas himpunan kata-kata asli, yang dikenakan pada benda-benda untuk mengacu pada benda tersebut dan menjadi sumber yang produktif dari sejumlah besar kata-kata lain melalui perubahan-perubahan pada huruf, atau pada bentuk fonetis (dua modus deskripsi ini mengacu pada hal yang sama baginya). Perubahan huruf ini terjadi dalam masa bertahun-tahun, dan bentuk yang lebih dahulu , seperti dullum untuk bellum yang klasik, yang bermakna ‘perang’ merupakan contoh dari perubahan-perubahan ini. Pada waktu yang sama, makna berubah seperti makna hostis yang dulu berarti ‘orang asing’, namun pada zaman Varro dan di dalam bahasa Latin klasik dan kemudian yang lebih mutakhir, maknanya adalah ‘musuh’.Pernyataan -pernyataan etimologis ini didukung oleh pakar-pakar modern, akan tetapi banyak di antara etimologi ini yang menempuh jalan yang saam dan berfungsi untuk mencapai tujuan-tujuan yang sama, seperti kata Yuanni dalam bidang ini.Anas,’itik,dari nare,’berenang ‘ vitis, ‘anggur’ dari vis, ‘kekuatan’, dan cura, perhatian dari cor urere, ‘membakar hati’, adalah khas baik dari karyanya maupun kaji-kajian etimologis Latin pada umumnya.

Ketidaktahuan mendasar tentang sejarah linguistik terlihat dalam-acuan-acuan Varro kepada bahasa Yunani.Kesamaan-kesamaan dalam bentuk kata yang memiliki arti yang sepadan dalam bahasa Latin dan Yunani telah jelasDua contoh kiranya menjadi iliustrasi yaitu,kata Yunani phero dan kata fero, Latin ‘saya membawa’ , keduanya merupakan refleksi dari kata kerja Indo-Eropa yang direkonstruksi bher-.Kata Latin feretrum, ‘bir’ adalah kaat serapan langsung kata Yunani pheretron.

Di dalam bahasa Latin, equitatus, ‘pasukan berkuda’, dan eques (kata dasar equit-) ‘ penunggang kuda’, dapat diasosiasikan dengan dan diacu kembali secara deskriptif kepada equus, ‘kuda’, akan tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut yang mungkin diberikan dengan cara yang sama terhadap kata equus. Di dalam bahasa Latin kata itu adalah kata asli dan penjelasan tentang bentuk dan maknanya melibatkan penelitian diakronik dalam tahap-tahap yang lebih awal dari keluarga bahasa Indo-Eropa dan bentuk-bentuk berkaitan dalam bahasa-bahasa Latin.

Dalam bidang keragaman bentuk kata dari akar tunggal, baik derivasional maupun infleksional, Varro mengemukakan argumen-argumen mendukung dan menolak analogi dan anomali, dengan memberikan contoh-contoh keteraturan dan ketidakteraturan dalam bahasa Latin.Dengan cukup logis dia menyimpulkan bahwa kedua asas itu harus diakui dan diterima dalam pembentukan kata suatu bahsa dan dalam makna-makna yang berhubungan dengannya.Jadi, equus, ‘kuda’ dan equa, ‘kuda betina’, memiliki bentuk yang berbeda untuk binatang jantan dan betina karena perbedaan kelamin penting bagi para penutur itu. Akan tetapi corvus, ‘nama sejenis burung’, tidak memiliki karena perbedaan antara jantan dan betina dalam hal ini tidak penting bagi manusia. Dulu juga berlaku bagi merpati, namun sejak burung dara dipelihara , bentuk analogik yang berbeda untuk jantan, yaitu Colombus diciptakan.

Secara kultural kita melihat, semenatra tahun-tahun berlalu dari Zaman Perak (akhir abad ke-1 Masehi), menurunnya nilai-nilai sastra , habisnya tema lama secara bertahap, dan hilangnya gairah dalam mengembangkan tema-tema baru.Kecuali dalam masyarakat Kristen yang sedang menanjak, ilmu pengetahuan mengalami kemunduran, dalam bentuk karya ilmiah yang semata-mata mengikuti standar yang telah diakui di masa lalu.Di Latin barat, seperti Yuanni timur, ini merupakan zaman komentar, ringkasan dan kamus.Tatabahasawan Latin yang mempunyai pandangan yang serupa dengan pandangan pakar-pakar Yunani Aleksandria, seperti mereka ini, mengarahkan perhatian mereka kepada bahasa sastra klasik dan tatabahasa berperan sebagai pengantar dan dasar utnuk mempelajarinya.Perubahan-perubahan yang terjadi dalam bahasa Latin lisan dan bahasa Latin tulis yang nonsastra di sekeliling mereka kurang membangkitkan minat mereka; karya-karya mereka secara bebas dijelaskan dengan teks yang kesemuanya berasal dari penulis prosa dan puisi Latin klasik dan pendahulu mereka, yakni Plautus dan Terence.

Betapa berbeda jadinya bahasa Latin tulis yang dianggap baik dapat dilihat dengan membandingkan tatabahasa dan gaya terjemahan injil(Vulgate) pada abad ke-4 oleh St.Jerome, di dalmnya beebrapa unsur tatabahasa bahasa Roman diantisipasi, dan bahasa Latin dilestarikan dan diperikan oleh para tatabahasawan, salah seorang diantaranya, Donatus, tatabahasawan terkenal, setelah Priscian, sebenarnya adalah guru dari St.Jerome.Meskipun dia banyak memakai gagasan-gagasan pendahulunya, tujuannya, seperti tujuan mereka, adalah mengalihkan sebisa-bisanya sistem tatabahasa dari techne dan karya-karya Apollinus ke dalam bahasa Latin.

a. Zaman Pertengahan

Zaman pertengahan adalah istilah yang digunakan untuk menamai dan menandai periode sejarah Eropa antara hancurnya kekaisaran Romawi sebagai suatu daerah kesatuan peradaban dan administratisi dengan urutan peristiwa dan perubahan kultural yang dikenal sebagai Renaisans dan pada umumnya dianggap sebagai fase permulaan dunia modern.

Orang-orang Latin dari provinsi barat dapat bertahan melawan penjajah Germanik, yang bahasanya hanya tersisa beberapa unsur-unsur leksikal dalam bahasa-bahasa Roman modern yang merupakan turunan dari bahasa Latin lisan dari wilayah-wilayah tersebut.

Di barat, kebanyakan sastra klasik telah hilang sama sekali; selama beberapa abad kajian dan bahkan pengetahuan bahasa Yunani menjadi sangat berkurang dan dalam Abad Gelap kebanyakan filsafat Yunani yang ada terdapat dalam bentuk terjemahan dalam bahasa Latin dari karya-karya terpilih.Sumbangan yang besar bagi pelestarian kesinambungan pendidikan dan ilmu pengetahuan diberikan oleh biara dan tempat para rahib, gereja dan kemudian universitas, yang didirikan selama awal zaman pertengahan.Dalam lembaga-lembaga yang dikuasai oleh pejabat gereja Kristen, literatur politheistik, yaitu literatur klasik zaman kuno, cenderung dicurigai, dan terdapat banyak contoh kebencian yang disengaja ditujukan kepada penulis-penulis ini dan bahasa yang digunakan dalam tulisn-tulisan itu, yang berbeda, dari bahasa Latin kemudian yang hampir mendekati ragam sehari-hari, bahasa Latin Vulgate (kitab Injil berbahasa Latin yang dipakai Gereja Katolik (catatan edita) dan yang dipakai di lingkungan gereja.Bahasa Latin tetap merupakan bahasa ilmu pengetahuan, dan wewenangnya meningkat karena bahasa itu dipakai sebagai bahasa literatur keagamaan dan untuk pelayanan dan administrasi Gereja (Roma) barat.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan linguistik, bagian kedua abad pertengahan dari sekitar 1100 hingga akhir zaman itu, adalah lebih penting.Ini merupakan zaman filsafat Skolastik yang memberikan tempat penting kepada kajian linguistik dan yang ditandai dengan banyaknya jumlah karya linguistik yang dihasilkan orang.Zaman ini juga ditandai dengan perkembangan arsitektur dan sastra abad pertengahan (yang dikenal juga sebagai ‘Gothik’) dan pendirian beberapa universitas yang paling awal di Eropa.Hingga zaman ini karya linguistik hampir keseluruhan bertujuan pedagogis dan sebagian besar bersifat derivatif dalam doktrinnya, karena diterapkan dalam pengajaran bahasa Latin menurut himpunan bahan Donatus dan priscian.Karya-karya yang bersifat didaktis murni semacam itu dilakukan orang di sepanjang periode Skolastik.Beberapa buku petunjuk tatabahasa Latin diterbitkan dalam bentuk syair, sebagai cara membantu siswa untuk mengingatnya.Salah satu dari karya ini adalah Doctrinale dari Aleksandria asal Villedien,yang ditulis di sekitar tahun 1200, yang terdiri dari 2645 baris dengan sajak bersusun heksameter yang kasar.

Deskripsi linguistik bahasa-bahasa lain muncul selama zaman ini, yang berfungsi untuk memenuhi keperluan menulis dan membaca sastra populer, dan standar-standar pendidikan. Kemasyhuran sastra Provencal Troubadour menumbuhkan suatu kebutuhan akan informasi gramatikal tentang bahasa Provencal, dan dari sekitar tahun 1240 beberapa deskripsi tatabahasa telah ditulis orang.

Salah satu dari contoh-contoh yang menonjol dari karya ptraktis di masa ini adalah First Grammatical treatis, oleh seorang pakarIng menakjubkan dan kebebasan berpikir.Dia terutama tertarik dengan perbaikan ejaan, dengan penyempurnaan pemakaian abjad yang diturunkan dari abjad Latin untuk menulis bahasa Islandia pada zamannya.Di samping ini, pengamatannya mengenai pelafalan bahasa, yang secara tersendiri merupakan bukti yang berharga untuk tahap perkembangan bahasa Islandia di masa ini,menunjukkan bahwa dia adalah seorang pakar fonetik yang tidak tertandingi oleh pakar-pakar fonetik pada zamannya.

Tatabahasa spekulatif merupakan suatu tahap yang jelas dan berbeda dalam teori linguistik dan penulis-penulisnya yang berbeda, atau Modistae, sebagaimana kadang-kadang mereka dinamai orang, dengan acuan kepada istilah pokok modi significandi menunjukkan secara substansial pandangan teoretik yang sama dan memiliki konsepsi ilmu pengetahuan linguistik, yang sama, tujuan-tujuannya dan tempat yang sama di antara kajian intelektual lainnya.Tatabahasa spekulatif merupakan hasil dari pemaduan deskripsi gramatikal Latin sebagaimana dirumuskan oleh Priscian dan Donatus ke dalam sistem filsafat skolastik.Kebangkitan dan pertumbuhan filsafat skolastik diakibatkan oleh sejumlah faktor sejarah, di samping adanya manusia-manusia yang berkemampuan intelektuald dan pengabdian yang tinggi.Di samping itu, pengetahuan mengenai bahasa Yunani, tentang penulis-penulis Yunani dan yang paling penting lagi tentang filsafat Yunani sebagaimana yang dirintis oleh Aristoteles menjadi semakin banyak tersedia bagi barat di sekitar abad ke-12.Dari Spanyol cukup banyak tulisan filsafat Yunani yang diperkenalkan kembali ke daerah-daerah lain di Eropa Barat melalui terjemahan bahasa Arabdan bahasa Ibrani dan melalui komentar-komentar dalam bahasa-bahasa tersebut.Filsuf Kristen terdahulu telah lebih memberi tekanan kepada Plato dan pemikiran Plato daripada kepada Aristoteles, sebagian karena teori Plato lebih mudah diperoleh melalui tulisan-tulisan neoPlatonis abad ke-3 dan setelah itu.Dari abad ke-12 dan seterusnya, mereka memberi dorongan ke arah tatabahasa spekulatif dan teori bahasa yang diciptakan dalam kerangka filsafat zaman itu.Juga terdapat suatu peningkatan mencolok dalam jumlah penelitian dan kajian tatabahas yang dilakukan.

 

b. Zaman Renaissans dan Sesudahnya

Renaissans secara tradisi dianggap sebagai saat lahirnya dunia modern dan sejarah modern.bagian terpenting dari ilmu pengetahuan Renaissans adalah tuntasnya kebangkitan pengkajian terhadap bahasa Latin klasik dan bahasa Yunani klasik, yang telah dimulai Italia, bukan untuk tujuan komunikasi internasional dan komunikasi ilmiah, dan untuk dipakai dalam berfilsafat seperti halnya bahasa Latin di abad pertengahan; akan tetapi sebagai sarana sastra yang menarik dan sebagai bahasa zaman lampau dari sebuah peradaban besar, terpisah dari dan ada sebelum Gereja.Zaman ini dapat kita tandai dengan dimulainya pengkajian serius terhadap sastra klasik dan sejarah Yunani kuno dan Romawi kuno (literae humaniores) sebagai komponen yang penting, sekurang-kurangnya hingga akhir-akhir ini, dari pendidikan di sekolah-sekolah dan di universitas di Eropa.Dan pada akhir abad ke-14 Manuel Chrysoloras, yang diundang dari Konstatinopel sebagai guru bahasa Yunani, menulis tatabahasa modern pertama bahasa itu di barat.

Pengkajian tatabahasa Yunani dan bahasa Latin terus dilanjutkan dan perbaikan dan perkembangan lebih lanjut yang meneruskannya dari masa pertengahan kepada praktik pengajaran modern dalam bahasa-bahasa klasik merupakan objek yang cocok untuk studi spesialis; akan tetapi hal ini tidak lagi mewakili kuliah sejarah linguistik secara keseluruhan.Pada akhir abad pertengahan bahasa Arab dan bahasa Ibrani telah dipelajari di Eropa dan di Universitas Paris pada abad ke-14 kedua bahasa itu secara resmi diakui.

Pengetahuan akan bahasa Yunani,Latin dan Ibrani ini merupakan kebanggaan bagi ‘homo brilinguis’ pada zaman Renaissans.Sejumlah tatabahasa Ibrani ditulis di Eropa, terutama dalam De rudimentis Hebraicis karya Reuchlin.

Mulai awal abad pertengahan, ilmu pengetahuan linguistik juga berkembang di bawah pengaruh karya linguistik Arab.Ini sebagai akibat baik dari kemiripan struktural kedua bahasa Semit maupun kekuasaan politik bangsa Arab sesudah ekspansi pengaruh Islam ke Timur Dekat, Afrika Utara, dan Spanyol.Menjelang akhir abad ke-12 tatabahasa bahasa Ibrani masih dalam penulisan yang dilakukan oleh orang -orang Yahudi yang tinggal di Spanyol dan di tempat lainnya sebagai teman-teman seagamanya Kajian linguistik Arab,seprti kajian bahasa Ibrani, memperoleh inspirasi dari sastra suci, seperti kitab suci Al Quran bagi orang Arab.Ilmu pengetahua linguistik Arab mencapai puncaknya pada akhir abad ke-8 dalam bentuk taat baahsa Sibawaih dari Basra, yang sebenarnya bukan orang Arab tetapi orang persia, yang membuktkan adanya dorongan terus menerus bagi peelitian linguistik dalam hubungannya dalam hubungannya antara bahasa dan budaya.Di samping itu, Sibawaih menghasilkan deskripsi fonetik yang orisnal untuk penulisan bahasa Arab.

Selama abad pertengahan tatabahasa bahasa asli Provencal dan Katalan telah ditulis orang dan arti historis dan manfaat metodologis tatabahasa ini baru sekarang mendapat apresiasi yang tepat.Dante,yang bagi sejumlah orang dianggap sebagai nabi telah menghimbau orang-orang untuk mempelajari dialek-dialek bahasa Roman daripada bahasa Latin tulis, dan melalui tulisan-tulisannya dalm bahasa asli, dia telah banyak berbuat dalam memantapkan suatu ragam bahasa Italia lisan sebagai bahasa tulis dan kemudian sebagai bahasa resmi di semenanjung itu.

Tatabahasa asli pertama bahasa Spanyol dan Italia muncul pada abad ke-15, dan taatbahasa bahasa asli Prancis pertama awal abad ke-16.Dalam periode yang sama tatabahasa diterbitkan untuk bahasa Polandia dan bahasa Gereja Tua Slavonik.Tatabahasa bahasa Inggris pertama yang dicetak terbit paad tahun 1568.Keadaan di sekitar penulisan dan penelitian tatabahasa ini berbeda dengan keadaan umum pada zaman sebelumnya.Penemuan mesin cetak menyebarluaskan pengetahuan dengan kecepata yang sangat tinggi, dan bangkitnya pedagang kelas menengah menyebarkan pendidikan tulis-baca pada daur-daur masyarakat yang lebih luas dan mendorong orang mempelajari bahasa asing modern.Tambahan pula keekonomian cetak-mencetak menyebabkan diakuinya satu raga bahasa tunggal (‘bahasa baku’) dan satu ejaa yang seragam adalah suatu persyaratan yang mendesak.Penerbitan kamus, baik ekabahasamaupun dwibahasa, di samping penerbitan tatabahasa, telah terus menerus berlangsung sejak zaman itu.

Secara keseluruhan bahasa tulis kelompok masyarakat terpelajar dijadikan pusat studi tatabahasa.Namun bahasa-bahasa tulis tersebut juga dipakai dalam berbicara dan ditulis untuk dilafalkan.Tatbahasa baru dari bahasa-bahasa modern memberikan perhatian besar kepada hubungan antara ejaan, yang sekarang dibakukan dalam bentuk cetak dan lafal.

Di antara tatabahasawan Renaissans dikenal nama Pierre Ramee(Petrus Ramus,lahir sekitar 1515) yang dijuluki perintis strukturalisme modern.Pembaharuan kependidikannya lebih luas pengaruhnya di Eropa Utara, dan dengan penolakannya yang terkenal terhadap Aristoteles dalam karya untuk memperoleh gelar sarjananya bahwa segala yang dikatakan Aristoteles adalah keliru, menurutnya.Ramus menulis tatabahasa Yunani, Latin dan Prancis dan meletakkan teori tatabahasa dalam Scholae grammaticae-nya.Daripada mengikuti argumen-argumen filosofis tentang tatabahasa, dia menekankan kebutuhan dalam bahasa-bahasa kuno untuk mengikuti pemakaian yang dapat diamati oleh penulis-penulis klasik dan dalam bahasa-bahasa modern pemakaian yang dapat diamati dari penutur asli.

Cina telah mengembangkan tradisi asli mengenai studi-studi linguistik menjelang waktu ilmuwan-ilmuwan barat membuat hubungan dengan negara dan bahasa-bahasa di negara trsebut.Sistem penulisan karakter yang secara tepat didefinisikan sebagai lambang grafis masing-masing morfem sebagai simbol-simbol terpisah, telah digunaka sejak pertengahan Tahun 2000 milenium kedua sebelum Masehi (1500 tahun SM) dan asli dari Cina, meskipun terdapat kesamaan yang dangkal dengan sistem karakter di tempat lain di dunia ini.Cara perlambangan bahasa tulisan ini, bersama-sama dengan struktur tatabahasa Cina yang analitik dan terpisah-pisah, menentukan langkah yang diambil studi linguistik dalam peradaban Cina.

Dari akhir abad ke-16 ciri-ciri sistem tulisan Cina dikenal di Eropa dan hal itu memainkan peranan yang penting dalam beberapa arah yang ditempuh penelitian linguistik, di samping menyebabkan ilmuwan-ilmuwan Eropa sadar akan keberadaan suatu kelompok bahasa yang sistem fonologis, gramatikal, dan organisasi leksikalnya jelas sekali berbeda dengan sistem bahasa-bahasa yang dikenal oleh generasi terdahulu.Tatbahasa pertama bahasa Cina diterbitkan dalam bahasa-bahasa Eropa oleh Fransisco Varo dan oleh J.H. de premare pada awal abad ke-18.

Kamus-kamus dihasilkan di Cina mulai dari abad ke-2 Masehi.Seperti di tempat lain rangsangan yang menyebabkan orang menyusun kamus adalah perubahan-perubahan linguistik dalam bidang leksikal bahasa tulis.Salah satu dari kamus Cina yang dikenal yang paling awal,Shuowen (sekitar tahun 100 Masehi), yang memanfaatka sistem tulisan yang sudah direvisi karakter-karakter dengan cara yang digunakan sejak zaman itu, dengan ‘akar kata’ dan didaftar sedemikian di bawahnya juga disusun menurut deret naik berdasarkan jumlah goresan dalam unsur fonetik.Kamus-kamus yang terbit kemudian berupaya menangani masalah dalam memberikan petunjuk mengenai lafal karakter berdasarkan paad perubahan-perubahan fonetik yang telah berlangsung dalam bahasa itu sejak zaman baca tulis klasik.Ini memberikan erka matriks untuk pengembangan penelitian fonologis bahasa Cina ragam tulis (sastra).Tidak terdapat lambang segmental untuk komponen-komponen sukukata dalam tulisan Cina, terpisah dan pada cara menunjukkan lafal karakter-karakter yang telah tidak terpakai lagi atau yang dulu memiliki nilai-nilai fonetik yang berbeda.

Kemajuan berikutnya, pada abd ke-11 tabel-tabel sajak yang terkenal mendeskripsikan jumlah keseluruhan sukukata yang ada dalam bahasa Cina ragam sastra yang dilambangka dengan karakter-karakter, pada sebuah bagan di mana kolom tegak mendaftarkan sukukata awal dan baris mendatar mendaftarkan sukukata akhi, yang sekarang dianalisis lebih lanjut lagi untuk membedakan semivowel pada posisi tengah kata seperti /-w-/, vokal akhir atau vokal ditambah konsona, dan nadanya.

Telah terlihat betapa penting peranan yang dimainkan oleh hubungan linguistik dari luar dalam perkembangan analisis fonologis bahasa Cina.Akan tetapi Cina itu mungkin adalah sumber suatu masalah linguistik dan pemecahannya, yaitu penyesuaian sistem tulisan karakter Cina kepada suatu bahasa yang memiliki struktur yang sangat berbeda dan tidak memiliki hubungan dari segi historis.Bahasa Jepang secara historis tidak ada hubungannya dengan bahasa Cina, akan tetapi mulai dari abad ke-5 Masehi terdapat hubungan yang cukup kuat antara Jepang dan Cina,dan segi-segi lain dari budaya Cina , dan sejumlah besar kata-kata Cina terserap ke dalam bahasa itu.Tulisan diperkenalkan dari Cina dan dengan seketika timbul masalh penguraian karakter-karakter yang dalam bahasa Cina melambangkan sukukata tunggal yang tidak berubah kepada kebutuhan suatu bahasa yang kaya dari segi derivasi dan infleksi aglutinatif.

Karya-karya ilmiah selama bertahun-tahun ditulis dalam bahasa Latin,akan tetapi meningkatkan status bahasa-bahasa Eropa dan penyebarluasan ilmu pengetahuan duniawi dalam negara-negara sekuler meningkatkan bahasa nasional sebagai sarana yang tepat bagi publikasi keilmuan dan ilmiah.

Pengaruh-pengaruh terhadap kajian linguistik yang ditimbulkan oleh kebangkitan humanisme, nasionalisme, dan pemerintahan sekuler, bersama-sama dengan perluasan Eropa ke luar benua Eropa telah dijelaskan: zaman Renaissans juga merupakan zaman dimulainya kegiatan cetak-mencetak di Eropa (secara terpisah Cina telah memasukkan kertas pada abad ke-1 Masehi dan cetak balok pada abad ke -10).Dari zaman itu tradisi tulis baca dan tuntutan terhadap pendidikan berkembang terus, meskipun pendidikan secara universal tidak dicapai di Eropa sebelum abad ke-19.Penemuan alat cetak-mencetak menyebabka ejaan baku lebih penting, dalam mnengarahkan perhatian kepada hubungan-hubungan antara tulisan dan lafal, menimbulkan minat, sejak itu untuk selama-lamanya, terhadap pembaharuan ejaan.

 

c. Zaman Sebelum Zaman Modern

Apabila kita dapat menetapkan tahun untuk menandai awal dari dunia kontemporer ilmu pengetahuan linguistik, maka tahun itu adalah tahun 1786.Pada tahun ini, Sir William Jones, seorang hakim di pengadilan Inggris di India ,membacakan makalahnya yang terkenal di hadapan the Royal Asiatic Society,dan di situ dia menetapkan dengan pasti sekali hubungan kekeluargaan historis bahasa Sansekerta , bahasa klasik India, dengan bahasa Latin, bahasa Yunani dan bahasa-bahasa Germania.Pernyataan Jones bahwa bahasa Sansekerta, apapun bentuk kunonya, memiliki susunan yang menarik; lebih produktif daripada bahasa Latin, dan lebih halus dari segi keelokannya daripada salah satu dari kedua bahasa tersebut; namun memiliki hubungan lebih dekat dengan kedua-duanya; baik dari sudut akar kata verba maupun dari sudut bentuk tatabahasanya,daripada sesuatu yang telah dihasilkan secara kebetulan; begitu kuatnya hubungan itu sesungguhnya ,sehingga tidak seorang pun pakar teologi dapat meneliti ketiga bahasa itu tanpa sampai kepada pendapat baha ketiga bahasa itu telah tumbuh dari suatusumber yang sama yang, barangkali, tidak ada lagi.

Tatabahasa Sansekerta pertama dalam bahasa Inggris terbit pada awal abad ke-19, dan dari tahun 1808 sastra Sansekerta klasik India diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa.Pengkajian linguistik bahasa Sansekerta oleh orang-orang Eropa menimbulkan suatu pengaruh ganda; perbandingan bahasa Sansekerta dengan bahasa-bahasa Eropa merupakan tahap pertama pertumbuhan bersistem linguistik komparatif dan historis dan di sampng itu, dalam tulisan-tulisan bahasa Sansekerta orang Eropa sekarang mengenal tradisi ilmu pengetahuan linguistik yang telah berkembang secara mandiri di India dan yang keunggulannya diakui segera dan pengaruhnya terhadap beberapa cabang linguisti Eropa bersifat mendalam dan berlangsung lama.

Ilmu pengetahuan India tentang bahasa Sansekerta berfungsi sebagai model untuk India.Ilmu tersebut memberi inspirasi bagi penulisan Tolkappiyam, salah satu dari tatabahasa yang paling awal dari bahasa Tamil, sebuah bahasa Dravida dari India Tengah dan Selatan dan bagi tradisi gramatika Tibet.

Di pertengahan abad ke-18 dua filsof Prancis membahas asal mula dan perkembangan awal bahasa manusia.Yaitu Condillac dan Rousseau.Condillac menulis menurut tradisi intelektualis,sementara Rousseau berharap untuk mengikuti gerakan Romantis.Konsepsi mereka tentang asal mula bahasa sangat mirip satu sama lainnya.Bahasa berasal dari isyarat-isyarat yang dipakai untuk menunjuk sesuatu dan dipelajari dengan meniru dari orang lain dan teriakan -teriakan alamai, akan tetapi karena isyarat kurang efisien sebagai tanda komunikatif maka unsur bunyi dalam bahasa menjadi dominan.

 

d. Abad Ini

Melalui sejumlah peristiwa historis dan kecenderungan sebelumnya dalam linguistik,abad ke-19 didominasi oleh kajian-kajian historis; akan tetapi dalam menelusuri beberapa perkembangan yang timbul langsung dari karya-karya tatabahasawan baru kita diarahkan melintas ke dalam abad ke-20 dan begitu juga ,dalam mengikuti asal mula teori dan sikap masa kini, kita menoleh lagi ke abad ke-19 dan abad-abad sebelumnya.

Perbedaan utama dan yang paling mencolok anatara dua abad yang lalu adalah peningkatan yang pesat dalam linguistik deskriptif yang mencapai kedudukannya yang kuat dewasa ini yang dikontraskan dengan linguistik historis.

Setelah dasawarsa kedua abad ke-20, setelah pengajaran de Saussure, seorang pakar linguistik berkebangsaan Swiss yang meyumbangkan ilmu linguistik komparatif Indo-Eropa,mulai menunjukkan dampaknya,fonem dipakai secara luas, dan segera setelah itu menjadi suatu unsur linguistik universal.Namun perkembangan pertama yang benar-benar bermakna dalam evaluasi teori fonem adalah hasil karya aliran Praha pada tahun 20-an dan 30-an.Aliran Praha adalah sekelompok ilmuwan Cekoslovakia dan lain-lainnya, termasuk Roman Jakobson, yang secara doktrin berpusat di sekitar Pangeran Nikolai Trubetzkoy, seorang profesor Wina tahun 1923-38.Hubungan realisasi (perlambangan atau penerapan) antara satuan-satuan pada satu tingkat dan satuan-satuan pada tingkat lainnya merupakan suatu yang mendasar bagi teori Praha.Sementara upaya utama aliran Praha diarahkan kepada penjelasan konsep fonem dan perkembangan teori fonologi,anggota-anggotanya memberikan sejumlah sumbangan kepada bidang-bidang linguistik seperti kajian sintaksis diterbitkan dan tipologi sintaktik komparatif bahasa Cekoslovakia dan bahasa-bahasa Slavik lain terlihat secara jelas dalam karya-karya pakar-pakar Cekoslovakia seja tahun 1945.

Sementara dapat dipertahankan bahwa bagian terbesar dari perkembangan dalam teori dan metode deskriptif linguistik sejak tahun 1950-an telah terfokus pada reaksi-reaksi, dalam bentuk satu atau lainnya, terhadap apa yang dirasakan oleh konsep ‘strukturalis’.

Pada tahun 1964 Katz dan Postal menulis : ‘Suatu desakripsi linguistik tentang suatu bahasa alami adalah suatu upaya untuk menyingkap hakikat penguasaan penutur yang fasih terhadap bahasa itu.’

Pada tahun-tahun 1966 R.D.King menulis buku teks pertama tentang linguistik historis yang mengikuti konsep ini, dan perubahan-perubahan dalam suatu bahasa dianggap sebagai perubahan-perubahan daam satu bahasa dianggap sebagai perubahan-perubahan dalam satu subseperangkat kaidah, atau dalam urutan penerapan kaidah-kaidah tersebut, yang membentuk tatabahasa bahasa tersebut (dalam arti luas).

 

3. Sejarah Tulisan di Indonesia

Kebudayaan masa silam merupakan unsur kebudayaan nasional yang dapat memberikan corak dan karakteristik kepribadian bangsa. Upaya pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional tidak dapat terlepas dari penggalian serta pengkajian sumber-sumber kebudayaan daerah yang tersebar di seluruh Nusantara.

Salah satu sumber informasi kebudayaan yang sangat penting artinya dalam rangka perwujudan kesatuan budaya nasional adalah naskah. Naskah dapat dipandang sebagai dokumen budaya, karena berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan dan pengetahuan sejarah, serta budaya dari bangsa atau sekelompok sosial budaya tertentu.

Sebagai sumber informasi sosial budaya, dapat dipastikan bahwa naskah-naskah lama termasuk salah satu unsure budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat atau melahirkan dan mendukungnya. Sedangkan lahirnya naskah-naskah lama erat pula kaitannya dengan kecakapan baca tulis atau pengetahuan mengenai aksara. Berkat adanya tradisi demikian, maka naskah-naskah lama (kuno) sebagai karya tulis yang mengandung berbagai informasi mengenai kehidupan masyarakat masa lampau yang disusun oleh para pujangga pada masa itu, akhirnya sampai pula kepada generasi sekarang untuk dapat dibaca dan dipahami.

Naskah-naskah kuno ditulis pada ketas daun lontar, kulit kayu, bamboo atau rotan. Secara umum isinya mengungkapkan peristiwa-peristiwa masa lampau yang menyiratkan aspek kehidupan masyarakat, terutama tentang keadaan sosial dan budaya yang sangat penting dan dapat dijadikan sumber pengetahuan bagi masyarakat kini.

Adapun tulisan-tulisan yang terdapat di Nusantara dapat digolongkan menjadi tujuh kelompok:

a). Aksara Hancaraka (Jawa, Sunda, Bali)

Ketiga aksaran ini sangat mirip sekali dan disebut hanacaraka menurut lima aksara yang pertama. Menurut De Casparis, tulisan hanacaraka berasal dari aksara Jawa Kuno (Kawi), sementara aksara Kawi secara langsung berasal dari aksara Pallawa (Casparis 1975).

b). Aksara Ka-Ga-Nga (Kerinci, Rejang, Lampung, Lembak, Pasemah, dan Serawai)

Aksara Ka-Ga-NGa (disebut demikian menurut bunyi ketiga aksara pertama) yang terdapat di bagian selatan pulau Sumatera juga sangat mirip satu sama lain dan dipakai di dalam daerah yang sangat luas yang mencakup empat propinsi yakni Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung.

c). Aksara Batak (Angkola-Mandailing, Toba, Simalungun, Pakpak-Dairi,Karo)

Kelima jenis aksara Batak menunjukkan beberapa variasi tetapi pada dasarnya sangat mirip sekali.

d). Aksara Makasar

Naskah yang ditulis dengan menggunakan aksara tersebut sangat sedikit jumlahnya karena aksara Makasar Kuno sudah sejak abad ke-19 tidak dipakai lagi. Di kemudian hari aksara Bugis digunakan untuk menggantikan aksara Makasar Kuno.

e). Aksara Bugis

Aksara Bugis yang juga dipakai di Makasar dan Bima berbeda dengan aksara Makasar Kuno.

f). Aksara Filipina (Bisaya, Tagalog, Tagabnuwa, Mangyan

Seperti juga halnya dengan ketiga kelompok di atas, aksara Filipina juga merupakan suatu kelompok yang mempunyai beberapa system tulisan yang satu sama lainnya banyak menunjukkan perasaan.

g). Aksara Tionghoa

Aksara Tionghoa yang terdiri dari huruf-huruf adalah satu di antara bahasa tulisan yang tertua di dunia. Secara umum, setiap huruf mewakili sebuah suku kata yang memiliki arti. Jumlah keseluruhan dari huruf Tionghoa diperkirakan lebih dari 50.000 yang mana hanya 5.000-8.000 digunakan secara umum. Diantaranya hanya 3.000 digunakan untuk keperluan sehari-hari.

 

4 Rekaman Tertulis dalam Tradisi Sejarah Masyarakat Berbagai Daerah di Indonesia

Cerita-cerita dari berbagai daerah dapat memberi petunjuk kea rah fakta-fakta sejarah dari suatu bangsa. Setelah suku bangsa yang bersangkutan mengenal tulisan tradisional dan mempunyai kesusastraan tradisional, maka petunjuk kea rah fakta-fakta sejarah itu semakin banyak dan semakin jelas. Terdapat ribuan naskah-naskah hasil karya kesusastraan tradisional yang sampai kepada kita sekarang. Naskah-nskah yang banyak decanal dalam tradisi tulis berupa kakawin, serat, babad, piwulang, primbon, suluk, tembang, dongeng dan sebagainya. Karya-karya itu menurut James Dananjaya dapat digolongkan sebagai foklor yang dapat digunakan sebagai sumber penulisan sejarah.

Seorang peneliti yang meneliti cerita rakyat Bugis misalnya, akan mencari keterangan mengenai asal mula suku bangsa Bugis. Ia harus menganalisa benda-benda kebudayaan suku bangsa Bugis yang mereka temukan di daerah sekitar lokasi penelitian. Ia juga harus berusaha membaca dan mempelajari tulisan-tulisan tersebut yang sering kali termuat dalam berpuluh-puluh naskah kuno dalam tulisan tradisional. Naskah-naskah kuno tersebut biasanya menguraikan kehidupan masyarakat dan adat istiadat di kerajaan-kerajaan Bugis tradisional. Naskah-naskah itu jumlahnya banyak sehingga perlu dipelajari dan diseleksi untuk mendapatkan naskah-naskah khusus yang relevan bagi penelitiannya dan mana yang dapat memberi keterangan mengenai asal mula rakyat Bugis.

a. Prasasti

Prasasti merupakan peninggalan tertulis yang dipahatkan pada batu atau logam. Ada sekitar 3000 prasasti telah ditemukan yang berasal dari zaman Indonesia Klasik. Prasasti tersebut merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh raja atau pejabat tinggi kerajaan. Prasasti-prasasti ini pda umumnya mempunyai bentuk dan susunan yng hampir serupa, yaitu diawali dengan uraian pembebasan tanah disertai dengan angka tahun, batas serta ukuran tanah yang dibebaskan, daftar orang-orang uang diserahi kekuasaan untuk melaksanakan tugas, hadiah-hadiah yang disediakan untuk keselamatan, selanjutnya upacara-upacara yang dilakukan dan akhirnya kutukan-kutukan terhadap mereka yang tidak menaati apa yang ditetapkan oleh raja.

Pada abad ke-4 sampai abad ke-8 prasasti di Nusantara menggunakan huruf Pallawa dan bahawa Sansekerta. Tulisan Pallawa ini mirip dengan tulisan yang digunakan di India Selatan, Sri Lanka, dan Asia tenggara Daratan. Prasasti-prasasti tersebut biasa ditulis dalam bentuk syair dengan menggunakankaidah-kaidah dari India.

Prasasti-prasasti Yupa yang dikeluarkan oleh Raja Mulawarman dari Kutai, Kalimantan Timur menunjukkan proses penghinduan. Selain penggunaan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta pada prasasti, nama-nama raja pun menunjukkan proses penghinduan. Nama keturunan Kundungga (nama penduduk asli setempat) menjadi bernama Mulawarman (nama Sansekerta).

Huruf Pallawa di Indonesia berubah menjadi huruf kawi (Jawa Kuno). Bentuk huruf atau simbol-simbol yang digunakan dalam huruf Kawi merupakan bentuk khas jawa. Sejak Prasasti Dinoyo dari tahun 682 Saka (760 M) yang ditemukan di Malang, huruf Kawi ini bahasanya pun bukan lagi bahasa Sansekerta yang menjadi bahasa resmi melainkan bahasa Kawi (Jawa Kuno). Bahasa dan huruf Kawi selanjutnya menjadi bahasa dan tulisan resmi di Indonesia klasik. Ada juga pengecualian misalnya, prasasti-prsasti raja-raja Sailen-dra di Jawa Tengah yang menggunakan huruf Dewa-nagri dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, peranannya untuk masa-masa berikutnya tidak banyak.

Berdasarkan bahasa dan tulisan yang dipergunakan prasasti-prasasti di Indonesia dapat dibagi sebagai berikut.

1) Prasasti Berbahasa Sansekerta

Prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta pada umumnya digunakan oleh kerajaan-kerajaan dari abad ke-5 sampai dengan abad ke-9.

2) Prasasti Berbhasa Jawa Kuno

Prasasti yang menggunakan bahasa Jawa Kuno dipakai pada abad ke-10, misalnya Prasasti Kedu atau Prasasti Mantyasih (970M) peninggalan Mataram Kuno, Prasasti Randusari, dan Prasasti Trowulan yang berasal dari kerajaan Majapahit.

3) Prasasti Berbahasa Melayu Kuno

Prasasti yang menggunakan bahasa Melayu kuno adalah prasasti-prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya, baik di Sumatera maupun di Semenanjung malaka. Misalnya, Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang tuo, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Ligor.

4) Prasasti Berbahasa Bali Kuno

Prasasti yang menggunakan bahasa Bali Kuno merupakan peninggalan kerajaan-kerajaan di Bali. Prasasti tersebut pada umumnya berisi Raja Casana atau peraturan dari raja. Huruf yang diperlukan adalah huruf Pallawa, Jawa Kuno, dan Pranagari. Misalnya, Prasasti Julah, Prasasti Ugrasena, dan Prasasti Tugu Sanur.

b. Kitab Kuno

Kitab-kitab kuno dari zaman Hindu-Budha hingga perkembangan Islam dikemas dalam bentuk sastra, baik prosa maupun puisi. Karya sastra yang berhubungan dengan sejarah yang disebut sebagai sastra sejarah. Dalam sastra sejarah aspek-aspek sastranya tersiri dari unsur fiktif atau fantasi yang dikemas dalam bentuk mitologi (cerita dewi-dewi), legenda, hagiografi (ajaran ten-tang akhir zaman). Adapun unsur sejarahnya seperti: Ken Arok, Ken Dedes, Pamanahan, Panembahan Senapati, dan Iskandar Zulkarnain.

Di Indonesia, pembagian kitab-kitab peninggalan zaman kerajaan-kerajaan dibagi kedalam beberapa bagian, yaitu:

1) Zaman Hindu-Budha

Pada zaman kerajaan Hindu dan Budha berkembang di Indonesia kesusastraan di bagi menjadi sebagai berikut:

– Zaman Mataram (sekitar abad ke-9 dan ke-10)

– Zaman Kediri (sekitar abad ke-11 dan ke-12)

– Zaman Majapahit I (sekitar abad ke-14), degan bahasa Jawa Kuno

– Zaman Majapahit II (sekitar abad ke-15 dan ke-16), dengan bahasa Jawa tengahan. Sebagian kesusastraan Zaman Majapahit II ini berkembang di Bali (Zaman kerajaan Samprangan Gregel)

Hasil-hasil kesusastraan dari zaman majapahit yang dimaksud sebagai kitab sejarah selain kitab sastra adalah sebagai berikut.

– Nagarakertagama

– Paraton

– Sundayana

– Panji Wijayakarma

– Ranggalawe

– Sorandaka

– Pamancangah

– Usana Jawa

– Usana Bali

2) Zaman Islam

Kesusastraan pada zaman Islam terutama berkembang di daerah-daerah sekitar Selat Malaka (daerah Melayu) dan di Jawa. Hasil peninggalan kesusastraan pada Zaman Islam adalah sebagai berikut:

– Hikayat

Hasil kesusastraan pada zaman Islam ini menghasilkan hikayat diantaranya adalah Hikayat Raja-raja Pasai dan hikayat Hasanuddin.

– Babad

Hasil kesusastraan pada zaman Islam ini menghasilkan babad, diantaranya adalah Babad Tanah Jawi yang menceritakan nabi adam sampai tahun 1647 kalender Jawa (1722 Masehi) dan babad giyanti yang dikarang oleh Yasadipura yang mengisahkan pecahnya perang kerajaan Mataram yang berlangsung pada tahun 1755 dan tahun 1757.

– Bustan Us-Salatin

Kitab ini dkarang oleh Nurdin ar-raniri atas perintah dari Sultan Iskandar II pada tahun 1638 Masehi. Selain berisi tentang ajaran-ajaran keagamaan dan

kesusilaan, kitab ini juga berisi tentang sejarah yang dalam banyak hal dapat dipercaya.

Perjalanan sejarah di Indonesia berisi tentang naik turunnya proses pengumpulan sumber-sumber sejarah. Apa yang dituliskan dalam sejarah sebagimana ia dikisahkan, merupakan upaya menangkap dan memahami jejak-jejak masa silam dalam keidupan manusia sebagai mahkluk sosial.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Anwar, Khaidir. 1990. Fungsi dan Peranan Bahasa Suatu Pengantar. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Asmah Hj. Omar. 1985. Susur galur bahasa Melayu.

Barus, Sedia Willing. 1996. Petunjuk Praktis Menulis Berita. Jakarta: CV Mini Jaya Abadi.

Chaedar, A. Alwasilah. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.

Habib, M. Mustopo. 2006. Sejarah. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.

Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Historis.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Marsden, W. A. Grammar of The Malayan Language.

Mees, C.A. 1967. Ilmu Perbandingan Bahasa-Bahasa Austronesia.

Mulia, dan Hidding, K.A.H. 1955. Ensiklopedia Indonesia (F-M).

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Rosda.

Nurudin. 2004. Komunikasi Massa. Yogyakarta: CESPUR.

Pudji, Titik Astuti. 2000. Tradisi Tulis Nusantara Menjelang Millenium III. Jakarta: Manassa Pusat.

Robins, R. H. 1995. Sejarah Linguistik. Bandung: ITB.

Ryan. N.J. 1965. Sejarah Semenanjung Tanah Melayu.

Safioedin, Asis. 1963. Tatabahasa Indonesia.

Safwan Fathy. 1988. Kisah dari al-Quran.

Samsuri. 1994. Analisis Bahasa .Jakarta : Erlangga.

Slametmuljana. 1975. Asal bangsa dan bahasa Nusantara.

Wahab, Abdul. 1991. Isu Bahasa, Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Airlangga University Press.

http://ms.wikipedia.org/wiki/Sejarah_huruf.html

http://www.ppsatop.com/Lain2/HurufTionghoa.html

http://oktaendy.iwuvya.com/blog/2007/04/20/hanacaraka/

http://www.geocities.com/beezona/aksara1.html

TULISAN & EJAAN BAHASA ARAB DALAM AL-QUR’AN

http://idrusali85.wordpress.com/sejarah-ilmu -tulisan-arab-kuno/

http://id.wikipedia.org/wiki/Angka_Romawi

http://id.images.search.yahoo.com/search/images?p=mesin+cetak&sm=Gambar+Searc h&fr=yfp-t-img&toggle=1&cop=&ei=UTF-8

http://www.ruangbaca.com/edisi cetak tempo/Incunabulum.htm

<http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu_berasal_dari_Asia_Tengah&gt;

http://www.google.com/gambar_mesin_cetak

Apresiasi Karya Sastra

Apresiasi karya sastra dengan menentukan unsur intrinsik dan ekstrinsik

Unsur Intrinsik Karya Sastra

A. Tema Puisi dan Tema Cerpen/ Novel

Tema, ialah pokok permasalahan yang mendasari penggubahan sebuah puisi atau dasar penulisan prosa, cerpen, novel, dan drama. Misalnya: masalah perjuangan, kepahlawanan, kekecewaan, kemunafikan, penderitaan, percintaan, keagamaan, kekecewaan, atau kehidupan manusia.

Contoh:

Kemudian Pak Balam menutup matanya kembali, dan memandang mencari muka Wak Katok, dan ketika pandangan mereka bertaut, Pak Balam berkata kepada Wak Katok, “Akuilah dosa-dosamu Wak Katok, dan sujudlah ke hadirat Tuhan, mintalah ampun kepada Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun, akuilah dosa-dosamu, juga kalian, supaya kalian dapat selamat keluar dari rimba ini, terjauh dari rimba ini, terjauh di bahaya yang dibawa harimau … biarlah aku yang jadi korban …”

(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)

Masalah dalam novel tersebut adalah pertobatan karena berisi imbauan untuk mengakui kesalahan (dosa) agar Tuhan mengampuni dosa yang telah dilakukan.

B. Konflik

Konflik, ialah ketegangan atau pertentangan (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri seorang tokoh, dua orang tokoh, atau kelompok). Penyebab konflik antara lain: dengan diri sendiri (konflik batin),antartokoh, budaya, alam/ lingkungan, sosial).

contoh:

Sulung : Hem. Di sana kami punya wali negara, bangsa awak. Di sana segala lapangan kerja terbuka lebar-lebar bagi bangsa awak. Di sana, bagian terbesar tentara polisi, alat negara bangsa awak. Di atas segalanya, kami di sana hidup damai. Rukun berdampingan antara si putih dan bangsa awak. . . .

Bapak : Dan di atas segalanya pula, di sana si putih menjadi yang diperlukan. Dan sebuah bendera asing jadi lambang kedaulatan, lambang kuasa; penjajahan. Dapatkah itu kauartikan kemerdekaan?

(Bapak, B. Sularto)

Konflik yang terdapat dalam kutipan drama tersebut adalah si bapak menerima kenyataan bahwa anaknya telah salah langkah karena menjadi pengkhianat bangsa dan negara. Terbukti anaknya sangat memuji penjajah (kulit putih)

Tahapan konflik dapat pula dibagi menjadi awal konflik, konflik mulai bergerak (konflikasi), puncak konflik atau klimaks, dan penyelesaian atau antiklimaks (akhir konflik).

C. Watak Tokoh

Perwatakan tokoh, adalah karakter atau sifat batin yang mempengaruhi segenap

pikiran dan tingkah laku tokoh dalam cerita.

Pengarang menggambarkan watak tokoh antara lain melalui:

1)      penjelasan langsung dari pengarang (tertulis) bahwa tokohnya berwatak baik, marah, sadis, dengki, licik, kikir, sombong, bijaksana, rapi, dan sebagainya

2)      dialog antartokoh

3)      tanggapan atau reaksi dari tokoh lain terhadap tokoh utama

4)      pikiran-pikiran dalam hati tokoh

5)      lingkungan di sekitar tokoh atau penampilan tokoh (rapi, bersih, teratur, dan

6)      sebagainya)

7)      bentuk fisik tokoh

8)      tingkah laku, tindakan tokoh, atau reaksi tokoh terhadap suatu masalah.

contoh:

“Aku merasa ringan, kini aku sudah menceritakan kepada kalian di depan Wak Katok beban dosa yang selama ini menghimpit hatiku dan kepalaku. Aku sudah mengakui dosa-dosaku, dan tolonglah doakan supaya Tuhan suka kiranya mengampuni dosa-dosa Wak Katok …”. Pak Balam mendekatkan kedua belah telapak tangan seperti orang berdoa, dan mulutnya komat-kamit. Pak Haji bertakbir, perlahan-lahan, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!”

(Harimau-Harimau,Muchtar Lubis)

Watak Pak Balam dalam kutipan tersebut adalah jujur, yaitu dia mengakui dosa yang telah diperbuatnya di depan teman-temannya. Pengarang melukiskan watak tokoh melalui dialog atau percakapan antartokoh.

D. Latar Cerita

Latar cerita, ialah keterangan mengenai waktu, ruang/ tempat, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.

contoh:

Mereka melihat harimau melepaskan Pak Balam dan terus berlari, menghilang ke dalam hutan yang gelap. Dengan cepat mereka berlari ke tempat Pak Balam terbaring. Dalam cahaya samar-samar dari pohon kayu yang menyala, mereka melihat betapa kaki kiri Pak Balam hancur betisnya karena gigitan harimau, daging dan otot betisnya koyak hingga kelihatan tulangnya yang putih dan darah mengalir amat banyak.

Pak Balam koyak-moyak, dan seluruh badannya penuh dengan luka-luka kecil dan gores-gores merah kena duri, batu, dan kayu ketika dilarikan harimau. Mukanya berdarah. Darah keluar dari hidungnya, dari mulutnya. Pak Balam kelihatannya pingsan, tak sadar diri, dia hanya terbaring di sana mengerangngerang.

(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)

Latar tempat, yang terdapat dalam kutipan tersebut adalah hutan rimba karena dalam hutan rimbalah terdapat harimau dan secara tersurat digambarkan pengarang.

E. Sudut Pandang

Sudut pandang, ialah cara si pengarang mengisahkan/ menceritakan suatu cerita. Sudut pandang terbagi menjadi: orang I, orang III, atau campuran (orang I dan orang III).

Sudut pandang orang I terbagi menjadi: orang I sebagai tokoh utama, contoh: autobiografi, cerita rekaan, tetapi seakan pengarang sendiri yang diceritakan. Orang I pengamat, yaitu pengarang sebagai pengamat, tetapi ada dalam cerita. Kata ganti yang dapat digunakan saya atau aku atau yang sejenisnya, biasa pula disebut sudut pandang akuan.

Sudut pandang orang III terbagi menjadi: orang III serba tahu, yaitu melaporkan semua tindak tanduk yang sangat pribadi dari pelaku, dan orang III terarah, yaitu terpusat pada satu karakter. Kata ganti yang dapat digunakan adalah dia, ia, mereka, nama orang, atau kata ganti orang ketiga lainnya, biasa disebut sudut pandang diaan.

contoh:

Pak Balam menutup matanya kembali, dan dia terbaring demikian, letih telah berbicara begitu banyak. Mereka duduk mengelilinginya dengan pikiran masing-masing. Cerita Pak Balam menimbulkan kesan yang dahsyat sekali dalam hati mereka. Mereka ingin dapat selamat sampai ke kampung, meninggalkan hutan dengan harimau maut

jauh-jauh di belakang. Akan tetapi, mengakui dosa-dosa di depan kawan semua.

(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)

Sudut pandang dalam kutipan tersebut adalah orang III serba tahu karena melaporkan semua tindak tanduk tokoh, yaitu Pak Balam dan mereka.

F. Amanat Cerita

Amanat, ialah pesan yang disampaikan oleh pengarang melalui isi cerita yang dikarangnya. Amanat yang disampaikan dapat secara langsung (tertulis), melalui dialog antartokoh dalam cerita atau tidak langsung (tersirat).

contoh:

Kemudian Pak Balam menutup matanya kembali, dan memandang mencari muka Wak Katok, dan ketika pandangan mereka bertaut, Pak Balam berkata kepada Wak Katok, “Akuilah dosa-dosamu, Wak Katok, dan sujudlah ke hadirat Tuhan, mintalah ampun kepada Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Pengampun, akuilah dosa-dosamu, juga kalian, supaya kalian dapat selamat keluar dari rimba ini, terjauh dari rimba ini, terjauh dari bahaya yang dibawa harimau … biarlah aku yang jadi korban …”

(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)

Amanat yang terkandung dalam kutipan tersebut adalah “Bertaubat dan minta ampunan atas dosa yang telah diperbuat , pasti Tuhan akan mengampuninya, dan hidupmu akan selamat.”

E. Nilai –Nilai dalam Novel

Dalam sebuah karya sastra terkandung nilai-nilai yang disisipkan oleh pengarang. Nilai-nilai itu antara lain: nilai moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti baik dan buruk, nilai sosial, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan norma-norma dalam kehidupan masyarakat (misalnya saling memberi, menolong, dan tenggang rasa), nilai budaya, yaitu konsep mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia (misalnya: adat istiadat, kesenian, kepercayaan, upacara adat), dan nilai estetika, yaitu nilai yang berkaitan dengan seni, keindahan dalam karya sastra (tentang bahasa, alur, tema)

contoh:

Dari sebuah kantung di dalam keranjang besarnya, Wak Katok mengeluarkan daun ramu-ramuan. Mereka membersihkan luka-luka Pak Balam dengan air panas dan Wak Katok menutup luka besar di betis dengan ramuan daun-daun yang kemudian mereka membungkus dengan sobekan kain sarung Pak Balam. Wak Katok merebus ramuan obat-obatan sambil membaca mantera-mantera, dan setelah air mendidih, air obat dituangkan ke dalam mangkok dari batok kelapa. Setelah air agak dingin, Wak Katok meminumkannya kepada Pak Balam sedikit demi sedikit.

(Harimau-Harimau, Muchtar Lubis)

Nilai sosial yang terdapat dalam kutipan novel tersebut adalah memberi pertolongan kepada orang yang sedang sakit. Karena dalam kutipan diungkapkan, Wak Katok dan teman-temannya memberi pertolongan kepada Pak Balam yang terluka (membersihkan, mengobati, dan membalutnya), meminumkan obat yang mereka buat sendiri.

Kalimat Efektif

Kalimat Efektif

 Pengantar

 Kalimat yang memenuhi unsur-unsur atau syarat-syrata gramatikal belum tentu termasuk kalimat efektif. Kalimat efektif menuntut lebih dari syarat-syarat gramatikal dan kelaziman pemakaian bahasa. Sebuah tulisan disebut kalimat efektif bila telah dirakit dengan baik dan teliti sehingga pembaca:

–          mengerti dengan baik dan tepat informasi, pesan dan amanat yang disampaikan

–          tergerak oleh pesan, berita, dan amanat

–          mengetahui serta tergerak berdasarkan pesan, berita, dan amanat

Jadi, kalimat efektif ialah kalimat atau bentuk kalimat yang dengan sadar dan sengaja disusun untuk mencapai daya  informasi yang tepat dan baik.

 

2. Syarat-syarat kalimat efektif

Suatu  kalimat disebut kalimat efektif jika kalimat tersebut memenuhi syarat berikut:

 

  1. Ejaan

Pemakaian ejaan ini meliputi penggunaan huruf, penulisan huruf kapital dan miring,  dan penulisan kata. (Sesuai EYD)

 

  1. Pungtuasi

Penggunaan pungtuasi (tanda baca) mencakup penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda titik koma, tanda pisah, tanda hubung, ellipsis, garis miring dll. (Sesuai EYD)

 

  1. Diksi atau pilihan kata

Penulis harus bias membedakan makna kata umum dan kata khusus, asosiasi dan konseptuan, kata formal dan nonforma, gaya argumentasi dan diskripsi dll.

 

3. Ciri-ciri kalimat efektif

Susunan kalimat  efektif didukung oleh

 

  1. Kesepadanan dan Kesatuan

Yang dimaksud dengan kesepadanan ialah kemaksimalan struktur bahasa yang mendukung gagasan dan ide yang dikandung.

 

  1. Keparalelan

Paralelisme dalam komposisi ialah bentuk-bentuk bahasa yang sama atau konstruksi bahasa yang sama dalam susunan serial. Pikiran dan gagasan yang sama biasanya dinyatakan dalam bentuk-bentuk bahasa dalam kalimat sehingga pikiran-pikiran yang lain dan sama harus dinyatakan dalam bentuk yang sama.

 

  1. Ketegasan dan Keutamaan

Untuk memberikan ketegasan dan keutamaan, seorang penulis harus memberikan posisi tertentu kepada bagian tersebut.

 

  1. Kehematan

Kehematan dalam kalimat efektif merupakan pembatasan dalam pemakaian kata, frasa, atau bentuk-bentuk bahasa. Kehematan ini menyangkut soal gramatikal dan soal semantik. Kehematan tidak bahwa kata yang perlu atau yang menambah nilai-nilai artistik boleh dihilangkan.

 

  1. Kevariasian

Kelincahan pun tergambar dalam strukturn kalimat yang dipakai, misalnya penggunaan kalimat yang pendek dan kalimat yang panjang.

Previous Older Entries